Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cara Berdamai dengan Sindrom Penipu

28 Oktober 2020   04:00 Diperbarui: 3 November 2020   21:04 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Impostor Syndrome. Sumber: musicworxinc.com

Ceritanya seperti itu, Neil Armstrong dan Neil Gaiman adalah salah dua dari orang-orang yang mengalami impostor syndrome atau sindrome penipu seperti apa yang terjadi padaku.

Menurut Langford & Clance,

Impostor Syndrome. Sumber: musicworxinc.com
Impostor Syndrome. Sumber: musicworxinc.com
Impostor Syndrome atau sindrom penipu adalah pola psikologis dimana seseorang meragukan prestasinya sendiri dan merasa takut terus menerus bahwa suatu hari dia akan terungkap sebagai penipu.
Seseorang dengan sindrom penipu merasa ia mencapai sukses hanya karena kebetulan atau keberuntungan semata bukan karena keterampilan atau pengalamannya. 

Faktanya, selain Gaiman dan Armstrong, banyak dari orang sukses lain diluar sana dimana mereka juga mengalami sindrom penipu diantaranya, Albert Einstein, Tom Hanks, Lady Gaga, Sherina Williams, Maya Angelou, Michelle Obama, dan masih banyak lagi. 

Dan memang, semua orang pasti pernah mengalami sindrom penipu setidaknya sekali dalam hidup. Jika kamu pernah memiliki perasaan, kamu tidak pantas mendapatkan kesuksesan kamu dan kamu khawatir suatu hari semua orang akan mengetahuinya, itu adalah sindrom penipu.

Biasanya, perasaan ini kerap muncul ketika kita meraih pencapaian yang menonjol, misalnya, masuk universitas bergengsi, menang penghargaan, dapat pujian, atau pengakuan publik, mendapat atensi atau bonus dalam pekerjaan, dan banyak lagi diantarannya. 

Hingga saat ini, penelitian belum bisa membuktikan mengenai penyebab pasti sindrom ini. Sebagian ahli menyimpulkan, biasnya hal ini ada kaitannya dengan sifat perfeksionis seseorang atau masa kecil yang ia tumbuh besar dengan orang sekitar yang membuat ia merasa tidak selalu cukup baik. Selain itu, media sosial juga bisa memicu sindrom penipu. 

Gambar di media sosial kebanyakan menunjukkan kehidupan yang sempurna. Jalan-jalan ke pojok dunia yang eksotis, kulit mulus sempurna, pasangan yang romantis, keluarga harmonis, dengan caption yang selalu manis.

Tanpa kita sadari, kita mulai membandingkan laman media sosial orang sekitar yang kelihatannya tak bercela dengan hidup kita yang jauh dari sempurna. 

Sebenarnya ada sisi positif pada seseorang dengan sindrom penipu. Dimana, bisa menjaga kita agar tidak congkak, terus berusaha, serta bekerja keras demi memberikan yang terbaik. 

Namun, jika kadarnya berlebih, kita jadi ragu akan diri sendiri dan takut gagal sehingga akhirnya menunda-nunda mengerjakan tugas, mengumpulkan keberanian kita untuk mengambil kesempatan baru atau mengeksplor hal baru yang sebetulnya bisa meningkatkan keterampilan kita dan membawa kepuasan dalam hidup.

Sebagai orang yang kerap kali dilanda sindrom penipu, ada beberapa hal yang aku lakukan untuk berdamai dengan keadaan yang aku rasakan ini,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun