Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Menyembuhkan Luka Masa Kecil

15 Oktober 2020   17:08 Diperbarui: 18 Oktober 2020   04:45 1900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi si kecil bersama sang ibu | Sumber: estevan.ca

Caring for your inner child has a powerful and suprisingly quick result: Do it and the child heals.

-Martha Beck

Pernahkah kamu marah besar ketika merasa dibohongi, tersinggung dan defensif ketika menerima kritik, mudah sekali memutuskan hubungan pertemanan atau romantisme karena takut tersakiti? Sebagian orang mungkin bisa melihat penyebab dari hal-hal yang baru aja terjadi kepada mereka.Tapi sebagian lagi, tidak bisa. 

Kalau kamu termasuk orang yang tidak bisa melihat korelasi antara perilaku kamu dan hal yang terjadi saat ini, mungkin kamu bisa mencari korelasinya jauh ke masa lalu. Dan mungkin, menemukan inner child di dalam tubuh kamu atau anak kecil yang tumbuh dewasa.

Well, aku kali ini tidak sedang berbicara mengenai hantu, tapi berbicara mengenai salah satu bagian dari kepribadian dimana berupa kondisi merasakan atau merespon sesuatu layaknya anak kecil. Itulah mengapa, hal ini disebut dengan inner child. 

International Journal of Qualitative Studies on Health and Well-being yang diterbitkan pada tahun 2016 memberikan pemahaman baru mengenai inner child ini. Lewat wawancara mendalam, penelitian ini menemukan bahwa inner child muncul melalui pemahaman seseorang terhadap pengalaman masa kecil mereka.

Di penelitian tadi, para partisipan penelitian, menceritakan mengenai pengalaman masa kecil mereka itu bisa menjadi sumber belajar yang berharga bagi mereka sebagai orang dewasa. Contohnya, lewat hubungan yang hangat dengan keluarga, mereka jadi percaya dan mudah untuk membangun hubungan dengan orang lain.

Lewat pengalaman bermain di waktu kecil, mereka bisa jadi mikir bahwa perlu sesekali bersenang-senang sebagai bentuk refreshing diri. Mereka juga belajar bahwa mereka itu hebat asal mau usaha aja. Jadi, orang-orang yang jadi partisipan saat itu menemukan insight seperti itu.

Sayangnya, semua orang tidak seberuntung itu untuk memiliki masa kecil yang ideal atau masa kecil yang bahagia. Tidak sedikit dari kita yang memiliki pengalaman pahit saat kecil yang kemudian memunculkan rasa tak nyaman baik secara fisik maupun emosional. 

Luka ini tanpa disadari mengontrol perasaan dan perilaku seseorang. Wounded inner child seolah membisikkan kepada mereka yang masa kecilnya kurang menyenangkan, seperti ini, "Dunia ini gak aman, kamu harus ekstra hati-hati." Akhirnya terjadilah seseorang tadi menjadi sosok yang super defensif, stress, sensian, baperan, dan sebagainya. 

Reaksi kita terhadap orang lain berakar dari apa yang kita dengar, ingat, dan alami di waktu kecil. Reaksi ini muncul dari anak dalam diri kita, atau inner child tadi.

Kita semua memiliki inner child yang membuat kita bereaksi kuat terhadap sesuatu tanpa sepenuhnya menyadari kenapa hal itu terjadi. Inner child adalah sisi kepribadian kita yang masih bereaksi dan terasa seperti anak kecil.

Contohnya, ada seorang anak perempuan yang melihat ayahnya selalu selingkuh, kemudian ayahnya berpesan, "Jadilah perempuan yang bekerja keras, dan mandiri" anak perempuan ini tumbuh dewasa, bekerja keras, berkarier, mandiri, tetapi juga menjadi individu yang takut sekali sakit hati.

Sulit percaya orang lain, terutama laki-laki. Trauma masa kecil tidak jarang mendistorsi cara kita melihat realita ketika dewasa, mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan diri sendiri dan orang lain, dan bagaimana kita mengambil hikmah dalam hidup. 

Trauma masa kecil bisa muncul ketika melihat orangtua depresi, bertengkar hebat, perang dingin, berlaku keras atau bahkan kejam. Trauma masa kecil juga bisa muncul ketika anak tidak mendapat perhatian, penghiburan, rasa tenang, dan cinta dari orangtua yang seharusnya menjadi ruang pertama ia merasa aman. Akhirnya ketika dewasa ia sering diliputi oleh rasa takut dan khawatir.

Barangkali, ada pula orangtua dulu, juga termasuk anak-anak yang mengalami trauma dari orangtuanya. Karena tidak memahami bagaimana mengolah dan menghentikannya, secara tidak sadar ia malah menumpahkan pada anak-anaknya sendiri di masa kini.  

Lantas bagaimana cara untuk memutus rantai derita dan menyembuhkan luka batin dalam diri kita sehingga kita menjadi orang dewasa yang lebih sadar dan tenang jiwanya? 

Dan, jawabannya adalah dengan memulihkan hubungan dengan anak dalam diri kita, jalin komunikasi dengannya. Setiap hari, kita bisa menyisihkan lima hingga sepuluh menit untuk berbicara dan mendengarkan anak dalam diri kita. Apakah dalam bentuk meditasi duduk, atau menulis surat ditujukan kepada anak dalam diri kita. Atau, sambil melihat foto kita waktu kecil, katakan padanya sebuah kalimat yang menyenangkan. 

Seorang pemimpin spiritual dan aktivis perdamaian dunia, Thich Nhat Hanh mencontohkan seperti ini 

"Wahai anak dalam diriku yang terluka, aku disini, siap mendengarkanmu, ceritakan seluruh deritamu. Aku disini, sungguh-sungguh mendengarkanmu. Kau adalah anak dalam diriku, aku adalah kau. Kita sudah dewasa, tidak perlu takut lagi, kita aman sekarang. Kita bisa melindungi diri sendiri. Ayo ikut ke masa kini. Jangan biarkan masa lalu memenjarakan kita. Pegang tanganku, mari jalan bersama menikmati setiap langkah kita di masa kini."

Disini kita memeluk dan memberikan rasa aman pada anak dalam diri kita. Jika perlu, menangislah tidak apa. Ini bisa menjadi awal rekonsiliasi kita terhadap inner child di dalam diri kita. Ketika kita sedang bahagia, ajak anak dalam diri kita turut menikmatinya. Saat menikmati matahari terbenam misalnya, kita bisa membayangkan, menggandeng tangan anak dalam diri kita dan menikmati indahnya semburat senja.

Indah bukan? Hanya dengan mencintai dan menyembuhkan luka anak dalam diri kita, kita bisa mulai mencintai diri dan orang lain lebih tulus. Rekonsiliasi dengan anak dalam diri kita membantu kita melepas borgol derita masa lalu dan berbahagia di masa kini. 

Aku percaya, setiap luka pasti ada obatnya. Aku percaya setiap sakit, ada masa sembuhnya. Tak apa terjebak dalam luka dan sakit sementara. Yang penting, jangan berlama-lama untuk mengusir mereka dalam bilik kepribadian kita. Setiap manusia, perlu tumbuh dan berpikir dewasa. Jangan biarkan, hidup berjeda bahagia hanya sebab terjebak dalam balada trauma.

Siapapun kamu yang membaca tulisan ini, aku tak tahu apakah kamu terluka atau baik-baik saja. Aku tak tahu masa lalumu penuh tangis atau justru tawa. Tapi yang pasti, bila kamu terluka berdamailah sekarang dengan ia yang bersembunyi dalam kepribadianmu. Ajak ia berdamai, gandenglah, dan katakan, "Yuk kita bisa mendewasa bersama!"

Semoga tulisan ini bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun