Pukul 02.00 dan ada yang mengetuk jendela seperti biasanya. Tidak lain dia adalah Pak Satya. Aku membuka jendela dan memintanya menunggu. Aku keluar dengan jaket parasut dan tas ransel, seperti biasanya.
"Kali ini kita sebaiknya kita mengitari belakang kampus sekali lagi."
"Tapi menurutku, sepertinya bukan di sana Pak. Firasatku mengatakan sebaiknya kita melihat-lihat di samping laboraturium."
Akhirnya kami memutuskan untuk berpencar dan bertemu di Fakultas Ilmu Budaya. Aku membawa buku catatan yang sudah penuh dengan coretan yang semakin lama semakin membingungkan. Pak Satya sampai menyuruhku untuk membuangnya saja, karena akan menyusahkan. Tapi aku masih membawanya dan berharap mendapat petunjuk besar dari apa yang telah kukumpulkan.
Kami bertemu di dekat pintu masuk kelas dan menyadari bahwa tidak ada hal baru yang kami temukan. Ini sudah sekitar tiga bulan sejak aku dan Pak Satya memutuskan untuk berkoalisi. Saat aku menemukan semacam petunjuk yang terlipat rapi di dalam kotak barang berhargaku. Aku tahu itu pasti dari mendiang Ayah. Lalu ketika aku menanyakan beberapa hal ke Pak Satya, dia terkejut. Bisa kau tebak kalau dia juga punya kertas yang sama dan juga belum mengerti isinya. Tapi dia mendapatkannya dari mendiang Kakeknya. Lebih jelasnya, dia mendapatkan dari sekotak buku peninggalan Kakeknya dan kertas itu terselip di antara halaman Forbidden Archeology: The Hidden History of the Human Race.
Kedua kertas itu berisikan teka-teki yang mengarah ke sesuatu. Tapi seperti yang kau tahu, sudah selama ini kami belum menemukan apapun yang berarti. Kami hanya tau bahwa ada tanda batu yang sama dengan yang ada di gerbang kampus.
"Aku masih belum menyerah Pak."
"Aku tau betapa bersemangatnya kau, tapi ini sudah menghabiskan waktu kita. Mari kita membuat batas untuk ini."
"Baiklah. Jika sampai minggu depan kita masih tidak menemukan apapun mari kita berhenti, sejenak, barangkali."
"Hah, baiklah. Kau juga harus memikirkan ujian."
Sebelum matahari terbit, kami sudah kembali. Beberapa hari berlalu. Pada suatu siang kami sepakat untuk bertemu di perpustakaan. Beberapa orang selalu memperhatikan kami dengan pandangan yang berbeda. Aku jadi berpikir kira-kira apa yang mereka pikirkan. Mungkin karena aku dan Pak Satya terlalu sering terlihat bersama, seperti sepasang orang yang sedang berkencan. Aku memutuskan untuk tidak memikirkan hal-hal aneh. Lagi pula, Pak Satya masih muda dan belum menikah, sehingga masih pantas saja jika dia dekat dengan seseorang. Ah sudahlah, untuk sekarang memikirkan teka-teki jauh lebih penting.