Tulisanku kali ini barangkali akan terbaca lebih seperti curhatan daripada artikel yang sebelum-sebelumnya aku buat, jadi mengertilah. Aku hanya ingin meluapkan apa yang saat ini aku rasakan melalui sebuah tulisan, dan aku merasa bahasa tulis ini bisa didengar dan dirasakan. Apabila apa yang aku alami ini juga terjadi padamu, percayalah kamu tidak sendirian.Â
Kamu harus kuat, karena memang yang namanya "racun" perlu untuk dikeluarkan jangan disimpan. Ketika ia masuk ke dalam otak dan hatimu, maka coba saja ceritakan, tulis, dan kamu bagikan siapa tahu ia akan hilang menyesuaikan dengan batin yang mulai menjadi tenang.
Pengalaman yang aku alami ini belum lama, tepatnya baru aku rasakan tadi pagi dan aku akui aku sampai menangis. Sebenarnya masalahnya sederhana, aku mendapatkan teguran yang 'tidak benar adanya' tetapi hal itu tidak disampaikan secara langsung kepadaku secara pribadi.Â
Tetapi, aku di mention di salah satu grup, dan aku diminta untuk klarifikasi tentang suatu hal yang seadainya dia sendiri rajin untuk mencari titik kesalahanku, dia sudah mendapatkan jawaban atasnya.Â
Dan, lebih parahnya lagi, karena mention tersebut, muncul banyak kata-kata toxic yang dengan membacanya tanpa suara saja membuat emosiku naik turun.
 Ya, hal ini tentu saja diperparah dengan aku yang sedang dalam 'period' sehingga aku yang biasanya memegang filosofi santuy tidak lagi menganggap kalimat-kalimat, pertanyaan-pertanyaan membunuh, dan ujaran demi ujaran yang tidak mengenakkan itu dengan biasa-biasa saja.
Entah mengapa, aku serasa sedang dipermalukan di depan umum atas suatu hal yang sama sekali bukan sebuah titik kesalahan. Hal ini terjadi, karena dianggap aku yang sering sekali menulis di Kompasiana hanya aku lakukan demi pujian dosen serta tulisan-tulisanku mulai dipertanyakan, aku menulis hanya demi uang, sertifikat dan lain-lain.Â
Kalau kamu sebagai seorang Kompasianer pemula, yang sedang semangat-semangatnya menulis, belajar memperbaiki tulisanmu yang mulanya begitu abal-abal seperti tulisanku kemudian diberikan ujaran seperti itu, apa yang akan kamu rasakan dan kamu lakukan?
Aku pernah juga menuliskan bahwa sebenarnya, aku mulai menyukai menulis di Kompasiana bermula karena memang adanya tugas dari salah satu dosen salah satu mata kuliah yang mewajibkan kita para mahasiswanya memposting artikel mingguan dengan tema-tema berbeda yang telah ditentukan.Â
Pada awalnya, aku memang menulis karena hal itu, tapi melihat feedback dan insight dari apa yang aku rasakan, ini memaksa aku untuk lebih lagi menulis dengan topik yang bermacam-macam. Aku mendapatkan kebahagiaan menjadi seorang Kompasianer.
 Berbagai sumber aku gunakan sebagai bahan belajar dan memperdalam tulisan, seperti halnya buku, web, hingga video di youtube. Well, tahu sendiri, aku sudah sering sekali memberitahu bahwa aku seorang anak audiovisual dimana akan menjadi lebih paham apabila mendengar bahasa lisan sembari membaca bahasa tulisan.