"Katakanlah, Dialah Allah, Yang Maha Esa. Hanya Allah tempat bergantung. Dia tidak beranak, serta tidak pula diperanakan. Dan tiada satupun yang setara dengan Dia".
Ke empat ayat dalam surat al-Ikhlas ini dengan gamblang, tanpa kebimbangan, tanpa kebiasan, menegaskan bahwa Allah SWT, adalah satu-satunya Tuhan yang satu, yang Esa. Tiada makhluk yang setara dengan Dia.
Namun faktanya, sebagian besar umat muslim (setidaknya lebih dari 85% yang saya temui dan saya kenal) terjebak dalam paradigma kebingungan bahkan mengarah pada kesalahan fatal dalam mengimplementasikan konsep ke-Esa-an Tuhan dalam praktik ibadah.
Percaya dan yakinlah, akar keimanan itu adalah bukan semata-mata mempercayai.
Iman itu sepatutnya perlu dan harus dilandasi dengan nalar dan logika untuk dibenturkan dengan semua hal yang meragukan, sehingga fakta lah yang akan menjawab dan membuktikan semua keragu-raguan tersebut.
Mari cermati kisah penuh makna dari seorang Ibrahim A.S, yang mendapat predikat Bapak dari para Nabi. Beliau tidak serta merta diangkat menjadi Nabi, utusan Tuhan di muka bumi untuk menyerukan ke-Esa-an Tuhan. Perjalanan beliau dimulai jauh sebelum itu.
Ibrahim A.S telah sedari usia belia, telah lebih dahulu, menggunakan akal, nalar dan logika nya untuk mempertanyakan banyak hal mengenai konsep Tuhan yang masih meragukan di masyarakat sekitarnya. Konsep berhala adalah Tuhan yang secara turun temurun diwarisi oleh leluhur dan nenek moyangnya, dipertanyakan oleh nalar seorang Ibrahim. Bagaimana mungkin sebuah benda mati dijadikan Tuhan.
Tidak, nalarnya tidak menyetujui hal itu. Dia lalu beralih mempertanyakan Matahari dengan kekuatan sinarnya yang terang benderang, memberi kehidupan di siang hari, pun dipertanyakan oleh logikanya. Bagaimana mungkin matahari adalah Tuhan, karena matahari memiliki waktu bersinar yang terbatas, yang hilang dan dikalahkan oleh malam dan sinar Bulan.
Bahkan bulan, yang menghidupi malam pun, dipertanyakan kembali oleh akal, nalar dan logika Ibrahim saat itu, apa benar bulan itu Tuhan, mengapa saat malam selesai, bulan menghilang, sedangkan Tuhan seharusnya lah kekal, tak berlimit waktu dan masa.
Tidak hanya Ibrahim, semua Nabi dan rasul, senantiasa menggunakan akal, nalar dan logikanya dalam konsep beriman. Bahkan surat ke 96, Al-Alaq, dengan jelas tanpa ambigu mewajibkan setiap umat islam untuk membaca (iqra) pengetahuan di alam semesta dan menggunakan akal serta fikirannya.
Ibadah itu perlu dibenturkan dengan akal, fikiran,nalar dan logika untuk memperdalam keimanan dalam melakukannya. Karena yakinlah seluruh dalil dan sumber praktik ibadah dalam islam selalu senatiasa dan pasti sesuai akal, nalar dan logika.