Anika tidak pernah menyangka pertemuannya dengan orang yang ia cintai akan berakhir dengan bencana. Reza, laki-laki pertama yang ia cintai, tiba-tiba berubah menjadi sosok jahat. Dia sering memukul Anika hingga mengalami pendarahan parah dan hampir kehilangan kesadaran.
Sambil menahan sakit, perempuan itu mencoba menghubungi satu-satunya keluarganya, Bibi Santi. Namun, bukannya membantu, Bibi Santi malah meminta Anika untuk kembali bersatu dengan suaminya. Menurutnya, menceritakan pertengkaran dengan pasangan adalah aib, dan seorang Muslimah yang taat tidak boleh melakukannya.
Anika kemudian meminta bantuan dari Desti, teman kantornya. Beruntung, Desti memberikan respons yang berbeda dari Bibinya. Saat tiba di rumah Anika dan melihat kondisinya yang kritis, Desti segera membawa Anika ke rumah sakit. Nyawa Anika berhasil diselamatkan, tetapi sayangnya, bayi dalam kandungannya tidak bisa diselamatkan.
Setelah mengalami trauma akibat kekerasan tersebut, Anika melarikan diri dari rumah dan mencari tempat perlindungan. Dari rumah aman di Bogor, dia pindah ke sebuah kontrakan kecil dengan nomor delapan di Yogyakarta. Namun, Anika tak menyangka bahwa di kontrakan itu, dia ketakutan. Bukan dari manusia, tetapi dari hantu perempuan bernama Lastri.
Ketakutan dan Kesedihan
Kisah-kisah tentang Kuntilanak, Sundel Bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol telah lama menjadi bagian dari warisan nenek moyang yang populer dalam berbagai karya. Menurut Gita Putri Damayana dalam tulisannya di The Conversation, keberadaan kisah hantu perempuan yang terkenal dalam budaya Indonesia tidaklah kebetulan semata.
Kehadiran mereka tetap relevan sepanjang waktu karena menyentuh masalah serius yang dihadapi perempuan-perempuan Indonesia, yaitu akses yang terbatas ke layanan kesehatan dan ketakutan akan kekerasan.
Kuntilanak dan Sundel Bolong tidak mendapat perawatan kesehatan yang memadai, dan meninggal bersama bayi mereka saat melahirkan. Di sisi lain, Si Manis Jembatan Ancol dan Sundel Bolong adalah perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, dan kini mereka menjadi hantu yang mencari keadilan.
Kisah-kisah tentang kuntilanak, Sundel Bolong, dan Si Manis Jembatan Ancol mengungkapkan betapa seringnya kekerasan terhadap perempuan, yang terus berlanjut di Indonesia saat ini. Dalam novel berjudul Perempuan di Rumah No. 8 ditulis oleh Mutiarini, sepertinya dia sadar akan tema ini. Dengan cerdas, penulis memasukkan elemen horor untuk menyoroti isu penting mengenai kekerasan terhadap perempuan melalui karakter Lastri.
Mutiarini menggambarkan Lastri sebagai sosok yang menyeramkan. Leher Lastri patah dan tubuhnya terluka parah dengan darah yang menyelimutinya. Dia selalu menghantui Anika, tetapi menariknya, hantu itu tidak pernah muncul di orang lain.
Alasan keberadaan Lastri tidak tanpa sebab. Seperti Anika, Lastri juga menjadi korban kekerasan dari laki-laki yang dicintainya. Yang membedakan mereka hanyalah nasib tragis Lastri yang tidak bisa keluar dari lingkaran kekerasan sampai akhir hidupnya. Dia harus menahan segala bentuk kekerasan dari suaminya, termasuk ekonomi, fisik, dan juga psikologis, bahkan ketika dia sedang mengalami depresi pasca melahirkan. Tubuh dan pikirannya hancur berkeping-keping.
Yang lebih buruk lagi, tidak ada orang yang bersedia membantu Lastri keluar dari penderitaannya. Tetangga-tetangganya enggan campur tangan dalam kasus KDRT karena dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak boleh diintervensi orang lain. Masalah ini dianggap sebagai aib yang harus ditangani sendiri oleh pasangan yang terlibat, tanpa campur tangan pihak luar. Hal ini juga dialami Anika saat mencari pertolongan dari Santi namun justru mendapat teguran.
Lastri dan Anika memang hanya karakter fiksi, tetapi mereka mencerminkan realitas pahit yang dialami perempuan-perempuan Indonesia, seperti hantu-hantu perempuan sebelumnya. Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan selama 21 tahun terakhir, lebih dari 2,5 juta kasus Kekerasan Berbasis Gender dilaporkan di ranah personal. Kekerasan terhadap istri (KTI) merupakan kasus yang paling sering dilaporkan, mencapai 484,993 kasus.
Secara khusus, Lastri termasuk dalam jumlah 83 persen perempuan yang meninggal akibat KDRT, seperti yang dicatat oleh Komnas Perempuan dalam penelusuran mereka terhadap putusan Mahkamah Agung antara tahun 2015 dan 2022.
Sebagian besar pembunuhan itu terjadi karena motif cemburu dan tersinggung pelaku terhadap korban. Menurut Komnas Perempuan, hal ini merupakan bentuk femisida, yaitu pembunuhan perempuan yang terjadi langsung atau tidak langsung karena ketidakadilan dalam hubungan kekuasaan gender.
Dalam banyak kasus femisida yang dimulai dari KDRT, korban perempuan sering kali tidak mendapatkan pertolongan tepat waktu. Menurut Rainy Hutabarat, seorang komisioner dari Komnas Perempuan, hal ini bahkan disebut sebagai pembunuh diam-diam.
Seorang Laki-laki Mengalami Kekerasan yang Diwariskan
Fiksi bisa mengungkap hal-hal yang sulit diungkapkan oleh buku nonfiksi dengan lebih mendalam dan jelas. Itulah mengapa karya fiksi sangat penting sebagai sarana untuk membantu pembaca memahami realitas yang mungkin terlewatkan. Dalam novel Perempuan di Rumah No. 8, Mutiarini menggunakan fiksi untuk menggambarkan peran pentingnya dalam membuka tabir tentang korban laki-laki dalam kasus KDRT.
Ketika membahas KDRT, banyak yang masih percaya bahwa hanya perempuan yang mengalaminya, dianggap sebagai kelompok yang dianggap lebih lemah menurut pandangan patriarkal. Namun, kenyataannya, laki-laki juga dapat menjadi korban. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan bahwa 15 persen korban KDRT dari 1 Januari 2022 hingga 14 Februari 2023 adalah laki-laki.
Mutiarini mencoba mengangkat fakta yang sering diabaikan ini dalam karyanya. Dia menciptakan karakter Ibnu, seorang laki-laki yang menjadi korban KDRT, yang kemudian berperan penting bagi Anika untuk menyadari kekerasan yang dialaminya dan bagaimana cara untuk mengatasi masalah tersebut.
Seperti Anika dan perempuan lain yang menjadi korban KDRT, Ibnu juga mengalami berbagai jenis kekerasan dari pasangannya. Mulai dari kekerasan fisik hingga semuanya ia alami. Namun, seperti banyak laki-laki yang mengalami KDRT, Ibnu tidak menyadari bahwa ia adalah korban kekerasan. Ketidaksadarannya bukan tanpa alasan, melainkan karena adanya stigma sosial yang melekat pada laki-laki korban kekerasan, yang ditandai oleh stereotip gender di masyarakat.
Di dalam masyarakat yang sangat memperhatikan peran dan atribut gender tradisional yang biner, laki-laki diharapkan untuk mematuhi serangkaian norma perilaku tertentu. Mereka sering dianggap sebagai pemimpin yang harus kuat dan berwibawa, tidak boleh menunjukkan emosi karena dianggap sebagai tanda kelemahan. Oleh karena itu, ketika ada laki-laki yang mengaku sebagai korban kekerasan, seringkali mereka dihakimi atau dicemooh oleh masyarakat, seperti yang dikatakan Ibnu :
Kami dibilang cemen lah, pengecutlah, gagal jadi pemimpin, kalah sama perempuan.
Budaya populer turut memperkuat stigma ini. Menurut penelitian ilmuwan Elizabeth Bates dari Universitas Cumbria di Inggris yang dikutip oleh DW, kekerasan terhadap laki-laki sering kali dianggap lucu dalam acara televisi dan komedi. Hal ini membuat banyak laki-laki enggan mencari bantuan.
Mereka takut tidak akan dipercaya. Dan cara media melaporkan kekerasan dapat memengaruhi rasa takut itu, tulis Bates.
Seperti yang diungkapkan oleh Carmen Pitre, direktur eksekutif Sojourner Family Peace Center di Wisconsin, Amerika Serikat, korban laki-laki KDRT sering kali merasa takut dengan stereotip bahwa mereka diharapkan menjadi lebih kuat secara fisik dan harus mampu melawan pelaku kekerasan. Hal ini membuat mereka sering menghadapi keraguan dari pihak penegak hukum, dan ada sedikit tempat perlindungan untuk korban laki-laki dari KDRT.
Tidak kalah pentingnya, sebagai karya fiksi yang dapat menghubungkan dengan realitas, Mutiarini juga berupaya mengangkat isu tentang kekerasan yang diwariskan. Dia melakukannya dengan menciptakan karakter Reza yang tidak disederhanakan menjadi baik atau buruk. Untuk menjelaskan sifat dan tindakan kekerasan Reza, Mutiarini menggambarkan dia sebagai anak yang mengalami KDRT dari ayahnya sendiri, Husein.
Sejak kecil, Reza jarang mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari ayahnya, Husein. Sebaliknya, Husein membesarkannya dengan pendekatan keras, yang sering kali memberikan hinaan, tamparan, pukulan, bahkan tendangan kepada Reza. Sementara, ibunya tidak dapat banyak berbuat untuk melindunginya. Kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun menyebabkan luka yang dalam dan membentuk kepribadian Reza.
Dalam kasus ini, kekerasan menjadi satu-satunya cara Reza menunjukkan perhatian dan kasih sayang, yang dialaminya sendiri dari ayahnya. Nurmawati, dari Rifka Annisa Women's Crisis Center, menjelaskan bahwa pelaku KDRT sering kali berasal dari orang yang pernah mengalami kekerasan dalam keluarga mereka sendiri. Rifka menjelaskan :
Riset yang kami lakukan menunjukkan kecenderungan pelaku adalah korban dari relasi orang tua yang seperti itu, penuh kekerasan.
Orang yang menjadi korban atau menyaksikan kekerasan sering kali menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Nurma menjelaskan bahwa pengalaman tersebut bisa mempengaruhi cara mereka berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Nurma mengatakan :
Mereka merasa dipukul, dicaci maki atau tidak menghargai pasangan itu sebagai hal yang wajar dalam hubungan keluarga.
Identitas BukuÂ
Judul Buku : Perempuan di Rumah No. 8
Penulis : Mutiarini
Jumlah Halaman : 320
Tahun Terbit : 28Â Februari 2024
Genre : Misteri, Horor dan Thriller
Penerbit : Gramedia Pustaka UtamaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H