Setelah 3 hari dari Banda Aceh, aku mendapat telepon dari salah seorang karyawan dari DOMPET DHUAFA, katanya berkas saya diterima dan lulus administrasi. Â Kelulusan administrasi mewajibkan aku ikut seleksi tahapan demi tahapan. Dimulai dari tes tulis, tes mengajar, dan wawancara. Alhamdulillah tahapan itu aku lewati dengan sempurna sehingga aku lulus di terima sebagai guru relawan yaitu guru CERIA di kota Banda Aceh. Â
Karena sudah dinyatakan lulus sebagai guru CERIA, aku meminta pamit kepada ibu, keluarga, teman-teman dan anak-anak didikku yang di pesantren maupun di sekolah-sekolah.
Sebelum ditugaskan sebagai guru relawan, kami semua guru di beri bimbingan dan pelatihan dari DOMPET DHUAFA. Â Banyak hal yang diajarkan oleh mereka. Bukan saja ilmu pedagogiknya, tetapi juga ada ilmu tentang psikologi anak bahkan ilmu untuk membangkitkan mental anak yang terkena musibah tsunami. Â Usai pelatihan itu, kami dibagi tugas oleh ketua tim untuk terjun ke lapangan.Â
Tugas pertama aku di tempat pengungsian Desa Nusa Kabupaten Aceh Besar. Disana kami tinggal di bawah tenda-tenda, karena posko pengungsi di desa itu. Â Disana saya mengajar di alam bebas. Â Jika cuacanya panas dan hujan, anak-anaknya belajar dibawah tenda. Â Sungguh sangat rintangan mengajari anak-anak yang sedang trauma.Â
Butuh kesabaran yang besar menghadapi anak-anak untuk membuat mereka mau belajar kembali dan melupakan kejadian-kejadian bencana yang mereka alami serta membuat mereka bisa tersenyum lagi.  Terkadang dalam mengajar, ketika aku menyuruh mereka menggambar, umumnya anak-anak di pengungsian menggambar gambar tsunami. Aku  sangat sedih melihat hasil karya mereka yang masih berbekas dengan tsunami.
Sebulan di desa nusa, lalu aku dipindahkan ke barak lhong raya. Â Disana kehidupannya sudah sedikit berbeda. Dulu pengungsi nginapnya di tenda, sekarang mereka nginap di barak. Tempat mengajar mereka di meunasah-meunasah umum yang dibuat khusus untuk para pengungsi. Â Meski ditempat yang baru, aku harus menyesuaikan diri juga dengan anak-anak disini. Karena mereka adalah anak-anak baru juga yang baru ku kenal.Â
Bulan selanjutnya aku dipindahkan lagi ke lambaro, Aceh Besar. Â Disana sama juga tempatnya seperti di lhong raya. Â Mengajari mereka sore hingga malam. Paginya anak-anak sekolah di sekolah terdekat di Lambaro, karena daerah di Lambaro tidak terkena tsunami. Â Aku inap di barak ini juga.
Sungguh terasa sekali pedihnya jadi pengungsian, hal itu aku rasakan disaat mengajar di sekolah pengungsian ini. Â 6 bulan setelah tsunami, DOMPET DHUAFA ada menyumbangkan membuat sekolah baru kepada SDN 47 BANDA ACEH dan SMAN LHOONG ACEH BESAR. Â Beberapa dari tim guru CERIA dilanjutkan kerjanya di SDN 47 Banda Aceh, salah satunya saya terpilih tetap bisa bergabung dengan tim relawan guru CERIA.
Disaat sedang aku mengajar, sorenya dapat info dari harian Serambi Indonesia bahwa ada penerimaan tes Calon Pegawai Negeri Sipil Daerah (CPNSD). Â Untuk Kabupaten Pidie ada dibuka formasi guru matematika SMA daya tampungnya 8 orang. Â Ingin merubah nasib, mungkin jalur inilah yang aku tempuh agar aku bisa menjadi guru PNS. Â Solusinya harus pulang kampung untuk ikut tes.Â
Walau berat meninggalkan anak-anak pengungsian, saya meminta doa dan restu kepada anak-anak supaya anak-anak rela memberi saya untuk pulang sebentar ke kampung untuk ikut tes.  Pada waktu itu, walaupun anak-anak berat melepaskan aku pulang, tetapi mereka selalu mendoakan kesuksesan aku  selalu agar aku bisa lulus dari tes.
Ketika aku pulang ke kampung halaman dan mau mempersiapkan berkas untuk daftar CPNS, banyak halangan dan ejekan kepadaku  dari orang-orang.  Mereka berkata jangan pernah bermimpi jadi PNS jika tidak punya uang sogok 100 juta dan mempunyai orang dalam dalam pengurusan CPNS.  Perasaanku  pada waktu itu sangat sedih. Yang membuat aku sedih lagi, ada yang berkata aku tidak pantas untuk mendapatkan SK PNS karena aku adalah anak yatim yang miskin. Â