Mohon tunggu...
Ina Widyaningsih
Ina Widyaningsih Mohon Tunggu... Administrasi - Staf TU SMPN 3 Pasawahan

Penyair Pinggiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Ibu" Hakikat Sebuah Keramat

16 November 2020   16:00 Diperbarui: 16 November 2020   16:24 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Ibu"
Tanpamu aku tiada
Tanpamu aku bukan apa-apa
Tanpamu aku bukan siapa-siapa
Tanpamu sungguh aku tak bermakna

Sebait puisi di atas lahir dari sebuah rasa yang terdalam ketika aku mengingat kata "Ibu".

Tiada kata yang terindah untuk menjelaskan kasih sayang ibu dari masa ke masa. Seorang perempuan yang begitu hebat di mataku.

Bagiku terlalu banyak pengorbanannya yang tak dapat kubalas satu persatu. Berapapun harga yang ditawarkan takkan pernah sebanding dengan apa yang telah beliau perjuangkan untukku.

Ibu yang kuat dan hebat, mengapa demikian?

Beliaulah yang berjuang mati-matian demi aku anaknya, tanpa bantuan seorang ayah semua dilakukannya sendiri. Semenjak ayahku meninggal, ibulah yang menjadi tulang punggung keluarga dengan segala beban yang dihadapinya.

Tak pernah kulihat beliau mengeluh, walau setiap hari bercucur peluh demi kelangsungan hidup kami sekeluarga. Bekerja sebagai seorang guru adalah kesehariannya. Dan itu memang berlaku juga untukku sebagai anaknya.

Tegas dan cerdas, pribadi beliau yang sungguh jauh dari kemampuanku. Apapun yang dikatakannya adalah sebuah pepatah juga perintah yang jelas harus dilaksanakan olehku.

Dan itu memang benar!

Karena terbukti nyata dan sangat terasa atas keberadaanku sekarang ini.

Dari mulai aku tak tahu bahkan tak bisa apa-apa, beliaulah "Al-madrasatul Uula". Sekolah pertama bagiku itulah sebutan yang pantas disandangnya. 

Ketika jalan hidup yang begitu panjang dan terjal harus kami hadapi bersama. Tak sekalipun kulihat lelah di matanya. Beliau tampak tegar menerima kenyataan hidup dan terus berjuang demi kemajuan anaknya.

Masih saja terngiang ucapan beliau padaku:

"Jangan pernah mengeluh dengan apa yang menimpa pada diri kita, curahkanlah segala keluh kesahmu hanya Pada-Nya dengan Sholat dan Doa".

Dan aku sangat tahu sekali dengan sikap beliau yang tak pernah mengumbar cerita tentang keluarga kami. Siapapun yang mengenalnya selalu berdecak kagum akan keberhasilannya membesarkan anaknya seorang diri.

Aku tiada dan bukan apa-apa tanpa dirinya. Karena ibu adalah malaikat penyelamat di kehidupanku. Bahkan ketika anaknya ini terbenam dalam lumpur kepahitan hidup.

Aku yang kemudian bisa bangkit kembali dan menjadi seorang guru seperti beliau. Perjalanan hidupnya adalah inspirasi nyata di depan nyata sekaligus sebagai bahan ajar di sekolah kehidupanku.

Tak perlu teladan yang jauh untukku mengambil contoh pengalaman. Semua ada pada ibuku yang telah berhasil menjadikanku ada dan menjadi seseorang kini.

Ibu, yang kini mulai renta dan aku masih saja membebaninya dengan jalan kehidupanku yang memang kurang beruntung. Namun apa daya, aku harus terima apa adanya jika ibu masih harus menemani perjuanganku.

Satu hal yang tak pernah bisa aku turuti dari beliau, yakni ketabahan dan kesabarannya yang tiada batas. 

Selama 9 bulan, ibu yang berjuang hingga ujung nyawa saat melahirkan anaknya. Namun ketika kita beranjak dewasa begitu saja lupa dengan segala kebaikan dan kasih sayangnya.

Kita hanya bisa menyuruhnya menyediakan segala keperluan seenaknya. Tentu kita ingat akan hal itu, menyuruhnya membelikan sesuatu atau membuat masakan kesukaan kita. Dan semua itu dilakukannya dengan penuh kasih sayang agar anaknya tidak merasa sedih dan kecewa.

Lalu bagaimana dengannya yang ketika meminta pertolongan pada kita, terkadang hanya ada kata "ah" yang terlontar begitu saja dari mulut kita. Dengan sabar, dia hanya diam mendengar perkataan itu.

Tahukah? Jika saja saat itu hatinya merasa terluka, dan keluarlah perkataannya, maka terjadilah dengan kata-katanya tersebut sebagai Kuasa Tuhan. Keridhaan ibu adalah keridhaan Tuhan bagi kita.

Sungguh ampuh perkataan seorang ibu, maka pantaslah jika ia disebut "Keramat". Dengan menyenangkan hatinya saja kita telah sangat menghormatinya, apalagi jika kita memberikan kebahagiaan yang lebih kepadanya.

Sebuah keramat tentunya sangat sakral untuk selalu diagungkan, karena itulah hakikat yang sesungguhnya. Dan ketika hal tersebut kita lakukan dengan sebagaimana mestinya tentunya kita sebagai anaknya akan memperoleh keberhasilan sesuai harapan dan doa yang selalu dipanjatkannya kepada Tuhan Sang Maha Kuasa.

Segala puji bagi Tuhan Semesta Alam, yang telah memerintahkan kami untuk bersyukur dan berbuat baik kepada kedua orang tua terutama ibu, dan berwasiat kepada kami agar menyayanginya sebagaimana beliau telah mendidik kami sewaktu kecil.

Dari seorang ibu berawalnya pendidikan, dan semua itu dapat kurasakan dalam bentuk kasih sayang yang takkan terlupakan. Bagiku ibu adalah guru terbaik di kehidupanku. Semoga dengan tulisan ini akan selalu mengingatkanku untuk terus berbakti padamu, Ibu.

Ibu, maafkanlah anakmu yang belum bisa membahagiakanmu.

Ibu, semoga engkau sehat selalu dan kasih sayang Tuhan selalu menyertaimu, aamiin.

Salam bakti bagimu, Ibu

dok. pribadi
dok. pribadi
Pondok Bungur, 16 Nopember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun