Pendidikan adalah salah satu faktor penting dalam pembangunan nasional. Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama memperoleh pendidikan, tak terkecuali siswa berkesulitan belajar spesifik. Persamaan hak asasi manuasi dalam bidang pendidikan perlu mendapatkan perhatian dari semua pihak. Diskriminasi terhadap anak yang memiliki kesulitan belajar merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Namun, yang terjadi dalam dunia pendidikan, guru hanya sebatas mentransfer pengetahuan tanpa mengetahui latar belakang siswa secara kejiwaan, karena kebutuhan siswa pada dasarnya adalah berbeda-beda. (Muniksu, 2021). Guru sebagai pendidik memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan, dengan memberikan bimbingan yang tepat sasaran kepada siswa-siswanya.
Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah anak yang memiliki intelegensi normal atau diatas normal, akan tetapi mengalami satu atau lebih dalam aspek-aspek yang dibutuhkan untuk belajar. Istilah kesulitan belajar terjemahan dari learning disability, sebenarnya tidak tepat, seharusnya diterjemahkan sebagai ketidakmampuan belajar (Mulyono, 2006:6 dalam (www.kompasiana.com). Pada penelitian ini peneliti fokus pada permasalahan anak disleksia yakni anak berkesulitan belajar membaca dan menulis. Disleksia merupakan anak berkesulitan belajar spesifik dalam hal mengeja, menulis dan beberapa aspek bahasa yang lain. Gejala yang sangat menonjol kesulitan dalam mempelajari komponen – komponen kata dan kalimat, mengintegrasikan komponen kata – dan kalimat. Kejadian disleksia di dunia berkisar 5-17% pada anak usia sekolah. Disleksia adalah gangguan yang paling sering terjadi pada masalah belajar. Kurang lebih 80% penderita gangguan belajar mengalami disleksia. 5-10 % anak-anak dan orang dewasa terkena disleksia (Wolfensberger & Ruijssnaars, 1997 dalam Arsip Pendidikan). Data menunjukkan bahwa jumlah anak sekolah di Indonesia sekitar 50 juta, sehingga diperkirakan 5 juta di antaranya mengalami disleksia. masyarakat di Indonesia belum banyak yang mengetahui mengenai disleksia, sehingga ketika orang-orang menemukan anak belum mampu membaca dan menulis dianggap sebagai anak yang bodoh atau malas. Padahal jika dilihat, anak-anak disleksia secara fisik memiliki penampilan yang normal seperti anak-anak pada umumnya. Penggunaan bahasa lisan, komunikasi dan interaksipun dilakukan secara normal.
Berdasarkan hasil observasi dan assesment di SD Negeri 2 Bangunrejo, menunjukkan bahwa terdapat seorang siswa yang mengalami disleksia. Masalah yang dimiliki oleh anak tersebut adalah memiliki kesulitan untuk mengenal beberapa huruf yang terkadang masih terbolak-balik. Sehingga diperlukan sebuah teknik khusus untuk mengajarkan huruf pada anak disleksia, khususnya pada huruf yang sering terbolak-balik. Mengenal huruf adalah modal yang sangat penting dalam kemampuan untuk membaca dan menulis. Namun ternyata penerapan proses pembelajaran selama ini kepada siswa disleksia cenderung sama seperti siswa normal pada umumnya. Hal ini didasarkan pada ketidaktahuan guru terhadap siswa yang mengalami disleksia maupun sulitnya guru mengajarkan siswa penyandang disleksia. Bagi siswa disleksia sudah seharusnya memperoleh strategi pembelajaran yang berbeda dengan siswa lain, dalam pelaksanaannya memerlukan modifikasi sehingga pesan atau materi pelajaran yag disampaikan dapat diterima oleh siswa disleksia, melalui media pembelajaran yang mendorong anak untuk belajar secara aktif dan mandiri serta melibatkan semua pengalaman penginderaanya secara terpadu untuk memahami konsep pembelajaran.
Kemampuan membaca dan menulis merupakan modal dasar bagi siswa sekolah dasar dalam mempelajari seluruh aspek mata pelajaran yang di ajarkan di sekolah. Bagi penderita disleksia hal tersebut menjadi hal yang sulit untuk dipelajari karena kurangnya kemampuan dalam memahami kata, angka dan cara penulisan. Kemampuan membaca di sekolah dasar membantu siswa mengkomunikasikan ide dan perasaannya dalam pembelajaran. Dengan demikian, pengembangan bahasa perlu dilatih sebagai upaya untuk memotivasi dirinya untuk mendalami mata pelajaran, terlebih di era pendidikan ini, gerakan literasi mulai dilaksanakan sebagai langkah awal dimulainya pembelajaran. Kesulitan membaca inilah yang akan terus menerus dibawa siswa jika tidak segera dideteksi dan dilatih. Siswa yang mengalami kesulitan membaca dan menulis juga akan mengalami kesulitan dalam menangkap dan memahami informasi yang disajikan dalam berbagai buku pelajaran, buku-buku bahan penunjang, dan sumber-sumber belajar tertulis yang lain (Pratiwi& Ariawan. 2017). Hal tersebut diharapkan guru dapat memberikan pembelajaran sesuai dengan kebutuhan setiap siswa.
Berdasarkan permasalahan tersebut penulis menggagas sebuah ide yaitu “Dacocan Method” : Solusi Pembelajaran Membaca dan Menulis bagi Siswa Disleksia di SD Negeri 2 Bangunrejo . Adanya metode tersebut diharapkan siswa disleksia dapat meningkatkan kemampuan membaca dan menulis sebagai bekal dalam memperoleh pengetahuan serta pengalaman baru yang diperolehnya dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan tersebut maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian yaitu sebagai berikut:
- Bagaimana aktivitas siswa dalam menggunakan Dacocan Method sebagai solusi pembelajaran membaca dan menulis bagi siswa disleksia di SD Negeri 2 Bangunrejo?
- Bagaimana peningkatan hasil belajar siswa dalam menggunakan Dacocan Method sebagai solusi pembelajaran membaca dan menulis bagi siswa disleksia di SD Negeri 2 Bangunrejo?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sejalan denan rumusan masalah, maka penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut:
- Untuk mengetahui aktivitas siswa dalam menggunakan Dacocan Method sebagai solusi pembelajaran membaca dan menulis bagi siswa disleksia di SD Negeri 2 Bangunrejo
- Untuk mengetahui peningkatan hasil belajar pada kemampuan membaca dan menulis
2. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SD N 2 Bangunrejo, selama 3 bulan pada Desember 2021 - Februari 2022. Menggunakan jenis penelitian Tindakan Kelas (PTK). Wina Sanjaya (2011:26) menyebutkan bahwa penelitian tindakan kelas dapat diartikan sebagai proses pengkajian masalah pembelajaran di dalam kelas melalui refleksi diri dalam upaya untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara melakukan berbagai tindakan yang terencana dalam situasi nyata serta menganalisis setiap pengaruh dari perlakuan tersebut. Penelitian ini dilakukan secara partisipatif dan kolaboratif. Bersifat partisipatif karena peneliti terlibat langsung dalam semua tahapan penelitian yang meliputi penentuan topik, perumusan masalah, perencaaan, pelaksanaan, analisis, dan pelaporannya.Bersifat kolaboratif karena penelitian ini melibatkan guru kelas selaku kolaborator dalam penelitian.