Oleh. Muhammad Eko Purwanto
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, kecemasan finansial menjadi isu yang semakin relevan dan menggema di tengah masyarakat kita. Kesejahteraan material menjadi tolok ukur yang sering kali menyesatkan dalam mencari makna kehidupan. Budaya sosial yang menekankan kesuksesan material menguatkan rasa takut akan ketidakcukupan. Tuntutan untuk "selalu lebih" sering membuat banyak orang terjebak dalam lingkaran overthinking, apalagi dengan kehadiran media sosial yang menyuarakan pencapaian orang lain secara konstan.
Para pemikir Muslim klasik, seperti Al-Ghazali, sering kali menjelaskan bahwa pencarian rezeki yang seimbang haruslah didorong oleh niat yang lurus dan sikap tawakal. Al-Ghazali mengingatkan bahwa kedamaian batin datang saat seseorang menyerahkan seluruh ikhtiarnya serta hasilnya kepada Yang Maha Kuasa. Satu hal yang pasti adalah ketenangan batin tidak akan tercapai melalui harta yang melimpah, melainkan melalui hati yang penuh syukur.
Filsafat Barat juga memiliki pandangan serupa. Diogenes, seorang filsuf Yunani kuno, pernah bertanya, "Mengapa kita, dengan segala kenikmatan dan harta yang kita miliki, justru merasa lebih miskin daripada mereka yang memiliki sedikit?" Sering kali, rasa takut akan ketidakcukupan membuat kita terjebak dalam labirin kecemasan. Uang bukanlah penawar semua penderitaan mental, meskipun sering diyakini demikian dalam pandangan materialistik modern.
Kondisi masyarakat kita yang semakin terdigitalisasi, dimana media sosial telah menjadi refleksi cermin kehidupan yang penuh ilusi dan tekanan. Ketika kita membandingkan diri kita dengan orang lain, maka kita hanya memupuk kecemasan yang sebetulnya tidak diperlukan. Filsuf dan sosiolog modern seperti Erich Fromm menekankan bahwa kebebasan yang sejati datang dari dalam, kesadaran akan diri, dan bukan dari tekanan sosial yang dibentuk oleh masyarakat massal modern.
Pengaruh dari media sosial ini, kerap menyebabkan orang berlomba-lomba menampilkan kehidupan sempurna yang pada kenyataannya, dalam banyak kasus, adalah sekadar fasad belaka. Keberhasilan yang dipamerkan sering kali bukanlah cerminan dari kebahagiaan atau kesejahteraan psikologis. Seperti yang diutarakan oleh Epiktetos, "Bukan tentang memiliki banyak, tetapi menginginkan sedikit."
Kecemasan finansial yang melanda banyak orang juga berakar dari persepsi negatif mengenai ketidakpastian. Dalam hal ini, Muhammad Iqbal, seorang filsuf dan penyair Muslim, menekankan pentingnya kreativitas dan keyakinan untuk menghadapi masa depan. Ketidakpastian bukanlah musuh, melainkan kesempatan untuk berkreasi dan berkembang.
Namun, masyarakat Indonesia yang mengalami demam media sosial cenderung menghadapi tantangan ini dengan meningkatnya tingkat kecemasan, merasa tidak pernah cukup atau tertinggal. Filsafat kesehatan mental modern menegaskan pentingnya mindfullness, yaitu kesadaran penuh akan saat ini, hadir tanpa penilaian. Istilah ini bisa dikaitkan dengan konsep "muraqabah" dalam tasawuf yang mengajarkan kehati-hatian dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Adalah penting untuk memahami bahwa kecemasan finansial bisa bersifat ilusi dan solusinya mungkin terletak dalam pengelolaan emosi dan pola pikir. Perspektif stoikisme yang digagas oleh filsuf seperti Marcus Aurelius mengingatkan kita untuk memusatkan perhatian pada apa yang dapat kita kendalikan dan melepaskan yang tidak bisa kita kendalikan.
Seiring berjalannya waktu, mental beban yang tercipta sering disebabkan oleh standar yang ditetapkan oleh orang lain, bukan diri kita sendiri. Nietzsche, dalam refleksinya, menekankan kekuatan kehendak individual untuk mendefinisikan ulang nilai-nilai dan tujuan kehidupan berdasarkan pilihan sadar pribadi.