Ibarat ilalang, mengatasi terorisme tak cukup dengan memangkas daun dan batang. Sesering apapun ilalang dibabat, ia akan tetap tumbuh subur selama akar masih menancap.
Teroris tak akan sirna jika paham radikalisme dan intoleransi masih mengakar. Menangkap dan menghukum pelaku teror memang penting. Namun mempersempit ruang gerak penyebaran paham radikal pada generasi bangsa jauh lebih utama.
Baru-baru ini, kita dikejutkan dengan aksi sepasang pengantin yang meledakkan dirinya di depan gereja Katedral Makassar. Selang beberapa hari, seorang perempuan melakukan aksi solo vs squad di Mabes Polri yang dijaga ketat. Alhasil, ketiganya mati sia-sia.
Yang cukup mencengangkan adalah, pelaku-pelaku teror itu berusia masih sangat muda. Di bawah 30 tahun. Pelaku bom gereja Katedral Makassar, Lukman, usianya baru 26 tahun. Sementara pelaku penembakan di Mabes Polri, Zakiah Aini pun sama. Usianya masih 25 tahun saja.
Jauh sebelum kisah Lukman dan Zakiah, ada juga anak-anak muda yang melakukan aksi nekat yang sama. Kita tentu tak lupa, dengan bom bunuh diri di Hotel Ritz-Carlton pada 2009 lalu, dua pelakunya yakni juga masih belia. Nana Ikhwan Maulana masih berusia 28 tahun dan temannya, Dani Dwi Pernama bahkan masih belasan tahun. Tepatnya 18 tahun.
Miris!
Mereka anak-anak muda generasi bangsa. Jika tak mati dan tak tersesat dalam lembah gelap terorisme, anak-anak itu mungkin kini menjadi bagian penting dalam pembangunan kita. Sayang karena salah pergaulan, mereka harus meregang nyawa di usia belia.
Lalu ini tanggung jawab siapa?
Pemerintah harus berlapang dada. Mau tidak mau, negara mesti mengakui bahwa aksi-aksi terorisme yang dilakukan anak muda adalah kesalahan mereka.
Banyak faktor yang jadi penyebabnya. Satu diantaranya adalah pendidikan yang mudah disusupi oleh aktor-aktor intelektual radikalisme dari berbagai negara.
Berkali-kali. Tidak hanya sekali, negara kecolongan adanya penyebaran paham radikalisme dan intoleransi di dunia pendidikan. Buku ajar yang mengajarkan kebencian, guru yang menyesatkan, hingga murid yang gemar mengkafirkan.
Ada pula guru yang mengajarkan pada muridnya cara memenggal kepala. Ada juga yang mengajarkan halal membunuh bagi yang tak sesuai ajaran mereka. Pemerintah dibilang thogut. Banyak pelajar kita dilanda kebencian akut.
Survei Wahid Institute, Pusat Pengkajian Islam Masyarakat dan Setara Institute pada 2016 lalu menunjukkan, 35,7% siswa di Indonesia memiliki paham intoleran dalam hal pemikiran. Paham itu sudah diejawantahkan dalam tindakan dan perkataan oleh 2,4% diantara mereka. Yang mengerikan, ada 0,3% pelajar kita berpotensi menjadi teroris!
Fakta-fakta itulah yang membuat Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo bergerak cepat. Ia yang sering diingatkan oleh mantan narapidana terorisme tentang ancaman laten radikalisme dan intoleransi di dunia pendidikan, langsung tancap gas melakukan pembenahan.
Sekolah-sekolah berpaham radikal disikat. Guru-guru yang mengajarkan kebencian langsung dibabat. Disamping itu, ia mencoba membenahi kurikulum untuk melawan paham-paham yang sesat.
Menggandeng pondok pesantren dan kampus, Ganjar mencoba membenahi sistem itu. Pondok pesantren dengan pendidikan karakter yang khas dan kampus dengan metode serta metodologi mumpuni, merupakan kunci pembenahan akhlak anak negeri.
Ulama-ulama besar sekelas pengasuh Pondok Pesantren Giri Kusumo, KH Munif Muhammad Zuhri atau yang akrab disapa Mbah Munif digandengnya. Rektor-rektor perguruan terkemuka jadi pendampingnya. Menamakan diri Forum Cinta Tanah Air, ulama dan cendekiawan itu berkumpul untuk merumuskan kurikulum yang bebas dari paham radikal dan intoleransi.
Empat kali sudah forum ini bertemu dan berdiskusi. Memetakan satu demi satu problem untuk dicarikan solusi.
Menarik menantikan hasil dari kegiatan ini. Tentu kita berharap, hasil forum ini bisa segera dieksekusi. Implementasinya dinantikan, dengan segala macam kelebihan dan kekurangan. Dan tak hanya Jawa Tengah, seluruh kepala daerah juga semestinya melakukan hal yang sama.
Butuh waktu lama untuk mencabut paham terorisme dari akarnya. Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi?
Karena kata pepatah...
Nasi telah menjadi bubur
Jangan taruh di atas cawan
Radikalisme dan intoleransi telah tumbuh subur
Mari rapatkan barisan untuk melawan
Salam waras!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H