"If you judge someone, you have no time to love each other"
Pernah dengar gak sih istilah peribahasa lawas yang bunyinya,
 "Sudah diberi hati malah minta jantung"Â
Yang memiliki makna seseorang yang  tak pernah puas dengan pemberian tapi malah tidak sadar diri dengan posisinya sendiri? Kalau hal ini terjadi dalam kehidupanmu, kira-kira apa yang kamu rasakan ketika ada seseorang yang selalu berharap kamu berbuat baik kepadanya tetapi lebih terkesan menuntut atas kamu? Apa yang akan kamu lakukan untuk menyikapinya? Well, kamu coba saja refleksikan.
Kalau aku sebagai pemberi pertanyaan juga diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan tadi, jujur saja yang aku rasakan begitu sakit. Sakit yang barangkali sama atau bahkan lebih parah dari rasanya sakit hati.Â
Bagaimana tidak, kita yang selalu memberi dengan niat ingin membantu mempermudah urusannya, justru selalu dituntut untuk sama dengan apa yang si penuntut harap. Kalau boleh menjawab pula, apa yang akan aku lakukan ketika hal ini terjadi kepadaku, maka aku jawab, aku akan berhenti menjadi altruis saja.
Mungkin, sebagian dari kamu belum mengetahui apa itu altruis atau altruism. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia sendiri, Altruisme berarti mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri.Â
Dan tentu saja, hal ini sangat akrab dalam keseharian orang Asia khususnya Indonesia. Sebelumnya, aku ingat sekali mengapa orang Indonesia itu cenderung "gak enakan" untuk menolak sebuah tawaran berupa bantuan.
Akan kembali aku mention, hal ini dikarenakan memang hal ini sudah merupakan budaya yang berkembang dalam kehidupan tatanan masyarakat di negara kita tercinta ini. Inilah juga yang menjadi penyebab mengapa orang Indonesia sering kali dikenal sebagai salah satu negara yang terkenal dengan keramahan orang-orangnya.
Baiklah, kembali ke pembahasan mengenai altruisme. Seorang altruis memang sering kali lebih mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri. Dan sebagaimana suatu sikap atau perilaku yang dilakukan oleh manusia pasti memiliki dampak baik terhadap si pribadi maupun orang lain di lingkungan tersebut. Berbicara menjadi seorang altruis, tentu saja memiliki dampak positif maupun negatif.Â
Kalau dilihat dari dampak positif, tentu saja akan membentuk sebuah kepribadian yang juga positif. Misalnya, kamu sedang berada pada posisi terburu-buru karena memiliki suatu urusan yang mendesak, tetapi di tengah jalan kamu bertemu dengan orang asing yang sedang tersesat dan mencari alamat. Ia bertanya kepadamu, dan kamu memang mengetahui lokasi alamat yang sedang dituju oleh orang asing tersebut.Â
Biasanya, seorang altruis akan mengesampingkan urusan pribadinya meskipun ia sedang berada dalam sebuah kepentingan yang mendesak demi membantu orang yang sedang membutuhkan pertolongan tersebut.Â
Pada akhirnya, kamu berhasil mengantarkan orang yang tersesat tadi ke alamat yang sedang ia tuju dan ternyata itu adalah alamat rumah keluarganya yang sudah lama tidak temui. Raut kebahagiaan terpancar dari wajahnya dan ia berterima kasih kepadamu, apa yang akan kamu rasakan?
 Of course! Biasanya pula, meskipun sebenarnya kamu diawal akan merasa jengkel karena ia yang meminta tolong tadi secara kasar telah mengganggu waktu berhargamu, tetapi dengan adanya senyuman dan ucapan terima kasih yang diberikan kepadamu karena kamu telah membantunya tadi itu akan membuat kepribadianmu kembali menjadi positif.
Selain kepribadian menjadi positif, biasanya orang altruis adalah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh banyak teman. Tetapi, banyak teman disini tidak selalu dikarenakan memang benar-benar menyanyangi dan dengan sebenar-benarnya ingin berteman.
Yap, ini dia sisi negatif dari seorang altruis juga, dimana seringkali ia menjadi orang yang "dimanfaatkan" ketika dibutuhkan. Mengapa? Karena, seperti yang sudah aku mention sebelumnya, mereka itu sering kali merasa tidak enakan untuk mendahulukan kepentingan diri sendiri daripada orang lain terlebih dahulu karena takut dikatakan sebagai seseorang yang egois.
Mengenai hal ini, tentu saja salah satu kemampuan yang dibutuhkan oleh orang altruis untuk dapat survive dan berbuat baik tanpa merasa terbebani adalah dengan memiliki kemampuan komunikasi asertif.
 Sederhananya, komunikasi asertif ini sendiri adalah mengatakan dengan tegas terhadap seseorang tentang kondisi yang sebenarnya apabila ia dimintai tolong. Berkomunikasi dengan sejelas-jelasnya.Â
Dengan memiliki kemampuan komunikasi asertif pula, para altruis bisa memposisikan diri mereka sebagai orang yang bersedia membantu, bukan untuk disuruh-suruh.
Well, sekarang aku ingin sedikit bercerita mengenai salah satu dampak menjadi altruis yang aku alami sendiri dan aku rasakan dampak negatifnya apabila ternyata menjadi altruis justru membuat psikisku sendiri terganggu karena mereka-mereka yang niat awal aku bantu karena aku memang merasa perlu justru semakin lama semakin menuntut ini dan itu atas diriku dan cenderung memberikan perlakuan yang bisa terbilang cukup toxic terhadapku.Â
Jujur saja, aku merasa perlu untuk menuliskan mengenai hal ini karena aku tidak mau hal toxic khususnya toxic friends yang ada dalam lingkungan pertemananku ini menyebarkan "racunnya" ke orang lain yang barangkali akan berakibat buruk pada kesehatan mentalnya seperti yang terjadi padaku.
Tulisanku kali ini barangkali akan terbaca lebih seperti curhatan daripada artikel yang sebelum-sebelumnya aku buat, jadi mengertilah. Aku hanya ingin meluapkan apa yang saat ini aku rasakan melalui sebuah tulisan, dan aku merasa bahasa tulis ini bisa didengar dan dirasakan. Apabila apa yang aku alami ini juga terjadi padamu, percayalah kamu tidak sendirian.Â
Kamu harus kuat, karena memang yang namanya "racun" perlu untuk dikeluarkan jangan disimpan. Ketika ia masuk ke dalam otak dan hatimu, maka coba saja ceritakan, tulis, dan kamu bagikan siapa tahu ia akan hilang menyesuaikan dengan batin yang mulai menjadi tenang.
Pengalaman yang aku alami ini belum lama, tepatnya baru aku rasakan tadi pagi dan aku akui aku sampai menangis. Sebenarnya masalahnya sederhana, aku mendapatkan teguran yang 'tidak benar adanya' tetapi hal itu tidak disampaikan secara langsung kepadaku secara pribadi.Â
Tetapi, aku di mention di salah satu grup, dan aku diminta untuk klarifikasi tentang suatu hal yang seadainya dia sendiri rajin untuk mencari titik kesalahanku, dia sudah mendapatkan jawaban atasnya.Â
Dan, lebih parahnya lagi, karena mention tersebut, muncul banyak kata-kata toxic yang dengan membacanya tanpa suara saja membuat emosiku naik turun.
 Ya, hal ini tentu saja diperparah dengan aku yang sedang dalam 'period' sehingga aku yang biasanya memegang filosofi santuy tidak lagi menganggap kalimat-kalimat, pertanyaan-pertanyaan membunuh, dan ujaran demi ujaran yang tidak mengenakkan itu dengan biasa-biasa saja.
Entah mengapa, aku serasa sedang dipermalukan di depan umum atas suatu hal yang sama sekali bukan sebuah titik kesalahan. Hal ini terjadi, karena dianggap aku yang sering sekali menulis di Kompasiana hanya aku lakukan demi pujian dosen serta tulisan-tulisanku mulai dipertanyakan, aku menulis hanya demi uang, sertifikat dan lain-lain.Â
Kalau kamu sebagai seorang Kompasianer pemula, yang sedang semangat-semangatnya menulis, belajar memperbaiki tulisanmu yang mulanya begitu abal-abal seperti tulisanku kemudian diberikan ujaran seperti itu, apa yang akan kamu rasakan dan kamu lakukan?
Aku pernah juga menuliskan bahwa sebenarnya, aku mulai menyukai menulis di Kompasiana bermula karena memang adanya tugas dari salah satu dosen salah satu mata kuliah yang mewajibkan kita para mahasiswanya memposting artikel mingguan dengan tema-tema berbeda yang telah ditentukan.Â
Pada awalnya, aku memang menulis karena hal itu, tapi melihat feedback dan insight dari apa yang aku rasakan, ini memaksa aku untuk lebih lagi menulis dengan topik yang bermacam-macam. Aku mendapatkan kebahagiaan menjadi seorang Kompasianer.
 Berbagai sumber aku gunakan sebagai bahan belajar dan memperdalam tulisan, seperti halnya buku, web, hingga video di youtube. Well, tahu sendiri, aku sudah sering sekali memberitahu bahwa aku seorang anak audiovisual dimana akan menjadi lebih paham apabila mendengar bahasa lisan sembari membaca bahasa tulisan.
Yang membuat perasaanku teriris adalah, karena ujaran-ujaran, kalimat-kalimat, dan kata-kata yang tidak mengenakkan tadi disampaikan bukan oleh orang lain, tetapi oleh teman-teman yang sudah hampir 3 tahun duduk bersama di bangku perkuliahan yang aku sadari sendiri sudah sebisa mungkin seringkali aku bantu semampuku ketika mereka membutuhkan.Â
Hal ini yang kemudian menguatkan pemahamanku bahwa ternyata benar, ketika kita mendewasa, seseorang yang kita anggap sebagai seorang teman, tidak sepenuhnya memposisikan diri sebagai seorang teman.
Catatan yang ingin aku sampaikan adalah, kita sebagai seorang manusia perlu untuk selalu berpikir, memposisikan diri menjadi orang yang akan kita ajak berbicara apabila kita hendak berbicara.
 Menjadi orang yang akan kita bantu ketika kita hendak membantu. Dan masih banyak lagi yang lainnya. Kita harus memposisikan diri berada di posisi yang sebaliknya, agar apa? Agar tidak ada hati dan semangat yang patah serta tersakiti karena ucapan atau perilaku kita yang sangat tidak baik-baik saja. Standar baik atau tidak adalah, ketika mereka yang berada di posisi sebaliknya tadi dapat menerima.
Ingat, seorang altruis, orang yang seringkali mengedepankan kepentingan orang lain daripada kepentingan dirinya sendiri tadi juga telah merelakan dan mengorbankan banyak hal yang barangkali kita tidak mengetahuinya. Bisa saja waktu, pikiran, atau bahkan materi hanya karena ingin membuat kita dimudahkan.
Altruis, lawannya adalah egois. Dan egois ini sendiri adalah salah satu ciri yang melekat pada seorang toxic person. Merasa dirinya benar sendiri, merasa tidak apa-apa dengan cara yang ia lakukan meskipun itu menyakiti orang-orang disekitarnya, jangan begitu lah. Hampir saja aku hilang semangat menulis hanya karena ucapan beberapa kata-kata toxic yang disampaikan atasku tadi.Â
Seharian ini aku berpikir, merefleksikan diri. Pada nyatanya, dengan menulis pula aku bisa meluapkan apa yang aku rasakan ketika tidak ada orang yang bisa dan mau mendengarkan.
Sekali lagi, kalau kamu berada pada posisi yang sama sepertiku. Diremeh atas suatu hal yang tidak benar-benar kamu lakukan. Cukup ber-bodoamat-lah saja.Â
Sayang sekali apabila semangat yang hari demi hari kamu bangun menjadi patah hanya karena ocehan mereka-mereka yang dekat dan mengetahui tentangmu saja tidak. Seperti kata pepatah,
 "Hanya pohon yang berbuah yang dilempari batu." Yap, jadilah pohon yang berbuah itu. Intinya, jangan sampai racun itu mempengaruhi kesehatan mentalmu.Â
Your mental health is precious dear. Kedepannya, aku pun sudah bertekad akan menjadi asertif saja, aku sudah terlalu lelah untuk membantu mereka yang hobinya membuat semangat orang lain patah. Hal ini bukan berarti aku menaruh rasa tidak suka dan lain-lainnya.
Aku selalu dinasehati oleh Bapak bahwa ketika ada orang yang berlaku tidak baik kepadamu, jangan benci orangnya, tetapi benci saja sikapnya. Hal ini akan menjadi sebuah pelajaran kepadanya untuk merubah sifat racun yang ada pada dalam dirinya. Karena apa? Menghargai sesama itu adalah hal basic yang perlu untuk dimiliki oleh seorang manusia.
Terima kasih sudah membaca dan mendengarkan suara hati yang lebih seperti ocehan di malam hari. Tapi, asal kamu ketahui, ketika aku menyelesaikan tulisan ini, aku sudah dalam kondisi baik-baik saja dan baru saja selesai menikmati secangkir coklat panas
Semoga tulisan ini bermanfaat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H