"Sora, sepertinya peta yang kau punya sudah bisa kupahami."
"Peta apa Pak?"
"Ya, ini membentuk sebuah peta. Langkah itulah yang kita lewatkan."
Aku meneliti buku catatan Pak Satya. Di sana ada beberapa gambar yang dia terjemahkan. Kemudian di sebelahnya ada peta dengan jalan setapak.
"Sepertinya Ayahmu dan Kakekku menyembunyikan suatu rahasia, tapi mereka ingin kita menemukannya."
"Membayangkan bisa kebetulan bertemu denganmu dan kita punya kertas yang sama saja sudah membuatku merinding Pak."
"Dari sini kita tau bahwa pada saat peta ini dibuat, ada beberapa bangunan yang belum dibangun seperti sekarang."
"Bagaimana dengan kertas yang satu lagi?"
"Mungkin ini akan membuatmu lebih merinding. Jika kedua kertas ini disatukan, maka akan menunjukkan denah kampus kita, maksudku tempat dimana kita sekarang berada."
Aku hanya membuka mata dan mulutku lebar-lebar tanpa sadar, sambil mengusap lenganku agar berhenti merinding. Ini sungguh kemajuan yang pesat. Tapi sementara itu aku merasa tidak berguna karena belum membantu menemukan apapun.
Keesokannya Pak Satya mengajakku bertemu di sebuah kafe. Aku jarang melihatnya begitu bersemangat mengenai penemuan aneh ini. Dia juga membawa buku kakeknya yang ditemukan di loteng rumah tua, yang juga milik kakeknya. Aku menemaninya ke rumah itu beberapa kali. Melihat wajahnya yang tegang saat memasuki rumah itu membuatku terhibur. Ternyata dia penakut juga, dan yang membuatku lebih heran adalah rumah itu diwariskan padanya. Artinya rumah itu miliknya.