Oleh. Muhammad Eko Purwanto
Pada era digital sekarang ini, pendidikan di perguruan tinggi sering kali dipandang sebagai ladang untuk mendapatkan berbagai capaian akademis dan profesional. Namun, seiring dengan tujuan tersebut, proses pembelajaran di perguruan tinggi juga menawarkan kesempatan untuk perjalanan spiritual dan pengembangan diri yang lebih dalam.Â
Konsep-konsep dalam tasawuf seperti: takhalli, tahalli, dan tajalli dapat menjadi kerangka berpikir yang kaya makna bagi mahasiswa dan akademisi untuk menggali dimensi ruhaniah dari pendidikan.
Takhalli, Tahalli, dan TajalliÂ
Pada ajaran tasawuf, tiga konsep penting yang sering dibahas adalah Takhalli, Tahalli dan Tajalli. Ketiga  istilah ini merujuk kepada proses spiritual yang dilalui oleh seorang salik (pencari jalan Allah) dalam rangka mendekati dan hidup bersama Allah Swt.
Takhalli berasal dari kata (bahasa) Arab "Takhalla-yatakhalla-takhalliyan"Â yang berarti melepaskan atau mengosongkan. Dalam konteks tasawuf, takhalli merujuk kepada proses pembersihan diri dari sifat-sifat tercela dan dosa-dosa. Ini adalah tahap pengosongan hati dari hal-hal yang dapat menghalangi jalan menuju kedekatan dengan Allah.Â
Proses ini melibatkan mujahadah (usaha sungguh-sungguh) dan muhasabah (introspeksi) untuk membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati seperti: Riya (pamer), Ujub (bangga diri), Hasad (dengki), Takabbur (sombong).
Seorang sufi berusaha untuk mengendalikan hawa nafsu dan menghindari perbuatan maksiat melalui ketekunan dalam ibadah dan peningkatan akhlak. Takhalli adalah langkah awal yang penting sebelum seseorang dapat melanjutkan ke tahap berikutnya, yakni tahalli dan tajalli.
Jadi, seseorang yang menyadari dirinya penuh dengan kesombongan mungkin akan mengambil langkah-langkah untuk menghilangkan sifat buruk ini dengan banyak berkumpul dengan orang-orang yang rendah hati, banyak berzikir, dan berdoa memohon kepada Allah untuk dibersihkan dari sifat sombong. Dia juga terus-menerus mengingat akan kelemahannya sebagai makhluk dan kekuasaan Allah yang tak terbatas.
Selanjutnya, Tahalli adalah tahap dalam perjalanan spiritual seorang sufi yang mengikuti setelah takhalli. Jika takhalli adalah proses pengosongan hati dari sifat-sifat tercela dan dosa, tahalli adalah proses mengisi hati dengan sifat-sifat terpuji dan kebajikan. Tahalli berasal dari kata Arab, yang berarti menghias atau memperindah.
Dalam tahalli, seorang sufi berusaha menghiasi dirinya dengan sifat-sifat yang sesuai dengan ajaran Islam dan akhlak Rasulullah SAW. Fokusnya adalah pada pengembangan dan penanaman kualitas positif dalam jiwa. Beberapa sifat terpuji yang dicari antara lain: Ikhlas (tulus dalam niat dan perbuatan), Syukur (bersyukur), Sabar (kesabaran), Tawakkal (berserah diri kepada Allah), Ridha (penerimaan terhadap takdir Allah), Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tahalli melibatkan peningkatan kualitas ibadah dan muamalah (interaksi) dengan sesama makhluk. Seorang sufi akan berusaha untuk meningkatkan kualitas shalat, puasa, zakat, dan ibadah lainnya dengan penuh rasa cinta dan kesadaran akan kehadiran Allah. Selain itu, hubungan dengan sesama manusia juga dijaga dan dihiasi dengan perilaku yang baik, seperti berbuat adil, berkata jujur, dan membantu sesama.
Jadi, Tahalli tidak hanya terbatas pada pelaksanaan ibadah ritual, tetapi juga meliputi pembentukan karakter dan moral yang serasi dengan ajaran Islam. Tahap ini merupakan perjalanan seumur hidup di mana seorang sufi terus-menerus berjuang untuk mendekat kepada Allah dengan hiasan hati yang indah. Dengan hati yang dihias oleh sifat-sifat mulia ini, seorang sufi siap untuk mengalami tajalli, yaitu pencerahan spiritual dan manifestasi sifat-sifat Ilahi dalam hidupnya.
Berikutnya, Tajalli berarti penampakan atau manifestasi. Dalam terminologi tasawuf, tajalli merujuk kepada manifestasi sifat-sifat Ilahi dalam diri seorang hamba ketika hati telah bersih dan siap menerima cahaya Ilahi. Pada tahap ini, seseorang mengalami pencerahan spiritual di mana sifat-sifat Allah seperti kasih sayang, keadilan, dan kebijaksanaan tercermin dalam dirinya.
Tajalli adalah hasil dari proses panjang takhalli dan tahalli (penghiasan hati dengan sifat-sifat terpuji). Dalam proses ini, seorang sufi mengalami pencerahan batin dan merasakan kedekatan yang mendalam dengan Allah. Tajalli juga dapat berarti pengalaman spiritual di mana seorang hamba merasakan kebesaran dan keindahan Allah dalam semua aspek kehidupan, menyadari kehadiran-Nya secara lebih mendalam.
Setelah melalui proses panjang takhalli dan tahalli, seorang Salik biasanya mengalami momen pencerahan saat dia tersadar akan keindahan ciptaan Allah dalam sekelilingnya.Â
Misalnya, ketika melihat keindahan matahari terbit, hatinya diliputi rasa syukur dan kagum akan kebesaran Allah, dan dalam dirinya tumbuh sifat-sifat terpuji seperti kasih sayang, cinta, dan keadilan.
Dalam tasawuf, proses ini adalah perjalanan yang terus berlanjut, karena penyucian hati dan peningkatan spiritual adalah tugas seumur hidup. Seseorang harus terus-menerus berusaha menjaga hatinya tetap bersih dan menerima ilham Ilahi.
Refleksi dan Pemikiran Kritis
Seperti yang sudah dikemukakan di atas, bahwa Takhalli yang berarti pengosongan, menekankan pentingnya membersihkan diri dari kebiasaan dan pikiran yang menghambat kemajuan. Dalam konteks pendidikan, ini bisa berarti melepaskan diri dari sikap malas, prasangka buruk terhadap ilmu tertentu, atau ketakutan akan kegagalan.Â
Seorang mahasiswa perlu melepaskan beban mental ini agar dapat menyerap ilmu dengan sebaik-baiknya. Al-Ghazali, seorang filosof dan cendekiawan Muslim terkemuka, pernah mengatakan, "Pengetahuan tanpa pembersihan hati adalah sia-sia."Â Dengan kata lain, hati yang bersih adalah tanah subur bagi ilmu pengetahuan.
Setelah takhalli, datanglah tahap tahalli, yaitu menghias diri dengan sifat-sifat terpuji. Di perguruan tinggi, ini berarti mengembangkan sikap kritis, rasa ingin tahu yang tak kenal henti, serta integritas akademis. Mahasiswa diajak untuk menghiasi diri dengan sifat disiplin, kerja keras, dan kejujuran dalam setiap tugas dan penelitian.Â
Perkataan Ibn Sina, "Mendapatkan ilmu adalah kewajiban setiap orang berakal, sebagaimana mencari makna dalam ilmu itu sendiri," mendorong kita untuk tidak hanya belajar, tetapi juga mencari makna yang lebih dalam di balik setiap pengetahuan yang diperoleh.
Pada tahap akhir, yakni tajalli, seorang mahasiswa mulai mengalami pencerahan, di mana ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak hanya berfungsi sebagai instrumen akademik, tetapi juga menjadi cahaya yang menerangi kehidupan sehari-hari.Â
Lingkungan kampus adalah tempat di mana pemahaman dan kebijaksanaan dapat memanifestasikan diri, memungkinkan mahasiswa untuk berbagi dan berkontribusi kepada masyarakat. Jalaluddin Rumi mengilustrasikan ini dengan berkata, "Biarkan keindahan yang kita cintai menjadi hal yang kita lakukan." Dalam konteks ini, ilmu menjadi sarana membangun dan memperbaiki dunia.
Mengenali dan menjalani proses ini dapat memberikan mahasiswa perspektif baru yang menghubungkan antara spiritualitas dan pendidikan. Di Indonesia, kita kadang melihat fenomena gelar Doktor Honoris Causa yang diberikan kepada individu berprestasi di luar jalur akademis konvensional. Ini adalah contoh tajalli, bahwa kedalaman pemahaman dan kontribusi nyata sering kali lebih dihargai daripada sekadar pencapaian akademis formal.
Namun, di sisi lain, terdapat pula fenomena di mana penyelesaian studi doktor dilakukan dalam rentang waktu yang sangat singkat, yang memicu polemik dalam dunia akademik. Hal ini menantang kita untuk melakukan refleksi secara kritis, apakah proses pembelajaran sudah melibatkan takhalli dan tahalli dengan mendalam.Â
Cepatnya penyelesaian studi bisa mengindikasikan efisiensi, tetapi juga bisa berarti kurangnya pendalaman. Kutipan dari Ibn Arabi, "Ilmu yang sejati adalah yang bermanfaat bagi hati dan menghubungkan langsung kepada Sumbernya," mengingatkan kita untuk meninjau kembali esensi dari setiap pembelajaran.
Jika pendidikan hanya berorientasi pada gelar tanpa melalui proses spiritual yang otentik, maka kita akan kehilangan nilai dari perjalanan itu sendiri. Gelar Doktor Honoris Causa tentu dapat menjadi penghargaan yang pantas dan menggembirakan, tetapi semestinya itu juga merupakan refleksi dari proses tahalli dan tajalli yang telah dialami sepenuhnya.
Setiap mahasiswa harus merangkul nilai-nilai takhalli, tahalli, dan tajalli dalam mengejar pendidikan. Pengalaman pendidikan harus membebaskan pikiran dari belenggu dan batasan, menghiasi diri dengan kebijakan dan wawasan yang mendalam, serta memberi manifestasi yang bermanfaat bagi kehidupan.
Perguruan tinggi, dengan segala dinamikanya, adalah ekosistem di mana proses ini dapat berlangsung secara alami jika berlandaskan niat yang benar. Seperti yang dikatakan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, "Carilah ilmu dengan adab dan kemuliaan, agar ilmu itu memberimu pahala yang melimpah." Ini menekankan pentingnya sikap yang disertai dengan proses pembelajaran itu sendiri.
Dengan menjadikan proses pendidikan sebagai sebuah perjalanan spiritual, mahasiswa tidak hanya mengejar nilai akademik, tetapi juga mencari pencerahan pribadi dan kontribusi sosial yang lebih besar. Pendidikan menjadi cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dengan mengoptimalkan potensi yang ada pada diri tiap individu.
Hal ini juga menuntut para pendidik dan institusi pendidikan untuk menyediakan lingkungan yang mendukung perjalanan ini. Dengan demikian, peran dosen tidak hanya sebagai pemberi materi ajar, tetapi juga sebagai pembimbing yang menuntun dalam proses penyucian hati dan pemenuhan intelektual.
Dalam mengejar kebijaksanaan dan pengetahuan, kita diajak untuk tidak hanya fokus pada capaian akhir, tetapi juga untuk menikmati dan menghargai setiap proses yang kita lalui. Seperti air yang mengalir dengan tenang tetapi pasti, pendidikan yang mengalir dengan kesadaran akan menghasilkan sumber kebijakan yang tak pernah kering.
Terakhir, kita ingat sabda Rasulullah, Muhammad SAW yang menyatakan bahwa "Tinta seorang ulama (orang-orang yang berilmu) lebih suci/berharga daripada darah syuhada." Dengan spirit ini, ilmu pengetahuan diperlakukan sebagai kendaraan untuk kemajuan manusia yang berlandaskan kepada nilai-nilai spiritual.
Pada akhirnya, mengintegrasikan takhalli, tahalli, dan tajalli dalam proses pembelajaran pada perguruan tinggi bukan hanya tantangan, tetapi juga kesempatan. Dengan mengangkat kualitas spiritual dan intelektual, mahasiswa dan akademisi dapat menjadikan pembelajaran sebagai jalan mendekati Allah dan meningkatkan martabat kemanusiaan. Mari kita wujudkan harapan ini dalam setiap langkah kita di dunia pendidikan, khususnya di Indonesia. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 20 Oktober 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI