Belum lagi sarana sumber daya manusia yang 24 jam harus mengawasi layar monitor untuk mencatat pelanggar yang jumlahnya tentu tidaklah sedikit.
Sejatinya, penerapan tilang elektronik ini bukanlah program baru di tubuh Polri. Sejak 2018 lalu, program e-tilang atau tilang elektronik sudah digembor-gemborkan. Toh dua tahun berjalan dan menginjak tiga tahun, program itu sepertinya masih jalan di tempat.
Kepastian Hukum
Penulis pernah mengikuti Forum Group Discussion (FGD) tentang tilang elektronik ini. Dalam pembahasan itu, ada sejumlah persoalan yang belum terpecahkan.
Mekanisme tilang elektronik cukup rumit dalam penerapannya. Dilansir kompas.com pada artikel ini kendaraan yang terpantau CCTV melakukan pelanggaran, akan langsung terecord ke data kepolisian.Â
Setelah itu, polisi mengirimkan surat konfirmasi tentang pelanggaran lalulintas itu kepada pemilik kendaraan yang datanya sudah tercantum dalam database kepolisian.Â
Barulah setelah konfirmasi itu, maka pemilik kendaraan melakukan klarifikasi dan jika memang benar melanggar, maka pemilik kendaraan harus membayarkan denda tilang maksimal 7 hari setelah konfirmasi. Lebih dari itu, STNK kendaraan diblokir.
Pertanyaannya, bagaimana kalau kendaraan itu masih atas nama orang lain? Bagaimana jika saat melanggar, kendaraan itu sedang dipakai orang lain? Mengingat, banyak pengusaha rental di Indonesia yang biasa merentalkan kendaraannya pada orang lain.Â
Belum lagi, baiknya orang Indonesia yang sering meminjamkan kendaraan pada teman, kerabat atau tetangga. Saat proses itu, ternyata yang memakai kendaraan rental itu atau yang meminjam kendaraan ternyata melanggar lalulintas. Apakah yang bersalah pengusaha rental dan pemilik kendaraan?
Aspek kepastian hukum inilah yang jadi persoalan. Siapa yang akan dihukum atas pelanggaran lalulintas itu? Mengingat CCTV tidak bisa secara jelas merekam siapa pengendara yang melakukan pelanggaran.Â
Mungkin yang paling mudah dan penulis yakin yang digunakan petugas adalah plat nomor kendaraan yang melanggar.Â