Malam itu pertama kalinya aku menjejakkan kaki di pulau Sumatra. Ya, aku datang untuk merantau. Meninggalkan kota Magelang sebagai kota tempat kelahiranku memang berat. Apalagi harus berpisah jauh dengan kedua orang tua dan dua adikku. Sulitnya mencari lapangan kerja di tanah JÃ wa adalah sebab utama. Mau tak mau merantau adalah pilihan yang harus kembali kugeluti. Lagipula sejak duduk di bangku kelas 5 SD aku sudah terbiasa merantau.
Jam dinding di ruang tamu rumah sekaligus yang akan menjadi basecamp tim tempatku bekerja telah menunjukkan pukul 23.50 wib. Badan terasa capek sekali setelah menempuh dua hari perjalanan. Setelah selesai sholat isya' aku mengambil buku diary dari dalam tas. Menulis apa saja di buku diary sudah merupakan kebiasaan sejak lama. Rasanya dia teman curhat yang gak pernah protes. Malam itu aku goreskan sebuah tulisan kecil,
Kapal telah berlabuh, kehidupan baru seakan dimulai esok hari saat sang mentari menunjukkan sinarnya yang hangat, dan udara pagi yang bersahabat. Aku ingin menyongsongnya, dengan menggenggam erat harapan dan doa untuk sebuah hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.
Aku bisa tersenyum bahagia karena senyum dan restu kedua orang tua menyertaiku. Hingga aku tegar untuk melangkah.
Meskipun ada sayatan luka.
Ya, sayatan luka di hati yang harus kuterima dengan lapang dada. Bahwa jodoh, rizki, hidup dan mati adalah di tangan-Mu. Oh Tuhan, meski hamba sangat mencintainya tapi jika kedua orang tuanya tak merestui mungkin cinta in hanya akan menjadi sebuah kenangan.
Hanya kepada-Mu hamba gantungkan doa dan harapan. Berilah hamba kekuatan dan pertolongan disetiap langkah hamba.
Aamiin.
Aku pejamkan ke dua mata. Wajah Nurhayati gadis putri dari kepala yang sangat kusayangi terbayang di pelupuk mata.
Mas Aji, aku mencintai dan menyayangimu tulus apa adanya. Aku minta maaf atas sikap kedua orang tuaku terhadap keluarga mas. Saat ini aku hanya bisa pasrah karena aku sendiri sudah tidak punya kebebasan lagi untuk memilih calon pendamping hidup. Aku bagai raga yang tak bernyawa.
Kenapa harus nama itu yang dipilihkan orang tuaku? Nama yang sangat kubenci. Belum pupus harapanku untuk bisa membina bahtera mahligai rumah tangga bersamamu mas. Hanya doa dan doa yang bisa kupanjatkan.
Tak terasa air mataku menetes membaca penggalan sepucuk surat yang ditulisnya saat melepas kepergiaanku. Tapi apa mungkin? Mungkinkahaku bisa bersanding denganya jika kedua orang tuanya mengutamakan harta dan kekayaan. Sedangkan aku adalah orang yang tak bergelimang harta.
Sayup-sayup aku masih mendengar lantunan sholawat dari Grup Sholawat Rebana Panji Kinasih, Temanggung yang kuputar lirih dari ponsel genggam.
"Rohmaka ya robbal 'ibadi rojai, waridhoka qosdi fastajibli du'aa'i..."
Kemudian kian hilang ketika aku terlelap dalam tidur.
****
Kumandang adzan memecah kehinangan malam membangunkañku. Aku bergegas mengambil air wudhu dan bersiap-siap menuju masjid. Kubangunkan pula Arif adikku yang masih bergelung dalam selimut. "Duh, masih capek dan ngantuk mas...ntar jam lima bangunin yah." Akhirnya aku berangkat sendirian menuju masjid yang tak jauh dari basecamp.
Sesampai di masjid yang cukup megah itu aku terenyuh karena nyaris tidak ada jamaah sholat subuh. Hanya aku dan penjaga masjid yang bertindak sebagai imam. Berbanding terbalik dengan jamaah sholat subuh di masjid kampung kelahiranku yang biasa terisi dua shaf meski kebanyakan orang-orang tua yang berbondong-bondong ke masjid.
Setelah selesai berjamaah penjaga masjid yang sudah separuh baya itu menyalamiku, "Tampaknya adik orang baru ya disini?" Tanya beliau ramah. Aku hanya mengangguk lantas sedikit bercerita tentang asal-usul dan keperluanku disini. Bapak penjaga masjid yang bernama Pak Sumedi itu tersenyum mendengar aku berasal dari Jawa. "Bapak juga asli dari Jawa dek, bapak lahir di Kutoarjo. Kalau bapak sekeluarga sih sudah sejak tahun 83 merantau disini." Aku manggut-manggut mendengarnya. Ada rasa senang bisa berkenalan dengan sama-sama orang Jawa yang hidup di tanah perantauan.
Perbincangan kami beralih ke persoalan minimnya jamaah sholat subuh di masjid Al-Hidayah yang berada di komplek perumahan ini, "Sayang sekali ya pak, masjidnya kok sepi dari jamaah..." Pak Sumedi hanya tersenyum, "Maklumlah dek, disini gak bisa disamakan dengan di Jawa. Disana masih banyak orang-orang sholeh dan pondok-pondok pesantren."
Perbincangan kami terpotong oleh sebuah uluk salam dari luar masjid. "Assalammualaikum..." Aku dan Pak Sumedi serempak menjawab salam bersamaan. Ternyata seorang gadis muda yang datang. Subhanallah, cantik sekali. Gumamku dalam hati.
"Oh ya dek Aji perkenalkan, ini putri bungsuku Ardina Kusumawardani..." Gadis anggun dan berjilbab yang ternyata putri pak Sumedi itu melempar senyumnya seraya menelangkupkan ke dua telapak tangan di depan dada sebagai tanda salam.
"Salam kenal kak."
****
Pagi pertama yang kusaksikan di tanah Sumatra. Semburat sinar sang mentari pagi membuncah di ufuk timur sana memancar dengan indah. Subhanallah, betapa hangat sinar sang mentari yang diciptakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala Terasa merasuk ke dalam kalbu bersama aliran udara pagi yang sejuk. Di pagi hari yang damai itu aku menguatkan tekad dan niat untuk bisa meraih sukses di tanah perantauan.
Sejenak aku teringat nasehat Bu Dzakiah guru agama waktu aku masih duduk di bangku SMK.
"Dimanapun kita berada semuanya adalah bumi Allah. Jarak yang jauh tak seharusnya menyurutkan langkahmu untuk merantau selagi muda. Meski harus jauh dengan keluarga, Insya Allah Dia memberi ganti dengan saudara-saudara seiman yang bisa jadi jauh lebih sayang dan perhatian. Namun dengan satu syarat, berjalanlah lurus di jalan Allah dan Rasul-Nya. Jelajahlah dunia dan temukan tanda-tanda kebesaran dan karunia Allah ji...."
Nasehat itu selalu terngiang. Kutulis besar-besar dengan huruf kapital di buku diaryKubaca tiap malam menjelang tidur dan hal itu menjadi salah satu motivasi terbesar dalam hidupku.
***
Pagi itu aku berjalan-jalan di sekitar rumah. Kota Prabumulih tak jauh beda dengan Magelang hanya terletak di cuacanya saja. Jika Magelang adalah kota yang berhawa sejuk maka Prabumulih hawanya lumayan panas kata Mas Asfuri yang menjabat sebagai field manager team.
Tepat pukul 09.00 pagi aku dan juga teman-teman satu tim di ajak Mas Asfuri ke pasar untuk membeli keperluan kerja dan keperluan sehari-hari. Mas Asfuri yang sudah dua tahun bekerja untuk perusahaan dengan senang hati banyak bercerita tengtang pengalamanya dalam mengelola wilayah pemasaran yang dipercayakan perusahaan padanya. Dari cerita-cerita yang dikemukakan pimpinanku itu aku banyak mendapatkan masukan, suntikan semangat dan motivasi. Ah, rasanya sudah tak sabar untuk segera terjun ke lapangan.
Semula aku gak ngeh dengan jika harus bekerja sebagai salesman atau seorang marketing. Apalagi pernah punya pengalaman buruk, tertipu rayuan sales. Barang yang terlanjur terbeli tak sepadan dengan harganya yang tinggi. Sejak saat itu citra salesman nampak buruk bagiku. Sampai suatu ketika penilaianku berubah 180° terhadap salesman. Seminggu sebelum berangkat ke Sumatera direktur utama perusahaan memberi sebuah buku referensi tentang salesman, marketing, dan bisnis. Ketiganya adalah elemen utama sebagai mata rantai dalam dunia bisnis. Buku berjudul Sales Power dan Psychology of Selling karya Bryan Tracy itu telah mengubah cara pandangku dan membukakan cakrawala baru bagiku untuk mewujudkan cita-cita untuk mengeñtaskan kemiskinan yang puluhan tahun membekap keluargaku.
Ada pernyataan yang menarik dari Bu Dzakiah mengenai hal dunia bisnis yang melibatkan sà lesman di dalamnya,
"Andai pà ra penjual atau salesman bisa meniru bagaimana junjungan kita Nabi Muhammad Shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam berniaga atau berbisnis maka tak ada yang merasa dirugikan. Jangan lupa Ji, Rasulullah itu seorang pedagang yang sukses. Perdagangan adalah warisan dari nabi dan ulama. Jadi kenapa harus malu untuk jadi seorang pedagang. Pesà n ibu jadilah pedagang yang jujur, Insya Allah pintu-pintu rezeki akan terbuka."
Akhirnya selepas pamitan dengan bu Dzakiyah aku tersadar akan satu hal, tidak selamanya apa yang kita sangkakan itu nyata keburukanya. Langkahku kian terasa ringan dan semakin memantapkan hati untuk jadi wiraniaga yang sukses.
***
Senja telah memerah di ujung cakrawala. Lantunan tilawah qur'an dari masjid yang tak jauh dari basecamp tempatku bekerja memanggilku untuk segera bergegas ke masjid. Aku dan Arif adikku berjalan beriringan sambil bertukar cerita.
Pak Sumedi tersenyum menyambut kami. Aku bersyukur karena ada beberapa orang yang datang untuk sholat berjamaah di masjid. Meskipun kebanyakan adalah orang tua yang mengajak anak kecil beberapa dari mereka.
Begitu bedug dibunyikan Pak Sumedi memintaku untuk mengumandangkan adzan maghrib. Semula aku menolak tapi karena desakan dari beberapa jamaah aku melaksanakan perintah itu. Hatiku berdesir karena teringat kebiasaan mengumandangkan adzan di masjid kampung tempat tinggalku nun jauh di Magelang sana. Dimanapun aku merantau alhamdulillah selalu dekat dengan masjid. Aku teringat cerita Ustadz Arwan saat aku pernah merantau dua tahun di Jakarta bahwa beliau menjadikan masjid sebagai titik awal perjuangan. Masjid adalah rumah ibadah yang menghubungkan manusia denga Rab Sang Penciptanya. Masjid memberi spirit tersendiri dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Itu pula yang sudah kubuktikan sendiri wejangan dari ustadz yang mengajar saat aku masih mondok dulu.
***
Selepas sholat maghrib aku dan Arif adikku dijamu di rumah Pak Sumedi yang letaknya hanya dua rumah di depan masjid. Istri beliau Bu Darwati menyambut kami dengan ramah. Apalagi ketika tahu kami sama-sama dari Jawa dengan tujuan merantau.
Untuk kali kedua aku bertemu dengan putri Pak Sumedi. Hatiku kembali berdesir.Subhanallah, dalam balutan busana muslimah yang rapi ia tak kalah anggun dan bahkan lebih anggun dari artis-artis sinetron yang suka mengumbar aurat.
"Silakan diminum kak tehnya..."
Sejenak aku gugup,
"I..iyambak, kasih."
Pak Sumedi dan istrinya tertawa kecil. "Lain dengan di Jawa lho Mas Aji, kalau disini panggilan untuk yang lebih muda "adek" namanya, Jadi panggil saja Ardina dengan "Adek". Dia putri bungsu kami..."
Perbincanganpun semakin akrab dan hangat karena sesekali diselingi canda tawa kecil. Ah rasanya bahagia sekali bisa bertemu dan kenal dengan keluarga Pak Sumedi yang ramah.
***
"Mas...menurtku Mbak Ardina tadi cocok lho buat sampean."
Selepas sholat Isya' dalam perjalanan pulang aku tidak menyangka adikku nyeletuk seperti itu. "Huus...kamu tuh bisa aja dek. Lha mas kan sudah punya Nurhayati?"
Adikku itu hanya mencibir, "Mas boleh cinta setengah mati sama Mbak Nur tapi mas juga harus sadar dengan kenyataan..."
Dadaku terasa sesak. Kenyataan kadang tak seindah yang diharapkan. Cintaku untuk Nurhayati bak kapal yang akan karam oleh terjangan badai.
"Sudahlah dik...aku lagi gak mau ngomongin hal itu..." Ia mengangkat kedua tanganya, "Maaf lho mas, kalau aku sih gak membenci Mbak Nur cuma sakit hati saja dengan perlakuan kedua orang tuanya yang merendahkan martabat keluarga kita. Sebagai adikmu aku ingin mas mendapat pendamping hidup yang tepat. Sayang sama mas dan menerima mas apa adanya dan juga keluarga kita...."
Aku hanya mampu terdiam. Luka hatiku kian menganga lebar. Astaghfirullahal adhim, aku tak boleh membiarkan luka ini terus berlarut-larut menguasai hatiku. Hamba yakin akan kebijaksanaan-Mu ya Rab. Batinku merintih.
***
Hari Ke Tiga....
Inilah hari yang kutunggu. Hari dimana aku akan membuka lembaran baru. Awal bagiku untuk berjibaku di tanah Sumatra. Bekerja sebagai tim pemasaran lukisan relief kaligrafi dari bahan plat kuningan. Dengan banderol harga di atas jutaan praktis sasaran pemasaran produk adalah calon konsumen dengan ekonomi menegah ke atas. Seperti halnya waktu training di kantor pusat yang ada di Magelang sistem order door to door dari rumah-rumah mewah, kantor-kantor, instansi sekolah dan pemerintah adalah kantong-kantong atau target pemasaran produk. Dulu sempat grogi, minder, dan gak pede ketika tahu target pemasaran harus mendatangi tempat-tempat yang terkesan gak ramah. Kantor-kantor besar, rumah-rumah mewah identik dengan penjagaan security. Nah, diawal pelantihan memang hal yang gak mengenakkan aku alami. Ditegur satpam, ditolak mentah-mentah, adalah menu utama tapi Mas Asfuri sebagai leader team membimbing dengan sabar. Menyuntikan semangat dan motivasi seta memberi kiat-kiat tersendiri menghadapi segala problem di lapangan. Hasilnya, luar biasa! Kami tak pernah patah arang dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dalam pekerjaan. Banyak pula ketakutan-ketakutan kami tim pemasaran yang tak terbukti di lapangan. Justru kami kerap kali menemui keajaiban-keajaiban dalam penjualan.
Pagi itu tepat pukul 08.00 WIB. Mas Asfuri memintaku menjadi imam jamaah sholat dhuha. Satu hal yang membuatku bahagia adalah sholat dhuha dijadikan agenda wajib bagi semua tim pemasaran sebelum berabgkat terjuñ ke lapangan.
"Insya Allah jika kita rutin mengerjakan sholat dhuha minimal dua rakaat, Allah Yang Maha Pemberi rizki akan membukakan pintu-pintu rizki dari jalan yang tidak disangka. Mempermudah kita dari segala urusan atau kesulitan. Kita tak cukup hanya berusaha, tapi harus disertai doa dan tawakkal. "
Aku dan rekan setim yang lain manggut-manggut meyakini ucapan leader kami karena memang Allah dan Rasul-Nya telah menjamin keutamaan sholat dhuha yang telah tertuang dalam Al-Qur'an dan Hadist. Yah, memang benar adanya. Mas Asfuri sendiri contoh kesuksesan nyata bagiku. Di usia yang masih muda setelah tujuh tahun malang melintang di dunia pemasaran dia telah mereguk sukses dalam karier, rumah tangga, dan berkecukupan secara materi maupun non materi. Sebuah keinginan terbersit di hatiku. Aku ingin bisa mengikuti jejak kesuksesan leader tim sekaligus kuanggap seperti kakak atau saudara sendiri.
***
Gedung bertingkat tiga itu berdiri dengan kokoh. Atap gedung yang bentuknya seperti buku yang tengah dibuka itu merupakan ikon kota Prabumulih. Sebuah kota administratif yang terletak dua jam perjalanan dari ibukota Sumatera Selatan, Palembang. Gedung yang kumaksud tadi tak lain adalah gedung kantor walikota. Letaknya persis bersebelahan dengan polres Kota Prabumulih.
Dengan mengucap basmalahaku mengajak Arif adikku untuk melangkahkan kaki untuk menjemput rizki yang mungkin saja telah disediakan Allah Subhanahu Wa Ta'ala di dalam sana. Tugasku hanya menawarkan produk kepada calon konsumen, melobby atasan, atau jika penjualan belum berhasil minimal memperoleh referensi untuk di olah pada lain waktu.
Ada satu keuntungan yang menjadi point tersendiri ketika berani mencari order dengan mendatangi kantor-kantor besar, instansi sekolah atau instansi pemerintahan. Banyak salesmanpemula yang minder atau gak pede jika harus mendatangi tempat-tempat tersebut. Padahal kesempatan mendapatkan order lebih besar. Memang ada satu atau dua kendala yang harus di hadapi para salesman yakniregulasi kantor dan security yang kadang gak ramah atau tidak memberi kesempatan karenasalesman identik dianggap sebagai pengganggu. Namun kendala tersebut masih bisa disiasati. Bukan untuk ditinggalkan begitu saja sehingga seperti yang disampaikan oleh Mas Asfuri itu sama saja membuang kesempatan emas.
Tentu saja aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Seperti kantor-kantor kebanyakan kantor walikota ini juga diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat umum. Sedari tadi kulihat banyak lalu lalang orang keluar masuk gedung tanpa harus diperiksa satu persatu oleh security sehingga dengan leluasa aku masuk ke dalam gedung.
TAMU HARAP LAPOR
Begitu masuk di aula utama gedung kantor walikota yang megah itu sebuah tulisan pengumuman memberi isyarat bagiku. Tiba-tiba sebuah nama terlintas. Yah aku harus menemui gadis itu. Tadi malam waktu bersilaturahmi ke tempat Pak Sumedi ternyata gadis itu bekerja disini. Ketika aku menyebutkan nama dan ruang kerjanya petugas resepsionist itu dengan senyum ramah menunjukkan pada kami arah menuju ruanganya.
Inilah pertemuan ketiga kami.
***
"Maaf nih dek Ardina kalau kedatangan kami mengganggu waktu dan pekerjaan adek." Gadis yang sangat anggun dalam balutan seragam pegawai muslimahnya itu mengulum senyum.
"Ah idak kok kak, kebetulan hari ini adek idak begitu sibuk, jadi gimana nih...ada yang bisa adek bantu?" Ujarnya. Aku mengutarakan maksud kedatanganku. Gadis itu mendengarkan dengan seksama. Lantas aku mengulurkan sebuah brosur berisi katalog produk-produk perusahaan ketika ia memintanya. Setelah membolak-balik sebentat halaman demi halaman brosur itu ia menyatakan kekagumanya pada nilai seni dan keindahan produk-produk lukisan untuk hiasan dinding itu.
"Apa gak ada contoh barangnya kak?" Tanya Ardina. "Kalau contoh barangnya telah siap sedia di mobil dek." Jawabku.
Ia kembali tersenyum sejurus kemudian aku takjub dengan keajaiban dalam penjualan yang aku dan adikku dapat hari itu. Dengan senang hati Ardina membantu mempresentasikan produk-produk perusahaan kami kepada para karyawan kantor di ruang tempatnya bekerja di bagian administrasi. Saat presentasi produk tak kusangka Ardina sangat cakap, kreatif, dan komunikatif dengan calon konsumen. Proses presentasi berlangsung tidak terlalu kaku, jauh dari kesan formil namun malah berlangsung seru dengan adanya interaksi dari beberapa orang yang menyatakan minat untuk membeli produk-produk perusahaan setelah melihat langsung produk yang ditawarkan. Mas Asfuri tak tinggal diam. Ia turut membantu presentasi, membuat point penawaran dan closing harga setelah deal dengan konsumen. Aku tersenyum lega. Dalam hati aku sangat bersyukur saat menuliskan surat bukti pembelian dan kartu garansi produk. Saat itu ada empat orang yang tertarik membeli. Alamat rumah calon konsumen sudah ditangan. Tinggal sore nanti mengantarkan barang yang sudah dipesan ke rumah masing-masing.
Mas Asfuri menyalami aku dan adikku. Memberi selamat atas penjualan yang kami dapat hari itu. Senyum kegembiraan jelas terpancar di wajahnya. Aku dan adikku tak kalah senang. Kami tak lupa mengucapkan banyak terima kasih pada Ardina. Tanpa bantuanya mungkin hari itu aku dan adikku belum bisa melakukan penjualan.
"Dek Ardina, presentasi adek tadi sungguh hebat. Kami harus belajar banyak nih dari adek. Tak lupa kami ucapkan terima kasih banyak. Tanpa bantuan dari adek mungkin kami akan banyak mengali kesulitan." Gadis itu tersenyum simpul, "Sama-sama kak, kita sama-sama pedagang kok. Disamping sebagai pegawai resmi adek juga bisa sambil berbisnis pakaian batik disini. Bisnis kecik-kecian sih kak. Hitung-hitung bisa untuk nambah penghasilan meskipun sedikit. Maklum pegawai honorer macam adek ni gajinya masih dak seberapo. Kalo lah pegawai negeri sih enak...."
Kami tersenyum mendengar penuturanya. Oh begini to logat bahasa Palembang. Batinku dalam hati. Enak di dengar meski terkadang ada satu atau dua kata yang tidak kumengerti.
Tak terasa Adzan dhuhur berkumandang dari masjid yang berada di area kantor pemerintahan kota. "Oh ya kak...mungkin kito biso kerja samo saling menguntungkan kak. Jadi begini, adek mintak bae brosur produk seperti yang punya kakak tadi. Nah terserah kakak nak njuk persenan berapo samo adek."
Bak ibarat pepatah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Ketika kutawari traktir makan siang sebagai tanda terima kasih kami ia menggeleng perlahan, "Makasih kak...bukanyo menolak tapi adek lagi puaso."
Subhanallah,
Aku makin kagum padanya.
Selepas sholat dhuhur seluruh anggota tim yang berjumlah 6 orang, 4 orang salesman, 1 sopir dan Mas Asfuri yang bertindak sebagai manager lapangan (Field Manager) beristirahat melepas lelah di serambi masjid. Kami berbagi cerita tentang pengalaman kerja di hari pertama. Alhamdulillah Ridwan dan Tyo yang bertugas ngorder di kantor polres Prabumulih yang bersebelahan dengan kantor walikota juga mendapat orderan.
"Alhamdulillah, rekan-rekan semua semoga ini adalah awal yang baik untuk tim kita. Yang penting kita harus tetap semangat dan pantang menyerah. Hasil kita hari ini adalah berkat usaha kita semua dan berkat pertolongan AllahSubhanahu Wa Ta'ala.Jangan cepat berpuas diri atas hasil yang telah dicapai namun juga tak lupa kita wajib bersyukur atas limpahan rezeki-Nya."
Ucap Mas Asfuri yang serempak kami iyakan.
"Iyaaa mas...!!
Selesai makan siang Mas Asfuri menghampiriku. "Tuh kan bro...apa aku bilang kadang kita takut atau mengkhawatirkan hal yang belum tentu terjadi. Hal itu wajar asal tidak terlalu berlebihan karena dapat mempengaruhi semangat kerja kita. Justru bagaimana kita menyikapi kekhawatiran itu. Dunia niaga jika dijalani dengan tuntunan Rasulullah dan mengambil teladan dari beliau yang merupakan wiraniaga yang sukses pada masanya, Insya Allah berlimpah berkah. Benar adanya bahwa ajaran Islam tentang silaturahmi erat kaitanya dengan kesuksesan sebuah bisnis atau wiraniaga. Terbuktikan dengan kamu kenal dengan keluarga Pak Sumedi dengan senang hati si dia yang cantik mau membantu kamu dan Arif adikmu. Sebuah perusahaan yang besar itu karena adanya faktor relasi bisnis dengan konsep simbiosis mutualisme seperti yang diungkapkan dek Ardina tadi. Orang-orang berjiwa bisnis, jiwa bisnis yang sehat seperti itulah yang dibutuhkan tiap-tiap perusahaan untuk bisa survive."
Aku mengangguk tersenyum dan bisa mencerna apa yang disampaikan Mas Asfuri.
Sisa setengah hari saat itu kami keliling beberapa sudut kota Prabumulih untuk mengantarkan barang pesanan ke rumah konsumen.
Dalam perjalanan pulang dari balik kaca jendela mobil Aku tersenyum menatap ke arah mentari senja yang perlahan terbenam. Ah senja yang indah dan hari yang penuh berkah.
***
Bip.
Sebuah pesan singkat masuk. Hampir aku terlonjak kegirangan mengetahui siapa si pengirim pesan. Ternyata dari Ardina. Kami siang tadi sempat bertukar nomor telepon.
"Assalammualaikim kak, udah pulang belum nih?"
Lantas kujawab singkat pula. "Waalaikumsalam....alhamdulillah sudah dek. Gimana dik?" Balasan datang pula secepat kilat. "Gimana dengan tawaran adek tadi soal kemungkinan kerja sama yang saling menguntungkan. Hehe..." Wah ternyata Ardina orang yang supel, suka berterus terang dan humoris. Batinku dalam hati.
"Insya Allah bisa dik...kalau begitu kapan kita bisa membicarakanya lebih lanjut?" Begitu selesai mengetikkan kata-kata tersebut setelah di layar ponsel tertera message sent, kembali balasan datang dari Ardina. "Ehm...terserah kakak tuhlah bisanya kapan. Hehe...oh iya tadi bapak nanyain kok kakak gak jamaah di masjid?"
Aku tersenyum. "Kakak baru nyampai rumah jam setengah delapan tadi jadi kami mampir sholat dalam perjalanan tadi. Alhamdulillah hari ini kami dapet orderan banyak jadi sampai menjelang isya' tadi baru selesai mengantarkan pesanan konsumen."
Sebuah balasan datang lagi. "Wah selamat ya kak...mana nih bonusanya?hihi...ndak kok kak adek becanda. Oh ya pesan bapak sama ibu besok kakak harus yang jadi muadzinsholat shubuh...."
Subhanallah.
Entah kenapa aku merasa sebahagia ini mendapat perhatian yang tulus dari keluarga Pak Sumedi.
Bip...Bip...
Kali ini ada panggilan masuk. Bukan dari Ardina melainkan dari Nurhayati. Masya Allah aku sampai lupa untuk memberi kabar. Cukup lama kami ngobrol melepas kangen tapi entah kenapa mendadak hatiku berubah sedih. Yah, sedih karena cinta yang kandas.
"Adek terima kalau mas mau benci dengan adek karena sikap ayah. Tapi adek akan tetap sayang dan mencintai mas sampai kapanpun...." Setelah itu kudengar isak tangis nun jauh dari seberang. Tangis dari gadis yang sangat kusayangi.
Hatiku luruh dalam gerimis. Berusaha tegar menghadapi kenyataan pahit ini.
***
Dengingan alarm ponsel membangunkan tidurku. Pukul 03.00 WIB. Aku bergegas mengambil air wudhu. Saat lewat di depan ruang sholat aku melihat Mas Asfuri, Mbak Ismawati istrinya dan Ridwan sudah terlebih dulu melaksanakan sholat tahajjud. Aku membangunkan adikku untuk sholat tahajjud. Ia memang agak sulit dibangunkan untuk tahajjud. setelah kupastikan adikku itu mengambil air wudhu Aku segera bergabung di ruang sholat.
Tangis Nurhayati semalam mengusikku. Tak ada sms darinya. Biasanya ia selalu sms untuk mengingatkanku untuk mengerjakan sholat tahajjud. Mendadak hatiku sedih. Hanya doa yang bisa kupanjatkan dalam sujud panjangku. Aku menangis jika ingat kisah cintaku denganya yang berakhir dengan kegagalan karena orang tuanya tak merestui hubngan kami. Saat aku mengajak kedua orang tua untuk melamar dengan tegas orang tuanya menolak. Lagi-lagi karena alasan harta. Perbedaà n diantara kami bak bumi dan langit.
"Bukanya bapak dan ibu melarang kamu mencintai Nurhayati. Meski ia gadis yang baik dan sholehah namun kamu tahu sendiri kan orang tuanya seperti apa? Angkuh. Kamu ingat kan bagaimana ayahnya pernah menghina keluarga kita?"
Coba saat itu aku mendengar peringatan kedua orang tuaku mungkin kejadianya tidak seperti itu. Sakit memang namun ibarat nasi telah menjadi bubur. Sempat aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Salahkah jika aku jatuh hati pada sesosok gadis seperti Nurhayati? Tak terbersit di hatiku sedikitpun silau dengan harta kedua orang tuanya. Keluarga Nurhayati adalah keluarga terpandang. Tuan tanah, usaha penggilingan padi dan puluhan kios di pasar yang disewakan maju pesat. Aku dan Nurhayati bisa dekat dan tumbuh benih-benih cinta di antara kami karena kami sama-sama aktif mengajar di TPA. Sama-sama belajar ilmu agama di pondok pesantren kecil di kampung kami. Dia memang gadis yang anggun dan cantik, idaman hati para lelaki. Tetapi ada hal yang jauh lebih kucintai ketimbang kecantikan fisik semata, yakni akhlak dan budi pekertinya yang jauh lebih cantik. Jika kedua orang tua Nurhayati dan kedua kakaknya terkenal sombong maka sangat jauh berbeda dengan Nurhayati. Gadis itu adalah pribadi yang santun. Suka menolong, tak membedakan kaya dan miskin dalam bergaul, ramah dan baik hati. Sebenarnya dia malu dengan sikap orang tua dan kakak-kakaknya tapi setiap dakwah yang disampaikanya selalu tak mempan. Aku selalu menghiburnya, menguatkan niatnya yang mulia untuk tabah dan terus berdoa untuk kedua orang tuanya agar mendapat hidayah.
Banyak yang iri ketika kedekatan kami telah diketahui banyak orang. Mereka menuduhku mencintai Nurhayati hanya semata karena berharap kelak akan mendapat harta warisan dari kedua orang tuanya. Saat kukemukakan hal itu pada Nurhayati dengan tegas dia menyatakan,
"Demi Allah mas, saya mencintai mas karena saya yakin mas bisa menjadi imam yang baik bagiku dan anak-anak kita kelak. Aku tak pernah menjadikan harta tolok ukur utama. Aku yakin mas mencintaiku dan ingin mengajakku membina rumah tangga bukan karena apa yang mereka tuduhkan."
Aku terenyuh mendengar pendirianya yang tidak goyah. Meskipun berat hati kedua orang tuaku meluluskan permintaanku untuk meminang Nurhayati.
"Percayalah pak...bu...jika saya mundur sampai disini toh baik saya dan Nurhayati akan tetap kena fitnah dituduh melakukan apa yang tidak kami lakukan. Saya dan Nurhayati mempunyai perasaan dan keinginan yang sama. Sama-sama mencintai karena Alla dan bercita-cita membina rumah tangga semata berharap Ridha Allah. Meskipun nanti pinangan kita ditolak oleh keluarga mereka paling tidak kita telah mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya."
Aku melihat kedua orang tuaku berkaca-kaca. Malam itu meskipun dari pihak keluarga besar ayah dan ibu tidak menyetujui rencana kami untuk meminang Nurhayati tapi kami memantapkan hati untuk tak surut ke belakang. Hasilnya memang tak seperti yang di harapkan. Kami pulang dengan hati terluka. Maafkan anakmu ini...ayah...ibu. Hatiku gerimis.
***
Sajadah ini makin basah oleh air mata yang terus mengalir. Aku bahkan jauh lebih sedih jika ingat pengorbanan dan perjuangan kedua orang tuaku dalam memberikan bekal untuk anak-anaknya. Bukan harta yang diberikan melainkan bekal ilmu. Bisa dihitung dengan jari berapa anak-anak di kampung tempat kelahiranku yang mengenyam pendidikan formal sampai jenjang perguruan tinggi. Disaat teman-teman sebayaku mayoritas hanya bisa mengenyam pendidikan dasar, Aku bersyukur dan bangga dengan kedua orang tuaku meskipun di tengah deraan ekonomi keluarga yang pas-pasan namun kedua orang tuaku bertekad untuk memperjuangkan aku dan ketiga adikku untuk bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Banyak cibiran datang dari tetangga bahkan dari saudara sendiri. Mereka mengatakan terlalu muluk-muluk, cita-citanya setinggi langit namun tak berkaca atau tak sebanding dengan kemampuan ekonomi keluarga. Seluruh penduduk kampung sampai-sampai menjuluki keluarga kami "Si Raja Hutang". Namun setiap cibiran, dà n hinaan yang kami terima tak menyurutkan langkah kami. Bahkan itu membuat kami semakin kuat.
Allah Azza Wa Jalla memang Maha Adil. Berkat kuasa-Nya semata aku dan adik-adiku bisa selesai merampungkan studi hingga jenjang SMA. Aku mengurungkan niat untuk melanjutkan studi ke bangku kuliah karena mempertimbangkan faktor ekonomi keluarga yang tak memungkinkan membiayai kuliah aku dan adek pertamaku secara bersamaan. Mengingat prestasi adikku dibidang akademik yang lebih mumpuni maka aku mengalah dan biar adikku saja yang meneruskan studi di bangku kuliah. Bahkan aku ingin bisa ikut membantu kedua orang tuaku untuk membiayai kuliah adikku.
Tak tahan dengan hinaan banyak orang pasca pinangan kami yang ditolak mentah-mentah aku memutuskan hijrah ke tanah seberang. Yah, di tanah Sumatra inilah aku bertekad berjuang untuk menggapai hidup yang lebih baik. Aku ingin bisa membahagiakan kedua orang tuaku dan ikut membiayai kuliah adikku.
Harapan dan luka ini telah menjadi satu. Hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala aku menggantungkan harapan dan cita-citaku. Kuakhiri doa di sujud panjangku. Ketika lafal salam sebagai tanda selesainya sholat selesai kuucapkan aku terkejut melihat aku telah dikelilingi sahabat-sahabat baruku dengan berkaca-kaca.
"Lho kenapa kalian menangis, ada apa?" Tanyaku keheranan. "Justru kami yang bertanya, ada apa kamu sujud sambil berlinang air mata?"
Setelah kuceritakan semua mereka merangkulku dengan berlinang air mata. "Kamu yang sabar dan tabah ya ji, mudah-mudahan Allah menggantikan penderitaan dengan kebahagian, menggantikan kesulitan dengan kemudahan."
Subhanallah,
Aku tak menyangka sahabat-sahabat di tempat kerjaku yang baru memberiku empati dengan tulus. Menyemangatiku untuk tegar. Ya, aku harus tegar dan yakin mampu melewati semua ujian ini. Aku bersyukur dikumpulkan dengan saudara-saudara seiman dengan satu tujuan, saling mengingatkan dalam kebaikan, dan saling bahu membahu memberikan semangat untuk tabah dan tegar menghadapi segala ujian.
***
Suara merdu Sang Qori KH. Muammar ZA yang mengalun dari corong masjid memecah keheningan malam.
Sebuah sms masuk.
"Assalammualaikum kak, maaf jika sms adek ini mengganggu. Jika kakak lah bangun ditunggu ayah di masjid. Kami ingin mendengar kakak melantunkan adzan shubuh."
Aku tersenyum. Rasanya dadaku begitu lega. Himpitan penderitaan dan luka di hati ini seolah sirna. Tergantikan dengan cahaya harapan yang kembali merekah bak bunga yang tersiram air hujan. Aku, adikku, dan sahabat-sahabat baruku melangkahkan kaki bersama menuju ke masjid.
Pak Sumedi tersenyum menyambut kedatangan kami. Dia, gadis itu telah berada disana di samping Bu Darwati yang tengah rukuk.
Ardina.
***
Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H