Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Ajak Anak Bereksperimen, Ajar Anak Berkompeten

5 November 2020   04:48 Diperbarui: 5 November 2020   04:50 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"It's not an experiment if you know it's going to work"
-Jeff Bezos
(Co Founder Amazon)

Beberapa hari lalu aku berkunjung ke taman kota bersama temanku. Iya, menghabiskan penghujung Oktober dengan sejenak mencari udara segar. Tak banyak yang aku dan temanku lakukan, hanya bercerita, berolahraga sebentar, dan melihat-lihat sekitar. Akhir pekan kemaren, taman kota cukup ramai. 

Aku lihat ada beberapa keluarga menggelar tikar sambil makan-makan. Dari beberapa keluarga yang ada disana, ada satu keluarga yang cukup menarik perhatianku. Sebenarnya, anggota keluarga yang menarik perhatianku itu tidak lengkap sih, sebab hanya sosok ayah dengan 3 orang anaknya yang masih balita. 

Aku menduga-duga, si anak pertama kira-kira berumur 4 tahun dan dua anak lainnya kembar kira-kira berumur 2 tahunan. Aku lihat si Ayah membawa tiga kotak makan. Bukan makanan, isinya justru sabun cuci piring dan 3 buah sedotan. Aku hanya memperhatikan dari jauh,

"Buat apa membawa sabun cuci piring dan kotak makan ke taman kota?"

Iya, aku dan temanku tentu saja bertanya-tanya. Kan gak mungkin jauh-jauh ke taman kota hanya untuk mencuci kotak makan? Tak lama, aku kemudian mendapatkan jawaban dari rasa penasaranku. 

Sebuah hal yang cukup unik dan menarik menurutku, yaitu si ayah membuat gelembung dari sabun cuci piring tadi bersama tiga orang anaknya. Pemandangan yang begitu indah melihat keempatnya tertawa bersama, tertawa melihat tingkat lucu si anak yang kegirangan melihat air dan sabun yang dicampurkan menjadi gelembung-gelembung yang beterbangan.

Sebuah momen kebersamaan yang kulihat begitu hangat dimana sebenarnya Kota Sumenep sore itu cukup dingin, sebab baru selesai hujan.

Melihat hal ini, tentu saja aku teringat perihal salah satu materi di perkuliahan mengenai pentingnya mengajarkan anak untuk bereksperimen. Mengapa eksperimen? Hal ini bersinggungan dengan karakteristik anak usia dini yang memang memiliki rasa ingin tahu cukup tinggi. Dimana, orangtua memang perlu untuk memfasilitasinya dengan berbagai hal, salah satunya yaitu bereksperimen.

Mengapa eksperimen?
Sebelum mengarah kesana, dilihat dari pengertiannya, Menurut Wikipedia, eksperimen atau percobaan adalah suatu set tindakan dan pengamatan yang dilakukan untuk mengecek atau menyalahkan hipotesis atau mengenali hubungan sebab akibat antar gela yang ada. Sederhananya, eksperimen dilakukan untuk memastikan sebuah kejadian.

 Pada level anak usia dini, tentu saja eksperimen perlu diajar dan dibiasakan dimana goalsnya sendiri adalah untuk mengasah kompetensi yang dimiliki oleh anak.

Berbicara mengenai eksperimen, ingat tidak dengan penemuan-penemuan yang dilakukan oleh para ilmuwan? Iya, semua hal tadi berawal dari eksperimen-eksperimen yang gagal kemudian terus saja dicoba hingga berhasil dan pada akhirnya menghasilkan sebuah penemuan. Pada anak usia dini tentu saja sama, secara hiperbola, anak yang melakukan eksperimen dan ia berhasil, ia telah membuat sebuah penemuan baru dalam level dirinya sendiri.

Aku ingat, ketika aku masih berusia dini, aku pernah membuat sebuah penemuan dengan mencoba membuat mahkota dari daun-daun kering dan daun-daun yang masih segar. 

Hal ini terjadi sebab aku yang memang suka sekali memanjat pohon, aku lupa awal mulanya, yang aku ingat hanya saat aku terpikirkan untuk membuat mahkota dari daun. Maklum, sepertinya saat itu aku sedang mengkhayal menjadi Princess tapi terlalu takut minta uang ke bapak dan ibu untuk membeli mahkota yang sebenarnya. Istilah keren yang mungkin aku kenal sekarang yaitu,

 "The Power of Kepepet" . 

Ya, aku iseng saja merangkai daun-daun yang jatuh dan masih berada di ranting dan aku satukan dengan streples. Aku ingat sekali betap girangnya aku ketika mengetahui perbedaan dari dua mahkota yang aku buat. 

Dimana, ternyata mahkota dari daun yang sudah kering lebih awet daripada mahkota dari daun yang masih segar. Dan dari sana, aku dengan bangganya memperlihatkan mahkota buatanku ke teman-teman dimana berujung aku dengan sangat percaya diri mengajari teman-temanku yang lain bagaimana cara membuat mahkota dari daun seperti yang sudah aku buat.

Dari sana aku juga lebih meyakini bahwa eksperimen juga bisa meningkatkan rasa percaya diri anak. Dimana, ketika hal tersebut sudah terjadi, anak menjadi lebih terpacu lagi untuk mencoba hal-hal baru lainnya, untuk membuat 'penemuan-penemuan' baru lainnya. 

Aku yakini, hal ini juga tidak semata-mata langsung terjadi. Kebiasaan ini ada, karena aku melihat apa yang bapakku lakukan. Bapak, seorang pekerja meubel. Ia, bapak bisa membuat berbagai macam barang dari kayu, mulai dari lemari, kursi, meja, dan masih banyak lagi yang lainnya. Dan, bapak sering menanamkan nilai pada anak-anaknya bahwa selain meniru, kita perlu untuk mencoba melakukan sebuah hal yang baru dengan cara kita sendiri. Sebab, kalau hanya meniru apa yang sudah ada, maka keahlian kita tidak akan berkembang. Tapi, ketika kita mencoba suatu hal baru dan gagal, itu jauh lebih baik.

 Dimana, dari kegagalan tadi sudah sepatutnya memacu rasa penasaran kita untuk membandingkan dan terus mencoba kembali bagaimana caranya agar bisa berhasil. Kalau mengutip dari kata-kata Jeff Bezos pendiri Amazon yang aku tuliskan di awal tadi, 

bukan termasuk eksperimen namanya ketika kita sudah  tahu hasilnya akan berhasil.

Sebenarnya apabila kaitannya dengan eksperimen pada anak usia dini, orangtua tidak perlu menyiapkan momen khusus untuk melakukannya, cukup dengan mengajak anak melakukan sesuatu dalam keseharian yang sekiranya juga bisa anak lakukan.

Misalkan, ketika ibu sedang membuat kue, nah anak bisa diajak dengan diberikan tempat khusus. Anak juga disediakan media dan alat sendiri, awalnya barangkali anak akan mengikuti apa yang ia lihat, sebut saja si ibu yang membuat adonan. Yang perlu ditekankan, ibu perlu untuk mengatakan,

"Buatlah apa saja, bebas," darisana, anak seolah sudah mendapatkan lampu hijau untuk mengembangkan imajinasinya. Dan, yang biasanya dibuat oleh anak adalah hal-hal yang terdekat atau familiar dengannya. Kalau hubungannya dengan kue, biasanya anak membuat seperti robot-robotan bila ia laki-laki, atau bentuk-bentuk yang lucu bila ia perempuan.

Hal ini sebagai bentuk perkembangan kognitif anak itu sendiri sejalan dengan perkembangan kreativitas dari anak. Dengan diberikan kesempatan dan kebebasan mengekspresikan diri, secara alamiah pola pikir anak atau kognisi anak akan berkembang tanpa diminta. Atau, bisa saja ketika ayah sedang mencuci mobil. Biarkan anak untuk bereksperimen dari kegiatan tersebut. Misalkan, anak akan mengetahui seberapa banyak busa yang dihasilkan apabila sabun cuci mobilnya dituangkan sedikit, dan seberapa banyak busa yang akan dihasilkan ketika sabun cuci mobil yang dipakai lebih banyak.

Setelahnya, bisa juga anak mengamati terkait berapa banyak air yang diperlukan untuk mencuci mobil bila sabun yang tuangkan banyak, atau lebih bersih mana mobil apabila dicuci dengan sabun yang banyak atau sabun yang sedikit? Nah, biasanya, anak tidak akan terpikirkan mengenai hal ini. Itulah mengapa, perlu kiranya orangtua untuk mendampingi dan memberikan stimulus atas hal itu. Agar tidak terlalu ketara, coba lemparkan atau mulai dengan pertanyaan yang memancing dan menarik bagi anak. sebut saja begini,

"Dek, coba tuangkan sedikit aja sabunnya, kira-kira busanya banyak gak ya?"
"Kak, coba kalau airnya ditambah tapi pakai sabunnya sedikit aja, busanya ikut jadi sedikit atau tetap banyak"
"Nak, kira-kira mobil kita lebih bersih kalau dicuci pakai sabun yang banyak atau sedikit?"

Dengan pertanyaan-pertanyaan tadi, rasa penasaran anak akan terpancing dan ia secara alamiah akan tertantang untuk mencari tahu jawabannya. Tentu saja, ia akan melakukannya dengan suka rela sebab adanya pertanyaan-pertanyaan tadi tidak terkesan memaksa. Dan, biasakan untuk meminta kesimpulan di tiap selesai anak mencoba atau melakukan hal tersebut. Hal ini untuk mengasah kemampuan anak menyusun kosakata dan mengasah perbendaharaan kata dalam otak anak sendiri. Seperti ini,

"Kak, wah busanya kok banyak, kakak tuangkan sabunnya banyak atau sedikit?"
"Dek, kok mobil kita bersih banget ya? Tadi adek nyucinya gimana?"

Dan, tutup pendapat anak dengan memberikan pujian sebagai bentuk apresiasi atas apa yang telah anak lakukan. Dari sini, coba sekarang kita para orangtua bayangkan apabila anak terbiasa untuk melakukan eksperimen dalam keseharian, tentu saja anak akan menjadi lebih berkompeten dalam melakukan suatu hal. Sebab, anak sudah terbiasa mencoba sebelum kemudian melakukan suatu hal. 

Hal yang bisa kita ambil dari cerita bapak-bapak diawal tulisan ini dan kisah masa kecilku sendiri adalah mengenai pembiasaan melakukan eksperimen penting untuk dibiasakan dan dimulai sejak usia dini pada anak. Kadang, hal ini dianggap sulit sekali oleh para orangtua, padahal tidak sama sekali. Eksperimen, bisa dikenalkan dan dimulai dari hal yang paling terdekat dan sederhana.

Semoga tulisan ini bermanfaat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun