"I'm not a writer, I've been fooling myself and other people"
-John Steinback
Pernah tidak sih kamu merasa menjadi seorang penipu? Kamu tidak merasa pantas berada di posisi kamu sekarang, tidak merasa pantas dengan apa yang kamu miliki, kamu melihat orang-orang di sekeliling kamu lebih berkualitas, sedangkan kamu tidak.Â
Ketika sederet prestasi berhasil dicatat, sebagian orang justru merasa dirinya tidak sebaik dengan yang orang lain nilai, pikiran bahwa diri selalu kurang, bahkan merasa diri sebagai seorang penipu atas prestasi yang telah berhasil ditorehkan. Tidak jauh-jauh, hal ini baru-baru saja terjadi dan aku rasakan sendiri.
Aku, sebenarnya sudah membuat akun kompasiana sejak dua tahun lalu, saat di semester awal kuliah. Hanya saja, aku baru mulai serius menulis dalam satu bulan ini. Entah mengapa, Â aku merasa perlu untuk menumpahkan berbagai ide yang ada di pikiran melalui sebuah tulisan. Juga sebagai bentuk pelarian mengisi waktu senggang di sela-sela perkuliahan online.Â
Setiap harinya, aku getol membagikan link tulisanku di snap Whatsapp dengan harapan ada dari temanku atau dosen-dosen yang mampir untuk membaca. Satu dua hari berlalu , tak terasa sudah hampir satu bulan ini aku rutin menulis. Dan tak aku sangka, mulai banyak teman-teman yang bereaksi dan bertanya,
"Eh Puj, kok kamu bisa sih dapet ide nulis tiap hari?"
"Kok kamu gak pusing tugas kuliah sih kayaknya? Kirim link tulisan mulu. Aku mah apa Puj, hanya kentang" dan lain-lain.
Dan ada beberapa dosen yang juga mengapresiasi atas beberapa tulisanku yang masuk headline, tentu saja aku merasa senang. Namun, disisi lain, ada sesuatu dalam diriku yang karenanya juga aku merasa cemas. Aku merasa terbebani, dan aku selalu saja berpikir,Â
"Aku bukan apa-apa dibandingkan teman-temanku yang lain yang memiliki prestasi akademik dan lain-lainnya. Aku hanya aktif menulis karena hobi, aku pun merasa tulisanku yang masuk headline itu adalah sebuah kebetulan,"Â
Hal-hal ini menggelayuti pikiranku, dan aku sempat terpikir,Â
"Ada apa dengan diriku? Kenapa aku selalu merasa kurang?"
Alhasil, untuk menjawab itu semua, kuberanikan diri untuk bertanya ke salah seorang dosen tentang keadaanku ini, dan beliau berkata,Â
"Itu normal kok Mbak, dalam ilmu Psikologi namanya Impostor Syndrome atau sindrom penipu, tapi ada banyak hal yang perlu Mbak Puja ketahui,"
Dan terjadilah aku dan beliau bercerita dan berbagi banyak hal malam itu. Sampai ke hal-hal di masa kecil serta dan lingkungan rumahku seperti apa turut aku ceritakan. Ya, karena memang, aku juga tidak merasa keberatan. Hasil dari diskusiku dengan beliau akan coba aku ceritakan dalam tulisanku kali ini. Ternyata, dari hal-hal kecil ini turut membentuk pola pikirku yang keliru tadi.
Sama halnya dengan yang aku rasakan, beberapa gejala Impostor Syndrome diantaranya gampang cemas, tidak percaya diri, frustasi ketika gagal memenuhi standar yang ditetapkan diri sendiri dan cenderung perfeksionis. Dan, tidak pungkiri selama ini aku akrab sekali dengan gejala-gejala ini tadi.Â
Dosenku kemudian menceritakan sebuah hal yang senada dengan apa yang aku resahkan. Kurang lebih ceritanya seperti ini,
Beberapa tahun lalu penulis Neil Gaiman pernah diundang ke sebuah acara yang penuh dengan orang-orang hebat. Seniman, ilmuan, penulis, penemu.Â
Melihat semua orang hebat ini tiba-tiba Gaiman merasa tidak lama lagi harus meninggalkan kerumunan itu sebab Gaiman merasa tidak pantas berada diantara mereka.Â
Di sampingnya berdiri seorang lelaki tua, mereka berbicara banyak hal termasuk fakta bahwa Gaiman dan lelaki tua ini sama-sama memiliki nama depan 'Neil'. Lelaki tua ini kemudian menunjuk ke kerumunan orang-orang hebat dan berkata
"Malam ini saya berpikir, sedang apa saya disini, semua orang-orang itu sudah menorehkan prestasi luar biasa sementara saya berada di luar angkasa hanya karena saya menjalankan tugas."
Mendengar ini, Gaiman berkata pada si lelaki tua,
"Iya, tapi anda adalah manusia pertama di bulan, Saya rasa itu punya arti."
Ceritanya seperti itu, Neil Armstrong dan Neil Gaiman adalah salah dua dari orang-orang yang mengalami impostor syndrome atau sindrome penipu seperti apa yang terjadi padaku.
Menurut Langford & Clance,
Seseorang dengan sindrom penipu merasa ia mencapai sukses hanya karena kebetulan atau keberuntungan semata bukan karena keterampilan atau pengalamannya.Â
Faktanya, selain Gaiman dan Armstrong, banyak dari orang sukses lain diluar sana dimana mereka juga mengalami sindrom penipu diantaranya, Albert Einstein, Tom Hanks, Lady Gaga, Sherina Williams, Maya Angelou, Michelle Obama, dan masih banyak lagi.Â
Dan memang, semua orang pasti pernah mengalami sindrom penipu setidaknya sekali dalam hidup. Jika kamu pernah memiliki perasaan, kamu tidak pantas mendapatkan kesuksesan kamu dan kamu khawatir suatu hari semua orang akan mengetahuinya, itu adalah sindrom penipu.
Biasanya, perasaan ini kerap muncul ketika kita meraih pencapaian yang menonjol, misalnya, masuk universitas bergengsi, menang penghargaan, dapat pujian, atau pengakuan publik, mendapat atensi atau bonus dalam pekerjaan, dan banyak lagi diantarannya.Â
Hingga saat ini, penelitian belum bisa membuktikan mengenai penyebab pasti sindrom ini. Sebagian ahli menyimpulkan, biasnya hal ini ada kaitannya dengan sifat perfeksionis seseorang atau masa kecil yang ia tumbuh besar dengan orang sekitar yang membuat ia merasa tidak selalu cukup baik. Selain itu, media sosial juga bisa memicu sindrom penipu.Â
Gambar di media sosial kebanyakan menunjukkan kehidupan yang sempurna. Jalan-jalan ke pojok dunia yang eksotis, kulit mulus sempurna, pasangan yang romantis, keluarga harmonis, dengan caption yang selalu manis.
Tanpa kita sadari, kita mulai membandingkan laman media sosial orang sekitar yang kelihatannya tak bercela dengan hidup kita yang jauh dari sempurna.Â
Sebenarnya ada sisi positif pada seseorang dengan sindrom penipu. Dimana, bisa menjaga kita agar tidak congkak, terus berusaha, serta bekerja keras demi memberikan yang terbaik.Â
Namun, jika kadarnya berlebih, kita jadi ragu akan diri sendiri dan takut gagal sehingga akhirnya menunda-nunda mengerjakan tugas, mengumpulkan keberanian kita untuk mengambil kesempatan baru atau mengeksplor hal baru yang sebetulnya bisa meningkatkan keterampilan kita dan membawa kepuasan dalam hidup.
Sebagai orang yang kerap kali dilanda sindrom penipu, ada beberapa hal yang aku lakukan untuk berdamai dengan keadaan yang aku rasakan ini,
Pertama, ubah mindset atau pola pikir. Biasanya, aku mulai fokus pada kenyataan bahwa  tidak ada satupun manusia di dunia ini yang hidupnya sempurna. Ketika kita sedih, cemas, ragu, atau bahkan merasa bodoh, kita tidak sendirian.Â
Hampir semua orang lain merasakan hal yang sama, hanya saja tidak selalu diperlihatkan. Dengan ini, aku kemudian menjadi lebih tenang dan kecemasan yang aku rasakan menjadi berkurang dan kemudian hilang.
Kedua, ketika aku mulai mempertanyakan kemampuanku secara berlebih, aku akan mencoba duduk, mengambil buku diary-ku dan menulis kemampuan apa saja yang telah aku raih dan miliki selama ini.Â
Baik itu menerima penghargaan prestisius, atau berhasil membuat orang terkasih yang tadinya sedih menjadi kembali tenang dan tersenyum. Semua ini aku lakukan agar catatan tadi dapat aku lihat kembali setiap kali rasa ragu datang dalam diri.
Tiga, menyimpan baik-baik pujian atas kerja keras yang pernah aku terima. Biasanya, aku akan mencoba mengingat-ingat kembali pujian itu ketika sindrom penipu datang bertandang.Â
Dengannya, aku yang awalnya ragu untuk menulis karena khawatir tulisanku akan dibaca diapresiasi oleh orang yang prestasinya jauh lebih dari diriku sendiri, tidak aku pikirkan lagi. Aku mencoba menguatkan diri untuk menulis semampu dan sebisaku sebagai bentuk apresiasi terhadapat diriku sendiri.
 Dan yang terakhir, aku mencoba untuk sedikit demi sedikit mengurangi kemudian berhenti membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Iya, alasan mengapa hal ini aku taruh di akhir, sebab hal ini yang paling sulit. Terutama, bagiku yang seorang perempuan. Namun bukan tidak mungkin, hal ini dapat perlahan-lahan aku wujudkan dan terapkan dalam keseharian. Â
Diakhir tulisan ini, aku ingin mengajak untuk menilik kembali cerita Neil Gaiman tadi. Ketika ia tahu bahwa seorang astronot Neil Armstrong terkadang merasa seperti penipu, Gaiman menyimpulkan kemungkinan besar masih banyak orang diluar sana yang merasakan hal yang sama.
Karena pada akhirnya, mungkin kita semua hanyalah orang-orang yang bekerja keras dan kadang beruntung, namun tidak selalu mahir setiap saat. Mungkin, kita hanya orng-orang yang berusaha sebaik mungkin dan itu sebetulnya sudah cukup. Tidak perlu merasa ragu, apalagi merasa menjadi seperti seorang penipu.
Semoga tulisan ini bermanfaat!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI