Padahal dari segi subyek hukum menurut Prof.Dr. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, dalam KUHP yang dapat menjadi subyek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum.
Jadi jelas, yang pantas dihukum adalah orang yang melakukan pelanggaran hukum. Sementara dalam tilang elektronik, asas ini sulit untuk dibuktikan.
Jika benar pelanggaran hanya dari plat nomor kendaraan, maka seperti judul yang penulis utarakan di atas, pengusaha rental akan menangis dengan kebijakan ini.Â
Ia tak mungkin mencari siapa orang yang melakukan pelanggaran lalulintas saat menggunakan jasa rentalnya. Kalau pengusaha yang harus membayar semua itu, rugi sudah.
Belum lagi urusan sosial dalam masyarakat. Dengan adanya peraturan itu, mungkin banyak orang berpikir ulang untuk meminjamkan kendaraanya pada teman, kerabat atau tetangga. Takut juga, jangan-jangan saat dipinjami, mereka melanggar lalulintas di jalanan. Dan akhirnya, pemilik kendaraan sendiri yang harus membayarkan dendanya.
Yah, kebijakan tilang elektronik ini memiliki plus minus tersendiri. Setidaknya, ulasan penulis ini adalah keresahan semata, yang sejatinya pasti kepolisian sudah memiliki jalan keluarnya.
Tapi yang harus diingat, merubah tilang konvensional ke tilang elektronik tidak hanya merubah cara kerja dan peralatannya. Tapi ini adalah merubah budaya dan kebiasaan masyarakat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H