Mohon tunggu...
Puji Slamet R
Puji Slamet R Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Berusaha menjadi pribadi yang santun dan bertakwa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Simfoni Dua Cinta

30 Mei 2014   22:15 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:56 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bip...Bip...
Kali ini ada panggilan masuk. Bukan dari Ardina melainkan dari Nurhayati. Masya Allah aku sampai lupa untuk memberi kabar. Cukup lama kami ngobrol melepas kangen tapi entah kenapa mendadak hatiku berubah sedih. Yah, sedih karena cinta yang kandas.

"Adek terima kalau mas mau benci dengan adek karena sikap ayah. Tapi adek akan tetap sayang dan mencintai mas sampai kapanpun...." Setelah itu kudengar isak tangis nun jauh dari seberang. Tangis dari gadis yang sangat kusayangi.

Hatiku luruh dalam gerimis. Berusaha tegar menghadapi kenyataan pahit ini.

***


Dengingan alarm ponsel membangunkan tidurku. Pukul 03.00 WIB. Aku bergegas mengambil air wudhu. Saat lewat di depan ruang sholat aku melihat Mas Asfuri, Mbak Ismawati istrinya dan Ridwan sudah terlebih dulu melaksanakan sholat tahajjud. Aku membangunkan adikku untuk sholat tahajjud. Ia memang agak sulit dibangunkan untuk tahajjud. setelah kupastikan adikku itu mengambil air wudhu Aku segera bergabung di ruang sholat.

Tangis Nurhayati semalam mengusikku. Tak ada sms darinya. Biasanya ia selalu sms untuk mengingatkanku untuk mengerjakan sholat tahajjud. Mendadak hatiku sedih. Hanya doa yang bisa kupanjatkan dalam sujud panjangku. Aku menangis jika ingat kisah cintaku denganya yang berakhir dengan kegagalan karena orang tuanya tak merestui hubngan kami. Saat aku mengajak kedua orang tua untuk melamar dengan tegas orang tuanya menolak. Lagi-lagi karena alasan harta. Perbedaàn diantara kami bak bumi dan langit.

"Bukanya bapak dan ibu melarang kamu mencintai Nurhayati. Meski ia gadis yang baik dan sholehah namun kamu tahu sendiri kan orang tuanya seperti apa? Angkuh. Kamu ingat kan bagaimana ayahnya pernah menghina keluarga kita?"

Coba saat itu aku mendengar peringatan kedua orang tuaku mungkin kejadianya tidak seperti itu. Sakit memang namun ibarat nasi telah menjadi bubur. Sempat aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Salahkah jika aku jatuh hati pada sesosok gadis seperti Nurhayati? Tak terbersit di hatiku sedikitpun silau dengan harta kedua orang tuanya. Keluarga Nurhayati adalah keluarga terpandang. Tuan tanah, usaha penggilingan padi dan puluhan kios di pasar yang disewakan maju pesat. Aku dan Nurhayati bisa dekat dan tumbuh benih-benih cinta di antara kami karena kami sama-sama aktif mengajar di TPA. Sama-sama belajar ilmu agama di pondok pesantren kecil di kampung kami. Dia memang gadis yang anggun dan cantik, idaman hati para lelaki. Tetapi ada hal yang jauh lebih kucintai ketimbang kecantikan fisik semata, yakni akhlak dan budi pekertinya yang jauh lebih cantik. Jika kedua orang tua Nurhayati dan kedua kakaknya terkenal sombong maka sangat jauh berbeda dengan Nurhayati. Gadis itu adalah pribadi yang santun. Suka menolong, tak membedakan kaya dan miskin dalam bergaul, ramah dan baik hati. Sebenarnya dia malu dengan sikap orang tua dan kakak-kakaknya tapi setiap dakwah yang disampaikanya selalu tak mempan. Aku selalu menghiburnya, menguatkan niatnya yang mulia untuk tabah dan terus berdoa untuk kedua orang tuanya agar mendapat hidayah.

Banyak yang iri ketika kedekatan kami telah diketahui banyak orang. Mereka menuduhku mencintai Nurhayati hanya semata karena berharap kelak akan mendapat harta warisan dari kedua orang tuanya. Saat kukemukakan hal itu pada Nurhayati dengan tegas dia menyatakan,

"Demi Allah mas, saya mencintai mas karena saya yakin mas bisa menjadi imam yang baik bagiku dan anak-anak kita kelak. Aku tak pernah menjadikan harta tolok ukur utama. Aku yakin mas mencintaiku dan ingin mengajakku membina rumah tangga bukan karena apa yang mereka tuduhkan."


Aku terenyuh mendengar pendirianya yang tidak goyah. Meskipun berat hati kedua orang tuaku meluluskan permintaanku untuk meminang Nurhayati.

"Percayalah pak...bu...jika saya mundur sampai disini toh baik saya dan Nurhayati akan tetap kena fitnah dituduh melakukan apa yang tidak kami lakukan. Saya dan Nurhayati mempunyai perasaan dan keinginan yang sama. Sama-sama mencintai karena Alla dan bercita-cita membina rumah tangga semata berharap Ridha Allah. Meskipun nanti pinangan kita ditolak oleh keluarga mereka paling tidak kita telah mengikuti tuntunan Allah dan Rasul-Nya."

Aku melihat kedua orang tuaku berkaca-kaca. Malam itu meskipun dari pihak keluarga besar ayah dan ibu tidak menyetujui rencana kami untuk meminang Nurhayati tapi kami memantapkan hati untuk tak surut ke belakang. Hasilnya memang tak seperti yang di harapkan. Kami pulang dengan hati terluka. Maafkan anakmu ini...ayah...ibu. Hatiku gerimis.

***

Sajadah ini makin basah oleh air mata yang terus mengalir. Aku bahkan jauh lebih sedih jika ingat pengorbanan dan perjuangan kedua orang tuaku dalam memberikan bekal untuk anak-anaknya. Bukan harta yang diberikan melainkan bekal ilmu. Bisa dihitung dengan jari berapa anak-anak di kampung tempat kelahiranku yang mengenyam pendidikan formal sampai jenjang perguruan tinggi. Disaat teman-teman sebayaku mayoritas hanya bisa mengenyam pendidikan dasar, Aku bersyukur dan bangga dengan kedua orang tuaku meskipun di tengah deraan ekonomi keluarga yang pas-pasan namun kedua orang tuaku bertekad untuk memperjuangkan aku dan ketiga adikku untuk bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Banyak cibiran datang dari tetangga bahkan dari saudara sendiri. Mereka mengatakan terlalu muluk-muluk, cita-citanya setinggi langit namun tak berkaca atau tak sebanding dengan kemampuan ekonomi keluarga. Seluruh penduduk kampung sampai-sampai menjuluki keluarga kami "Si Raja Hutang". Namun setiap cibiran, dàn hinaan yang kami terima tak menyurutkan langkah kami. Bahkan itu membuat kami semakin kuat.

Allah Azza Wa Jalla memang Maha Adil. Berkat kuasa-Nya semata aku dan adik-adiku bisa selesai merampungkan studi hingga jenjang SMA. Aku mengurungkan niat untuk melanjutkan studi ke bangku kuliah karena mempertimbangkan faktor ekonomi keluarga yang tak memungkinkan membiayai kuliah aku dan adek pertamaku secara bersamaan. Mengingat prestasi adikku dibidang akademik yang lebih mumpuni maka aku mengalah dan biar adikku saja yang meneruskan studi di bangku kuliah. Bahkan aku ingin bisa ikut membantu kedua orang tuaku untuk membiayai kuliah adikku.

Tak tahan dengan hinaan banyak orang pasca pinangan kami yang ditolak mentah-mentah aku memutuskan hijrah ke tanah seberang. Yah, di tanah Sumatra inilah aku bertekad berjuang untuk menggapai hidup yang lebih baik. Aku ingin bisa membahagiakan kedua orang tuaku dan ikut membiayai kuliah adikku.

Harapan dan luka ini telah menjadi satu. Hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala aku menggantungkan harapan dan cita-citaku. Kuakhiri doa di sujud panjangku. Ketika lafal salam sebagai tanda selesainya sholat selesai kuucapkan aku terkejut melihat aku telah dikelilingi sahabat-sahabat baruku dengan berkaca-kaca.

"Lho kenapa kalian menangis, ada apa?" Tanyaku keheranan. "Justru kami yang bertanya, ada apa kamu sujud sambil berlinang air mata?"

Setelah kuceritakan semua mereka merangkulku dengan berlinang air mata. "Kamu yang sabar dan tabah ya ji, mudah-mudahan Allah menggantikan penderitaan dengan kebahagian, menggantikan kesulitan dengan kemudahan."

Subhanallah,
Aku tak menyangka sahabat-sahabat di tempat kerjaku yang baru memberiku empati dengan tulus. Menyemangatiku untuk tegar. Ya, aku harus tegar dan yakin mampu melewati semua ujian ini. Aku bersyukur dikumpulkan dengan saudara-saudara seiman dengan satu tujuan, saling mengingatkan dalam kebaikan, dan saling bahu membahu memberikan semangat untuk tabah dan tegar menghadapi segala ujian.

***

Suara merdu Sang Qori KH. Muammar ZA yang mengalun dari corong masjid memecah keheningan malam.

Sebuah sms masuk.
"Assalammualaikum kak, maaf jika sms adek ini mengganggu. Jika kakak lah bangun ditunggu ayah di masjid. Kami ingin mendengar kakak melantunkan adzan shubuh."

Aku tersenyum. Rasanya dadaku begitu lega. Himpitan penderitaan dan luka di hati ini seolah sirna. Tergantikan dengan cahaya harapan yang kembali merekah bak bunga yang tersiram air hujan. Aku, adikku, dan sahabat-sahabat baruku melangkahkan kaki bersama menuju ke masjid.

Pak Sumedi tersenyum menyambut kedatangan kami. Dia, gadis itu telah berada disana di samping Bu Darwati yang tengah rukuk.

Ardina.

***

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun