Budaya populer turut memperkuat stigma ini. Menurut penelitian ilmuwan Elizabeth Bates dari Universitas Cumbria di Inggris yang dikutip oleh DW, kekerasan terhadap laki-laki sering kali dianggap lucu dalam acara televisi dan komedi. Hal ini membuat banyak laki-laki enggan mencari bantuan.
Mereka takut tidak akan dipercaya. Dan cara media melaporkan kekerasan dapat memengaruhi rasa takut itu, tulis Bates.
Seperti yang diungkapkan oleh Carmen Pitre, direktur eksekutif Sojourner Family Peace Center di Wisconsin, Amerika Serikat, korban laki-laki KDRT sering kali merasa takut dengan stereotip bahwa mereka diharapkan menjadi lebih kuat secara fisik dan harus mampu melawan pelaku kekerasan. Hal ini membuat mereka sering menghadapi keraguan dari pihak penegak hukum, dan ada sedikit tempat perlindungan untuk korban laki-laki dari KDRT.
Tidak kalah pentingnya, sebagai karya fiksi yang dapat menghubungkan dengan realitas, Mutiarini juga berupaya mengangkat isu tentang kekerasan yang diwariskan. Dia melakukannya dengan menciptakan karakter Reza yang tidak disederhanakan menjadi baik atau buruk. Untuk menjelaskan sifat dan tindakan kekerasan Reza, Mutiarini menggambarkan dia sebagai anak yang mengalami KDRT dari ayahnya sendiri, Husein.
Sejak kecil, Reza jarang mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup dari ayahnya, Husein. Sebaliknya, Husein membesarkannya dengan pendekatan keras, yang sering kali memberikan hinaan, tamparan, pukulan, bahkan tendangan kepada Reza. Sementara, ibunya tidak dapat banyak berbuat untuk melindunginya. Kekerasan yang dialaminya selama bertahun-tahun menyebabkan luka yang dalam dan membentuk kepribadian Reza.
Dalam kasus ini, kekerasan menjadi satu-satunya cara Reza menunjukkan perhatian dan kasih sayang, yang dialaminya sendiri dari ayahnya. Nurmawati, dari Rifka Annisa Women's Crisis Center, menjelaskan bahwa pelaku KDRT sering kali berasal dari orang yang pernah mengalami kekerasan dalam keluarga mereka sendiri. Rifka menjelaskan :
Riset yang kami lakukan menunjukkan kecenderungan pelaku adalah korban dari relasi orang tua yang seperti itu, penuh kekerasan.
Orang yang menjadi korban atau menyaksikan kekerasan sering kali menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa. Nurma menjelaskan bahwa pengalaman tersebut bisa mempengaruhi cara mereka berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Nurma mengatakan :
Mereka merasa dipukul, dicaci maki atau tidak menghargai pasangan itu sebagai hal yang wajar dalam hubungan keluarga.
Identitas BukuÂ
Judul Buku : Perempuan di Rumah No. 8