Mohon tunggu...
Muhammad Eko Purwanto
Muhammad Eko Purwanto Mohon Tunggu... Dosen - ALUMNI S3 UNINUS Bandung

Kuberanikan diri mengubah arah pikiran dan laku. Menyadarinya tanpa belenggu, dan identitas diri. Memulai hidup, merajut hidup yang baru. Bersama Maha Mendidik, temukan diri dalam kesejatian. Saatnya berdamai dengan kesederhanaan. Mensahabati kebahagiaan yang membebaskan. Cinta, kebaikan, dan hidup yang bermakna, tanpa kemelekatan yang mengikat. Hidup berlimpah dalam syafaat ilmu. Mendidikku keluar dari kehampaan. Hidup dengan yang Maha Segalanya, Menjadi awal dan akhirnya dari kemulyaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rezeki dan Rasa Takut: Mengatasi Kecemasan Finansial untuk Mencapai Ketenteraman Bathin?!

29 Agustus 2024   21:43 Diperbarui: 29 Agustus 2024   21:46 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh. Muhammad Eko Purwanto

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, kecemasan finansial menjadi isu yang semakin relevan dan menggema di tengah masyarakat kita. Kesejahteraan material menjadi tolok ukur yang sering kali menyesatkan dalam mencari makna kehidupan. Budaya sosial yang menekankan kesuksesan material menguatkan rasa takut akan ketidakcukupan. Tuntutan untuk "selalu lebih" sering membuat banyak orang terjebak dalam lingkaran overthinking, apalagi dengan kehadiran media sosial yang menyuarakan pencapaian orang lain secara konstan.

Para pemikir Muslim klasik, seperti Al-Ghazali, sering kali menjelaskan bahwa pencarian rezeki yang seimbang haruslah didorong oleh niat yang lurus dan sikap tawakal. Al-Ghazali mengingatkan bahwa kedamaian batin datang saat seseorang menyerahkan seluruh ikhtiarnya serta hasilnya kepada Yang Maha Kuasa. Satu hal yang pasti adalah ketenangan batin tidak akan tercapai melalui harta yang melimpah, melainkan melalui hati yang penuh syukur.

Filsafat Barat juga memiliki pandangan serupa. Diogenes, seorang filsuf Yunani kuno, pernah bertanya, "Mengapa kita, dengan segala kenikmatan dan harta yang kita miliki, justru merasa lebih miskin daripada mereka yang memiliki sedikit?" Sering kali, rasa takut akan ketidakcukupan membuat kita terjebak dalam labirin kecemasan. Uang bukanlah penawar semua penderitaan mental, meskipun sering diyakini demikian dalam pandangan materialistik modern.

Kondisi masyarakat kita yang semakin terdigitalisasi, dimana media sosial telah menjadi refleksi cermin kehidupan yang penuh ilusi dan tekanan. Ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain, maka kita hanya memupuk kecemasan yang sebetulnya tidak diperlukan. Filsuf dan sosiolog modern seperti Erich Fromm menekankan bahwa kebebasan yang sejati datang dari dalam, kesadaran akan diri, dan bukan dari tekanan sosial yang dibentuk oleh masyarakat massal modern.

Pengaruh dari media sosial ini, kerap menyebabkan orang berlomba-lomba menampilkan kehidupan sempurna yang pada kenyataannya, dalam banyak kasus, adalah sekadar fasad belaka. Keberhasilan yang dipamerkan sering kali bukanlah cerminan dari kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis. Seperti yang diutarakan oleh Epiktetos, "Bukan tentang memiliki banyak, tetapi menginginkan sedikit."

Kecemasan finansial yang melanda banyak orang juga berakar dari persepsi negatif mengenai ketidakpastian. Dalam hal ini, Muhammad Iqbal, seorang filsuf dan penyair Muslim, menekankan pentingnya kreativitas dan keyakinan untuk menghadapi masa depan. Ketidakpastian bukanlah musuh, melainkan kesempatan untuk berkreasi dan berkembang.

Namun, masyarakat Indonesia yang mengalami demam media sosial cenderung menghadapi tantangan ini dengan meningkatnya tingkat kecemasan, merasa tidak pernah cukup atau tertinggal. Filsafat kesehatan mental modern menegaskan pentingnya mindfullness, yaitu kesadaran penuh akan saat ini, hadir tanpa penilaian. Istilah ini bisa dikaitkan dengan konsep "muraqabah" dalam tasawuf yang mengajarkan kehati-hatian dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.

Adalah penting untuk memahami bahwa kecemasan finansial bisa bersifat ilusi dan solusinya mungkin terletak dalam pengelolaan emosi dan pola pikir. Perspektif stoikisme yang digagas oleh filsuf seperti Marcus Aurelius mengingatkan kita untuk memusatkan perhatian pada apa yang dapat kita kendalikan dan melepaskan yang tidak bisa kita kendalikan.

Seiring berjalannya waktu, mental beban yang tercipta sering disebabkan oleh standar yang ditetapkan oleh orang lain, bukan diri kita sendiri. Nietzsche, dalam refleksinya, menekankan kekuatan kehendak individual untuk mendefinisikan ulang nilai-nilai dan tujuan kehidupan berdasarkan pilihan sadar pribadi.

Perlu adanya kebijakan dari dalam untuk membedakan antara kebutuhan sejati dan keinginan yang dipicu oleh persepsi eksternal. Mengapa harus mencemaskan kekurangan materi, jika kebahagiaan sejati justru ditempa oleh pengalaman dan kebijaksanaan? Seperti yang dinyatakan oleh Kahlil Gibran, "Dalam kebutuhan paling dalam jiwa, tidak semua bisa terjemahkan oleh materi."

Melihat dari perspektif psikologi manusia, Abraham Maslow menguraikan hierarki kebutuhan yang berfokus pada pemenuhan potensi personal di puncaknya, bukan sekadar pencapaian material. Dasar dari kesehatan mental yang baik adalah penerimaan diri dan realisasi diri, yang sering kali diabaikan.

Di tingkat komunitas, dukungan sosial serta hubungan interpersonal yang sehat lebih memiliki pengaruh positif terhadap kebahagiaan dan rasa aman dibandingkan harta benda. Hubungan sehat juga menjadi semacam "penjamin" dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi, mengingat dukungan emosional yang diberikan satu sama lain.

Pada akhirnya, filsafat kehidupan dan kesehatan mental menyatakan bahwa pencapaian ketentraman batin melibatkan pemahaman mendalam tentang diri sendiri dan pemaknaan hidup yang lebih spiritual, bukan materialistik. Ishaq al-Kindi, seorang filsuf Muslim, menekankan pentingnya rasionalitas dan pemikiran mendalam dalam mengelola emosi dan mencapai kehidupan yang baik.

Dalam menghadapi rasa takut yang kerap dihadirkan oleh faktor eksternal seperti finansial dan media sosial, diperlukan upaya introspeksi dan sadar diri. Agustinus dari Hippo menasihati untuk mencintai apa yang paling dalam dari diri kita yang mengarah kepada kebaikan sejati.

Kesadaran bahwa ketentraman sejati tidak bisa dibeli merupakan langkah pertama menuju kebahagiaan yang lebih tulen dan bertahan lama. Alexander Solzhenitsyn menggambarkan bahwa kekayaan hati jauh lebih berarti daripada kekayaan materi yang bersifat sementara.

Pada akhirnya, dalam mengejar ketenangan jiwa di tengah kecemasan finansial dan hiruk-pikuk sosial, kita harus mengingat bahwa lahirnya rasa damai, lebih pada penerimaan diri dan kasih yang tulus. Harta yang tak ternilai bukanlah uang atau barang, tetapi kedamaian dari kekayaan batin yang terus menerus kita asah dan kembangkan ?!. Wallahu A'lamu Bishshawaab.

Bekasi, 29 Agustus 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun