Mohon tunggu...
Puja Nor Fajariyah
Puja Nor Fajariyah Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer Assistant, Early Childhood Enthusiast

Kia Ora! Find me on ig @puja.nf

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Belajar Playing Victim, Bagaimana Sikap Kita?

26 September 2020   15:50 Diperbarui: 26 September 2020   16:08 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak yang disalahkan bukan atas kesalahannya sendiri | shutterstock.com

Eka merupakan anak dari keluarga broken home. Dimana, ia tinggal dengan neneknya. Sebagaimana pengasuhan seorang nenek, biasanya sangat 'kolot' sekali.Sedikit-sedikit disalahkan, sedikit-sedikit dilarang ini, sedikit-sedikit harus itu dan masih banyak lagi. 

Kalau mengutip dari isi artikelku yang berjudul "Toxic Parenting, Racun yang Diwariskan" nenek Eka bisa dikatakan sebagai salah satu orang yang disebut "The Controller" dimana anak dikontrol dengan sedemikian rupa sehingga ia tidak memiliki ruang untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya. 

Selaiknya robot atau boneka yang harus patuh pada tuannya. Salah satu dampak dari 'racun' ini adalah kebiasaan Eka tadi, ia suka sekali playing victim. Sebuah sikap yang muncul agar ia merasa aman dan terbebas dari kesalahan. Dan, kebiasaan ini sangat penting kiranya untuk dihapuskan.

Ada kaitannya antara sikap playing victim ini dengan proses penalaran pada anak. Bisa dikatakan, playing victim adalah salah satu contoh penerapan silogisme negatif pada anak. Maksudnya bagaimana? Sebagaimana silogisme, ia adalah sebuah penarikan kesimpulan yang berdasar pada premis umum, lalu premis khusus. 

Seperti halnya begini, Premis umumnya adalah, Eka mengetahui bahwa menyalahkan orang lain dilakukan untuk membuat seseorang merasa aman. Sedangkan premis khususnya adalah ketika ia aman maka ada orang lain yang disalahkan. Dari sana dapat disimpulkan bahwa membuat orang lain bersalah, akan membuat ia aman.

Kemudian, ketika sudah terlanjur terjadi hal yang seperti ini, dimana anak terbiasa playing victim, enaknya diapain? Aku mencoba bertanya hal tadi kepada ustadzah disana. Dan ustadzahnya menjawab, sebenarnya banyak cara yang perlu sekali diterapkan dalam menghilangkan kebiasaan buruk anak tadi. Dan hal ini, tak bisa bila dilakukan dengan sendirian. 

Sebab, perlu adanya kerjasama dengan pihak keluarga, sebab bagaimanapun juga, pada anak usia dini pendidikan dalam keluarga lebih berpengaruh dalam pembentukan pribadi. Seperti halnya, kita tidak boleh melepas fakta bahwa ada peran latar belakang keluarga dalam hal pembentukan kepribadian, latar belakang pengasuhan. 

Pada kasus Eka, yang justru disayangkan memang sebab ia tidak mendapatkan kebutuhan pendidikan emosional yang seharusnya dari keluarganya oleh sebab itu dalam hal pembentukan kepribadiannya memang lebih rentan. 

Selain itu, lingkungan di sekolah. Eka, di kelas merupakan anak yang paling muda, sehingga seolah ia menjadi yang paling perlu untuk 'disayangi' oleh anak-anak lainnya dan menjadi pembenaran dalam kebiasaan buruknya tadi dimana anak lain sudah seharusnya mengalah atasnya. Hal itu juga seolah memberikan jawaban mengapa Rara hanya diam ketika aku bertanya alasan ia menangis saat jajannya direbut oleh Eka. Ada berbagai spekulasi, bisa karena Rara takut, atau memang sudah pasrah dan malas memperpanjang permasalahan.

"Kalau dari sekolah, apa tidak ada cara yang dilakukan untuk memperbaiki sikap anak ini Ustadzah?"

Dan, jawaban atas pertanyaanku ini membuatku tak dapat berkata-kata juga. Bingung atas pihak mana yang seharusnya bertanggung jawab. Sebab, dari sekolah memang sudah rutin mengadakan yang namanya kelas parenting untuk para wali santri, sering mengadakan pertemuan rutin untuk melaporkan kepada wali santri terkait perkembangan masing-masing anak juga. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun