Yang lebih buruk lagi, tidak ada orang yang bersedia membantu Lastri keluar dari penderitaannya. Tetangga-tetangganya enggan campur tangan dalam kasus KDRT karena dianggap sebagai urusan pribadi yang tidak boleh diintervensi orang lain. Masalah ini dianggap sebagai aib yang harus ditangani sendiri oleh pasangan yang terlibat, tanpa campur tangan pihak luar. Hal ini juga dialami Anika saat mencari pertolongan dari Santi namun justru mendapat teguran.
Lastri dan Anika memang hanya karakter fiksi, tetapi mereka mencerminkan realitas pahit yang dialami perempuan-perempuan Indonesia, seperti hantu-hantu perempuan sebelumnya. Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan selama 21 tahun terakhir, lebih dari 2,5 juta kasus Kekerasan Berbasis Gender dilaporkan di ranah personal. Kekerasan terhadap istri (KTI) merupakan kasus yang paling sering dilaporkan, mencapai 484,993 kasus.
Secara khusus, Lastri termasuk dalam jumlah 83 persen perempuan yang meninggal akibat KDRT, seperti yang dicatat oleh Komnas Perempuan dalam penelusuran mereka terhadap putusan Mahkamah Agung antara tahun 2015 dan 2022.
Sebagian besar pembunuhan itu terjadi karena motif cemburu dan tersinggung pelaku terhadap korban. Menurut Komnas Perempuan, hal ini merupakan bentuk femisida, yaitu pembunuhan perempuan yang terjadi langsung atau tidak langsung karena ketidakadilan dalam hubungan kekuasaan gender.
Dalam banyak kasus femisida yang dimulai dari KDRT, korban perempuan sering kali tidak mendapatkan pertolongan tepat waktu. Menurut Rainy Hutabarat, seorang komisioner dari Komnas Perempuan, hal ini bahkan disebut sebagai pembunuh diam-diam.
Seorang Laki-laki Mengalami Kekerasan yang Diwariskan
Fiksi bisa mengungkap hal-hal yang sulit diungkapkan oleh buku nonfiksi dengan lebih mendalam dan jelas. Itulah mengapa karya fiksi sangat penting sebagai sarana untuk membantu pembaca memahami realitas yang mungkin terlewatkan. Dalam novel Perempuan di Rumah No. 8, Mutiarini menggunakan fiksi untuk menggambarkan peran pentingnya dalam membuka tabir tentang korban laki-laki dalam kasus KDRT.
Ketika membahas KDRT, banyak yang masih percaya bahwa hanya perempuan yang mengalaminya, dianggap sebagai kelompok yang dianggap lebih lemah menurut pandangan patriarkal. Namun, kenyataannya, laki-laki juga dapat menjadi korban. Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menunjukkan bahwa 15 persen korban KDRT dari 1 Januari 2022 hingga 14 Februari 2023 adalah laki-laki.
Mutiarini mencoba mengangkat fakta yang sering diabaikan ini dalam karyanya. Dia menciptakan karakter Ibnu, seorang laki-laki yang menjadi korban KDRT, yang kemudian berperan penting bagi Anika untuk menyadari kekerasan yang dialaminya dan bagaimana cara untuk mengatasi masalah tersebut.
Seperti Anika dan perempuan lain yang menjadi korban KDRT, Ibnu juga mengalami berbagai jenis kekerasan dari pasangannya. Mulai dari kekerasan fisik hingga semuanya ia alami. Namun, seperti banyak laki-laki yang mengalami KDRT, Ibnu tidak menyadari bahwa ia adalah korban kekerasan. Ketidaksadarannya bukan tanpa alasan, melainkan karena adanya stigma sosial yang melekat pada laki-laki korban kekerasan, yang ditandai oleh stereotip gender di masyarakat.
Di dalam masyarakat yang sangat memperhatikan peran dan atribut gender tradisional yang biner, laki-laki diharapkan untuk mematuhi serangkaian norma perilaku tertentu. Mereka sering dianggap sebagai pemimpin yang harus kuat dan berwibawa, tidak boleh menunjukkan emosi karena dianggap sebagai tanda kelemahan. Oleh karena itu, ketika ada laki-laki yang mengaku sebagai korban kekerasan, seringkali mereka dihakimi atau dicemooh oleh masyarakat, seperti yang dikatakan Ibnu :
Kami dibilang cemen lah, pengecutlah, gagal jadi pemimpin, kalah sama perempuan.