Mohon tunggu...
Syarif Ahmad
Syarif Ahmad Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Mbojo

#PoliticalScience- #AnakDesa Penggembala Sapi, Kerbau dan Kuda! #PeminumKahawa☕️ *TAKDIR TAK BISA DIPESAN SEPERTI SECANGKIR KOPI*

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir: Dari Subversi ke Terorisme

24 Januari 2019   21:58 Diperbarui: 25 Januari 2019   18:05 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menulis tentang petualangan seorang ideolog Islam seperti  Ustadz Abu Bakar Ba'asyir akan sumir, jika kisah tersebut hanya berdasarkan pada opini yang dibentuk media.

Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai pembenaran apa yang telah diopinikan oleh berbagai media. Tetapi lebih menampilkan sisi sejarah perjalanan seorang Ustadz Abubakar Ba'asyir, meskipun tidak dapat dihindari bias dari tulisan ini.

Tulisan pendek ini, setidaknya memberikan gambaran singkat tentang sejarah dari sikap politik Ustadz Abubakar Ba'asyir atau juga dipanggil dengan Ustadz Abu, tentang ideologi Islam politik yang dianutnya.

Sebuah kisah perjalanan hidup  penuh dengan pertikaian ideologi,   Islam politk versus ideologi Pancasila. Sejak usia muda sampai dengan usia sepuh, pandangannya tentang ideologi Islam, secara terbuka didakwahkan oleh Ustadz Abubakar Ba'asyir sebagai pilihan politik atas kebijakan politik asas tunggal Pancasila pada masa Orde Baru pada tahun 1985.

Sebagai seorang ideologis, Ustadz Abu bersama Ustadz Abdullah Sungkar, Yoyo Roswadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase dan Abdullah Baraja, dimulai dari pendirian sebuah Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngeruki pada tahun 1972.

Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngeruki, menjadi tempat bersemainya gagasan Islam Politik (ideologi Islam), yang berlokasi di Jalan Gading Kidul 72 A, Desa Ngruki, Kabupaten Sukoharjo Provinsi Jawa Tengah, menjadi saksi atas perjalanan ideologi Islam politik yang dianut Ustadz Abu.

Ustadz Abu dan Tuduhan Subversi

Secara historis, sebagaimana dikutip dari buku Dakwah dan Jihad Abubakar Ba'asyir, karangan Irfan Suryahardi Awwas, yang diterbitkan Wihdah Press, 2003. Menunjukan keteguhan sikap dan pilihan politik Ustadz Abu tentang ideologi Islam dan ideologi negara.

Sikap Ustadz Abu bersama Ustadz Abdullah Sungkar tersebut, ditemukan dari isi dakwaan Jaksa Penuntut Umum Roedjito pada persidangan di Pengadilan Negeri Sukoharjo pada tahun 1982. Mereka didakwah telah bertindak subversi, yaitu dengan tuntutan sebagai berikut:

  • Memutarbalikan, merongrong atau menyelewengkan ideologi negara Pancasila atau hukum negara, atau, 
  • Menggulingkan, merusak, atau merong-rong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah atau aparatur negaranya, atau, 
  • Menyebarkan rasa permusuhan atau menimbulkan perpecahan, pertentangan, kekacauan, kegoncangan atau kegelisahan di antara kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas, atau diantara negara Republik Indonesia dengan suatu negara sahabat. 

Jaksa Penuntut Umum menguraikan perbuatan Ustadz Abu dan Ustadz Abdullah Sungkar tersebut sebagai tindakan melawan hukum, dengan uraian sebagai berikut:

"Pada akhir tahun 1976 di rumah Abdullah Sungkar di Kelurahan Cemani, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo terdakwa Abdullah Sungkar dan Terdakwa Abu Bakar Ba'asyir dibaiat oleh Haji Ismail Pranoto bekas pimpinan DI/TII dengan cara bersalaman dan menirukan ucapan bai'at, sedang teks bai'at tersebut berasal dari atau menurun bai'at yang dibuat oleh imam Sekarmaji Kartosuwijo. Ada pun bunyi bai'at tersebut adalah sebagai berikut:

"Bismillahir rahmaanir rahim". "asyhadualla Illaha Illallah wa asyhadu anna Muhammadarrasulillah". 

"Saya berbaiat kepada Allah, bahwa saya akan selalu taat kepadapimpinan saya Jma'ah Mujahidin Ansshorullah selama pimpinan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan saya berjanji, saya akan selalu:

  • Tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun.
  • Mendirikan Sholat.
  • Melaksanakan Puasa di bulan ramadhoan.
  • Melaksanakan Perintah Allah dan Rosul-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
  • Berjuang menegakan agama Allah.
  • Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Surat dakwa'an  Jaksa Penuntut Umum yang ditandatangani Roedjito pada tanggal 6 Maret 1982 tersebut di atas, dijawab secara tegas oleh Ustadz Abu dan Ustadz Abdullah Sungkar secara terpisah melalui Pledoinya masing-masing.

Ustadz Abu membuat Pledoi, yang intinya membantah tuduhan Jaksa, dengan mengatakan; "bahwa Saya menyetujui ajakan Hispran untuk melaksanakan maksudnya", adalah tidak benar sama sekali. Mengenai tuduhan Jaksa tentang pelaksanaan syariat Islam, Ustadz Abu menjelaskan bahwa: "sebagai seorang muslim, tujuan dan tugas hidup saya sudah digariskan dengan tegas dalam Al-Qur'an, yaitu hanya untuk mengabdi kepada Allah saja".

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum tersebut di atas, meskipun tidak dapat dibuktikan secara keseluruhan, namun  Pengadilan Negeri Sukoharjo tetap menjatuhkan vonis terhadap Ustadz Abu dan Ustadz Abdullah Sungkar bersalah dengan hukuman  9 tahun penjara.

Tetapi pada tingkat banding, Ustadz Abu dan Ustadz Abdullah Sungkar dijatuhi vonis 4 tahun penjara, persis seperti lamanya masa tahanan yang telah mereka tempuh. Artinya Ustadz Abu dan Ustadz Abdullah Sungkar dibebaskan demi hukum.

Setelah 3 tahun menghirup udara bebas, berdasarkan vonis banding Pengadilan Tinggi Jawa Tengah. Pada bulan April tahun 1985, datang surat panggilan dari Pengadilan Negeri Sukoharjo untuk mendengarkan putusan kasasi dari Mahakamah Agung (MA) terhadap Ustadz Abu dan Ustadz Abdullah Sungkar.

Menyadari akan resiko yang bakal dihadapi, dan atas saran dari pembela serta sahabat-sahabatnya, mereka mengabaikan panggilan tersebut, karena diyakini hanya akal-akalan untuk menjebloskan kembali ke penjara. Keyakinan itulah yang menjadi dasar pertimbangan, sehingga Ustadz Abu dan Ustadz Abdullah Sungkar memutuskan untuk meninggalkan Indonesia menuju Negeri jiran Malaysia.

Sejak pelarian mereka dari tahun 1985--1999, otomatis aktivitas dakwah Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dan Abdullah Sungkar di Malaysia dan Singapura. Di Johor Malaysia, Ustadz Abu dan Ustadz Sungkar mendirikan sebuah Pondok Pesantren yang diberi nama Lukmanul Hakim. Selain berdakwah, Ustadz Abu berdagang obat-obatan dan madu, berkebun serta berternak ayam kampung kecil-kecilan.

Pada sebuah kesempatan, penulis mewawancarai Ustadz Abu sekitar bulan Agustus pada tahun 2003 bertempat di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngeruki, Ustadz Abu mengenang kembali pelariannya menuju Malaysia. Berangkat dari Solo --Jakarta-Lampung-Medan secara tersembunyi, menghindari penangkapan oleh aparat Militer, yang pada saat itu Panglima ABRI Leonardus Benny Moerdani, memerintahkan "tangkap, hidup atau mati".

Ketika pelariannya sampai di Medan, semula rombongan Ustadz Abu berencana menuju Arab Saudi, tetapi kemudian pilihannya menuju ke Malayasia dengan menaiki perahu kecil, ombak bergulung, menghempas badan perahu yang dimuatioleh banyak penumpang terus berlayar sembari diguyur hujan lebat.

Di tengah laut, beberapa kali mesin perahu ngadat, kami hanya bertawaqal dan memohon perlindungan dari Allah. Begitulah kenangan pelarian mereka menuju Malaysia yang disampaaikan oleh Ustadz Abu.

Ustadz Abu dan Tuduhan Terorisme

Kembali dari Malaysia pada tahun 1999, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir terlibat dalam pengorganisasian dan pendirian Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang merupakan salah satu dari sekian banyak organisasi Islam baru yang tumbuh pada masa awal-awal reformasi, yang menghendaki amandemen terhadap UUD 1945 dengan tuntutan pemberlakuan syariat Islam, sebagai kewajiban bagi umat Islam sebagaimana yang tertuang dalam Piagam Jakarta. Sementara Ustadz Abdullah Sungkar dalam perjalanan pulang dari Malaysia, terpaksa kembali ke Malaysia untuk berobat dan meninggal dunia di Malaysia.

Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Sukoharjo Roedjito, pada tanggal 10 Januari 2002 menyampaikan sebuah berita yang menyatakan bahwa pihak Kejari akan segera melakukan eksekusi terhadap putusan Kasasi Mahkamah Agung terhadap Amir  MMI Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Dalam mempersiapkan eksekusi tersebut, Kejari Solo melakukan koordinasi dengan Polres dan Kodim Sukoharjo, dan pada tanggal 25 Januari 2002 memenuhi panggilan klarifikasi di Mabes Polri didampingi Tim Pengacara Muslim (TPA) Achmad Michdan. Pada konfresi pers tersebut Achamad Michdan mengatakan, bahwa pemanggilan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir oleh Mabes Polri bukan bagian dari upaya Interpol untuk memeriksa Ustadz Abu. "Pemanggilan itu merupakan klarifikasi dan pengayoman terhadap warga negara.

Pernyataan Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew pada tanggal 28 Peberuari 2002, dengan menyatakan bahwa Indonesia, khususnya kota Solo sebagai sarang teroris. Pernyataan Lee Kuan Yew tersebut ditujukan kepada Ustadz Abu Bakar Ba'asyir Ketua Majelis Mujahidin Indonesia dan pada tanggal 19 April 2002, Ustadz Abu menolak eksekusi atas putusan Mahkamah Agung (MA), untuk menjalani hukuman pidana selama sembilan tahun atas dirinya, dalam kasus penolakannya terhadap Pancasila sebagai asas tunggal pada masa Orde Baru yaitu pada tahun 1982. Abu Bakar Ba'asyir menganggap, bahwa eksekusi atas keputusan MA tersebut merupakan pesanan Amerika Serikat dan Basyir menyatakan kasus tersebut sudah kadaluwarsa.

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, pada tanggal 20 April 2002  meminta perlindungan hukum kepada pemerintah kalau dipaksakannya untuk menjalani hukuman sesuai putusan kasasi MA tahun 1985. Ustadz Abu, mengatakan bahwa dasar hukum untuk penghukuman dirinya adalah Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Subversi dan kini UU tersebut tak berlaku lagi dan pemerintah pun sudah memberi amnesti serta abolisi kepada tahanan dan narapidana politik (tapol/napol), dan pada bulan April 2002, pemerintah masih mempertimbangkan akan memberikan amnesti kepada tokoh MMI tersebut.

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir yang pada tahun 1985 dihukum selama sembilan tahun oleh Mahkamah Agung (MA), karena dinilai melakukan tindak pidana subversi yaitu penolakan terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila. Dari pengecekan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menkeh dan HAM) Yusril Ihza Mahendra, ternyata Ustadz Abu Bakar Ba'asyir memang belum termasuk tahanan politik/narapidana politik (tapol/napol) yang memperoleh amnesti dan abolisi dalam masa pemerintahan Presiden Habibie maupun Abdurrahman Wahid.

Kejaksaan Agung (Kejagung) pada tanggal 8 Mei 2002, akhirnya memutuskan tidak akan melaksanakan eksekusi terhadap Ustadz Abu Abu atas putusan Mahkamah Agung (MA) untuk menjalani hukuman pidana selama sembilan tahun penjara. Alasannya, dasar eksekusi tersebut, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 11/ PNPS/1963 mengenai tindak pidana subversi sudah dicabut dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Sebaliknya, Kejagung menyarankan kepada Kepala Kejaksaan Negeri Sukoharjo (Jawa Tengah) untuk meminta amnesti bagi Ustadz Ba'asyir kepada Presiden Megawati Soekarnoputri.

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada tanggal 8 Agustus 2002 mengadakan kongres I di Yogyakarta untuk membentuk pimpinan Mujahidin. Terpilihlah Ustadz Abu Bakar Ba'asyir sebagai Amir Majelis Ahli Hali Wal Aqdi (AHWA), yang merupakan pimpinan tertinggi dari MMI. Tetapi pada tanggal 23 September 2002, majalah TIME menulis berita dengan judul Confessions of an Al Qaeda Terrorist dimana dituliskan bahwa Abu Bakar Ba'asyir disebut-sebut sebagai perencana peledakan di Mesjid Istiqlal. Majalah TIME menulis secara tendensius tentang dugaan Abu Bakar Ba'asyir sebagai bagian dari jaringan terorisme internasional yang beroperasi di Indonesia.  Berdasarkan dokumen CIA, Majalah TIME mengutip dokumen CIA bahwa pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah adalah Abu Bakar Ba'asyir dengan bermodalkan pada pengakuan Umar Al-Faruq. Mengenai Umar Al-Faruq adalah pemuda berkebangsaan Yaman berusia 31 tahun yang ditangkap di Bogor pada bulan Juni 2001 dan dikirim ke pangkalan udara di Bagram, Afganistan, yang diduduki AS dan tak ada kabar beritanya.  Meskipun beberapa bulan bungkam, Al-Faruq membuat sebuah pengakuan--kepada CIA bahwa dirinya adalah operator Al-Qaeda di Asia Tenggara dan mengaku memiliki hubungan dekat dengan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir.

Untuk memperkuat tuduhan keterlibatan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, laporan intelijen yang dikombinasikan dengan investigasi Majalah TIME, membuat sebuah laporan yang menempatkan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir sebagai pemimpin spiritual kelompok Jamaah Islamiyah (JI) yang bercita-cita membentuk negara Islam di Asia Tenggara. Majalah Time mengisahkan Abu Bakar Ba'asyir sebagai penyuplai orang-orang untuk mendukung gerakan Faruq. Bahkan dengan karangan bebasnya, Majalah Time mengisahkan Ustadz Abu sebagai dalang yang berada di belakang peledakan bom di Masjid Istiqlal tahun 1999. Dalam Majalah TIME edisi 23 September 2002, Al-Farouq juga mengakui keterlibatannya sebagai otak rangkaian peledakan bom pada tanggal 24 Desember 2000.

Majalah Tempo, menurukan liputan khusus wawancara dengan Ustadz Abu, menceritakan bahwa selama di Malaysia ia tidak membentuk organisasi atau gerakan Islam apapun. Selama di Malaysia Ustadz Abu dan Abdullah Sungkar hanya mengajarkan pengajian dan mengajarkan sunah Nabi. "Saya tidak ikut-ikut politik". Sebulan atau dua bulan sekali saya juga datang ke Singapura. Kami memang mengajarkan jihad dan ada di antara mereka yang berjihad ke Filipina atau Afganistan. Semua sifatnya perorangan." Ungkapnya. (Majalah Tempo, 25 september 2002).

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, pada tanggal 1 Oktober 2002 mengadukan Majalah TIME sehubungan dengan berita yang ditulis dalam majalah tersebut tertanggal 23 September 2002 yang menurut Ustadz Abu Bakar Ba'asyir berita itu masuk dalam trial by the press dan berakibat pada pencemaran nama baiknya. Abu Bakar Ba'asyir membantah semua tudingan yang diberitakan Majalah TIME. Ia juga mengaku tidak kenal dengan Al-Farouq.

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) secara resmi pada tanggal 11 Oktober 2002, meminta pemerintah untuk membawa Omar Al-Faruq ke Indonesia berkaitan dengan pengakuannya yang mengatakan bahwa ia mengenal Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Atas dasar tuduhan AS yang mengatakan keterlibatan Al-Farouq dengan jaringan Al-Qaeda dan aksi-aksi teroris yang menurut CIA dilakukannya di Indonesia, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir mengatakan bahwa sudah sepantasnya Al-Farouq dibawa dan diperiksa di Indonesia, dan pada tanggal 14 Oktober 2002, Ustadz Abu menggelar konferensi pers di Pondok Al-Islam, Solo. Dalam jumpa pers itu Ustadz Abu mengatakan peristiwa ledakan di Bali merupakan usaha Amerika Serikat untuk membuktikan tudingannya selama ini bahwa Indonesia adalah sarang teroris.

Markas Besar Polri pada tanggal 17 Oktober 2002, melayangkan surat panggilan sebagai tersangka kepada Pemimpin Majelis Mujahidin, Ustadz Abu Bakar Ba`asyir. Namun beliau tidak memenuhi panggilan Mabes Polri untuk memberi keterangan mengenai pencemaran nama baiknya yang dilakukan oleh majalah TIME dan pada tanggal 18 Oktober 2002, Ustadz Abu ditetapkan tersangka oleh Kepolisian Republik Indonesia, berdasarkan pengakuan Omar Al Faruq kepada Tim Mabes Polri di Afganistan juga sebagai salah seorang tersangka pelaku pengeboman di Bali.

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir, pada tanggal 3 Maret 2005 divonis bersalah atas konspirasi serangan bom pada tahun 2002, tetapi tidak bersalah atas tuduhan terkait dengan bom 2003, sehingga dijatuhi hukuman 2,6 tahun penjara dan pada tanggal 17 Agustus 2005, masa tahanan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dikurangi 4 bulan dan 15 hari. Hal ini merupakan suatu tradisi pada peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia, Ustadz Abu dibebaskan pada 14 Juni 2006.

Ustadz Abu Bakar Ba'asyir mengundurkan diri dari Majelis Mujahidin Indonesia pada tahun 2008 bersama beberapa aktivis Islam lainnya dan mendirikan sebuah organisasi baru bernama Jama'ah Anshorut Tauhid (JAT) pada bulan Juli 2008. Ustadz Abu, kembali didaulat menjadi Amir JAT dan pada tanggal 9 Agustus 2010 Ustadz Abu Abu kembali ditahan oleh Kepolisian Republik Indonesia di Banjar Patroman atas tuduhan membidani satu cabang Al Qaida di Aceh yang melakukan pelatihan militer di Jantho, Aceh Besar dan Abu Bakar Ba'asyir menolak tuduhan tersebut.

Pada 16 Juni 2011, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dijatuhi hukuman penjara 15 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan setelah dinyatakan terlibat dalam pendanaan latihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia, walaupun banyak kontroversi yang terjadi selama masa persidangan. Kemudian dari balik penjara sejak ditahan di Bareskrim Mabes Polri hingga saat di Lapas Nusakambangan dan kemudian dipindahkan di LP Gunung Sindur, Ustadz Abu dalam kondisi sakit-sakitan dan usia yang semakin sepuh sekitar 81 Tahun, Abu Bakar Ba'asyir terus berdakwah dengan menulis buku. Buku yang sempat membuat geger dan ramai dibicarakan adalah buku Tadzkiroh II dimana beliau secara langsung menyebut negara dan penguasa beserta aparat di negeri ini sebagai Thoghut.

Politisasi Kemanusiaan 

Tidak dapat dihindari, wacana pembebasan tanpa syarat Ustadz Abu Bakar Ba'asyir  dipahami sebagai kebijakan politis yang bersifat elektoral menjelang Pilpres pada tanggal 17 April 2019. Wacana pembebasan tanpa syarat Ustadz Abubakar Ba'asyir disampaikan sehari setelah debat Calon Presiden tahap pertama pada tanggal 17 Januari 2019. Melalui media Calon Wakil Presiden Ma'aruf Amin memuji tentang kebijakan pembebasan Ustadz Abu. 

Informasi tersebut secara mengejutkan viral di media massa (termasuk media sosial), tentang proses pembebasan Abu Bakar Ba'asyir. Pembebasan tersebut, juga disampaikan oleh pengacara Capres Jokowi, sekaligus Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra dengan menyebutkan: bahwa proses pembebasan tersebut demi alasan kemanusian.

 Tidak hanya Yusril Ihza Mahendra, Presiden Jokowi pun secara terbuka juga menyampaikan proses pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir tersebut tanpa syarat.

Presiden Jokowi, melalui Yusril Ihza Mahendra menyampaikan beberapa alasan penting kenapa Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dibebaskan tanpa syarat, yaitu: Pertama, pertimbangan Presiden Joko Widodo menyetujui pembebasan Abu Bakar Ba'asyir karena didasari rasa kemanusiaan. Kedua, soal kondisi kesehatan Ba'asyir selama menjalani masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat.

Pernyataan Presiden Jokowi dan apa yang disampaikan oleh Yusril Ihza Mahendra di atas, juga didukung oleh Sekertaris Jenderal Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto, dengan menyebutkan bahwa  pembebasan Ustadz Abubakar Ba'asyir dari penjara di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, berdasarkan pada Pancasila dan atas dasar kemanusiaan.

Tidak ketinggalan keputusan Presiden Jokowi tentang pembebasan Ustadz Abu juga didukung oleh Ketua PBNU bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan Robikin Emhas, yang  menilai bahwa rencana pembebasan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir dari penahanan atas pertimbangan kemanusiaan dapat dimaklumi

Setelah ramai atas informasi pembebasan tanpa syarat Ustadz Abu menjadi percakapan publik secara luas. Menkopolhukam Wiranto, secara mengejutkan menyampaikan bahwa pembebasan Ustadz Abu harus melalui kajian dan pertimbangan.

Wiranto mengungkapkan melalui kanal you tube MetroNews, Senin 21/1/2019, bahwa rencana pembebasan Abu Bakar Ba'asyir masih perlu dipertimbangkan, terutama aspek ideologi Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan hukum. Wiranto secara tegas mengatakan: bahwa Presiden tidak boleh grasa-grusu.

Konfrensi Pers Wiranto tersebut, mengkoreksi pernyataan Presiden Jokowi sebelumnya tentang pembebasan tanpa syarat Ustadz Abubakar Ba'asyir, dan Presiden Jokowi membuat pernyataan baru. Presiden Joko Widodo menegaskan, bahwa pembebasan terhadap terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba'asyir merupakan murni dengan pertimbangan dari sisi kemanusiaan.

Namun proses pembebasan Ba'asyir tetap harus melalui mekanisme syarat hukum yang harus dipenuhi. Kepala Negara menegaskan, bahwa sejatinya, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga setia kepada Pancasila menjadi prinsip dasar yang harus dipenuhi. Hal itu diutarakan Jokowi di Istana Merdeka pada Selasa (22/1/2019).

Politisasi kemanusian demi elektoral rupanya dicoba dilakukan oleh pasangan petahana Jokowi-Ma'ruf Amin. Isu pembebasan Ustadz Abu, gagal memberikan efek elektoral pada pemilih aliran Islam politik.

Kegagalan tersebut dapat dilihat dari rangkaian pernyataan politik Menkopolhukam pada apel siaga pemilu 2019, menyatakan jangan pilih pemimpin brengsek melalui kanal you tube, https://www.youtube.com/watch?v=EX-tP49JMJw. Pernyataan Wiranto dalam kapasitasnya sebagai Menokopolhukam, mencerminkan sikap yang tak biasa. Narasi yang digunakan menggambarkan suatu sikap sebagai politisi yang panik atas kekuasaan, bukan politik kebangsaan.

Bima, 24 Januari 2019.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun