Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kiai Ngalim

27 Februari 2016   12:22 Diperbarui: 27 Februari 2016   12:29 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Foto: Puja Mandela "][/caption]

Siapa yang tak kenal Kiai Ngalim. Ulama yang amat masyhur dan sangat disegani masyarakat di kampung. Di dalam urusan agama, Kiai Ngalim tidak pernah meninggalkan ibadah wajibnya. Begitu pula dengan ibadah-ibadah sunnah yang bagi sebagian besar manusia masih berat untuk dikerjakan.

Ia juga sudah sejak lama mengamalkan puasa Senin Kamis. Kebiasaan ini sudah umum diketahui warga setempat. Karena hal itulah jika ada warga yang menggelar hajatan di hari Senin atau Kamis, mereka tidak pernah menawarkan makanan atau minuman kepada Kiai Ngalim.

Kiai Ngalim sering mengisi pengajian dan ceramah agama di beberapa masjid dan mushola. Dengan kecerdasannya, Kiai Ngalim-lah yang mengawali kajian-kajian ilmu hadits dan sejarah Islam. Padahal, sebelum kedatangan Kiai Ngalim, masyarakat di kampung hanya terbiasa menggelar Yasinan, Maulidan, Tahlilan, tanpa mengetahui sejarah dan dalil-dalil yang mendukung tradisi yang sudah umum dilakukan masyarakat. Kiai Ngalim benar-benar merevolusi metode dakwah ulama-ulama terdahulu.

Salah satu kelebihan Kiai Ngalim, ia hafal sejarah Islam diluar kepala. Dari sejarah umum, sampai sejarah khusus yang bagi sebagian orang sangat tabu untuk diceritakan. Ia paham betul kalau citra sahabat nabi tak seindah yang selama ini diketahui banyak orang. Ada perbedaan pendapat yang cukup besar di antara para sahabat utama Rasulullah. Soal sejarah ini, Kiai Ngalim tak belajar khusus dari guru tertentu, ia hanya rajin membaca kitab-kitab tarikh karya ulama Salaf.

Tidak sedikit pula masyarakat yang datang kepada Kiai Ngalim untuk sekedar berkonsultasi atau meminta nasehat terkait dengan problematika kehidupan. Walaupun banyak tamu yang datang ke rumahnya, tapi Kiai Ngalim tetap sabar melayani tamu-tamunya.

Masyarakat kampung jelas sangat mengagumi sosoknya. Bahkan, kealimannya sampai ke telinga warga di kampung sebelah. Kiai Ngalim dinilai cukup berani dan cerdas dalam mengubah metode dakwah para ulama yang sebelumnya hanya berkutat pada ceramah-ceramah konvensional menjadi kajian ilmu hadits dan sejarah Islam. Menurut mereka, jasa Kiai Ngalim luar biasa.

"Ah, tidak tidak. Saya tidak berjasa, kecuali secuil. Semua kemajuan yang ada di kampung ini karena kemauan dan tekad kuat masyarakat itu sendiri," kata Kiai Ngalim, merendah.

Ia menjelaskan bagaimana tradisi-tradisi itu dipertentangkan. Dan memang ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sendiri. Kiai Ngalim berpesan, kalau ada yang menggugat amalan-amalan itu, masyarakat tidak boleh benci. "Ajak mereka dialog. Jangan marah atau benci. Karena mereka saudara kita," pesan Kiai Ngalim. 

Begitulah Kiai Ngalim. Ia selalu merendah dan jauh dari kesan sombong. Banyak orang datang kepadanya hanya untuk berdiskusi, meminta pendapat dan nasehat. Bahkan tidak sedikit pejabat di daerah itu yang meminta dawuh dan do'a Kiai Ngalim agar sukses dalam karir dan usahanya.

****

Malam itu, Kiai Ngalim terjaga dari tidurnya. Jantungnya berdegub kencang seperti mau copot. Keringat bercucuran sampai membasahi jenggotnya yang panjang itu. Beberapa kali ia mengucapkan istighfar, tapi kalimat-kalimat itu tidak juga menentramkan hati dan pikirannya.

Kiai Ngalim kemudian beranjak dari pembaringan dan mengambil segelas air putih yang berada di atas meja. Sembari minum, ia bergumam dalam hati. "Astagfirullah. Bisa- bisanya begitu. Apakah ini suatu pertanda?" kata Kiai Ngalim, dalam hati.

Malam berikutnya, mimpi itu datang lagi. Ia benar-benar kaget bukan main. Dan untuk menenangkan hatinya, ia kembali mengambil segelas air putih sambil beristigfar dan membaca beberapa ayat suci Al Qur'an. Setelah tenang, Kiai Ngalim kembali merebahkan tubuhnya. Ia miringkan tubuh ke kanan dan kemudian memejamkan mata.

Sudah dua kali Kiai Ngalim memimpikan sesuatu yang menurut dia sangat tidak pantas ditemui seorang ulama yang sangat disegani masyarakat. Seorang yang ahli ibadah dan rajin menolong sesama. Di malam ketiga sebelum ia merebahkan tubuhnya, Kiai Ngalim mengambil wudhu. Setelah selesai solat Isya, ia kemudian mengerjakan solat sunnah.

Setelah selesai rakaat terakhir, Kiai Ngalim langsung merebahkan dirinya di pembaringan. Tak sampai habis sebatang rokok, Kiai Ngalim sudah terlelap. Walaupun sudah bersuci dan beribadah sedemikian rupa, tapi ternyata, mimpi buruk itu datang lagi.

Di dalam mimpinya, Kiai Ngalim berada di suatu tempat yang gelap gulita. Hampir tak ada cahaya kecuali dua berkas putih yang mendekatinya dari kejauhan. Tubuh Kiai Ngalim tiba-tiba diselimuti angin yang sangat dingin, jauh lebih dingin dibandingkan udara di Kutub Utara. Badan Kiai Ngalim gemeteran luar biasa, keringat dingin bercucuran. Rasanya benar-benar tak karuan.

"Ah, dimana aku ini. Ya Allah tolong aku. Tolong hambamu yang hina ini," kata Kiai Ngalim, berteriak ketakutan.

Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, dua cahaya putih yang dari tadi mendekatinya sudah berada tepat di hadapannya. Dua cahaya itu sangat terang. Saking terangnya, Kiai Ngalim tak mampu lagi membuka kedua matanya. Ia kemudian memejamkan mata dan menutup wajahnya dengan menggunakan kedua tangannya.

"Wahai kiai, Tahukah kenapa kau berada disini," sebuah suara menyeruak masuk ke telinganya.

Kiai Ngalim mencoba mengatur nafas. Ia mencoba menjawab, tapi lidahnya kaku dan kelu. Tubuhnya semakin gemetar karena kedinginan.

"Tahukah kau, Tuhan menundamu masuk ke SurgaNya. Kami diperintah kesini untuk menanyakan beberapa hal yang harus ditanyakan. Tuhan tahu jawabanmu, tapi Tuhan ingin memberi satu pelajaran untukmu," kata sebuah suara yang berasal dari cahaya tersebut.

"Semua amal ibadahmu dan apa yang kau lakukan di dunia memang sangat bermanfaat bagi manusia. Tapi ingatkah engkau, beberapa kali kau mengatakan di dalam hatimu bahwa jika bukan karenamu, masyarakat di kampungmu masih bodoh. Jika bukan karenamu, masyarakat di kampung masih tetap menjalankan tradisi-tradisi tanpa mengetahui sejarah dan dalil-dalilnya. Jika bukan karenamu, metode dakwah para ustadz dan kiai kampung tak akan pernah berubah. Jika bukan karenamu, tak akan ada orang alim sebagai penerus perjuangan dakwahmu. Dan sifat rendah hatimu itu, karena ingin dipuji oleh orang di kampung. Tuhan tahu yang tidak engkau ketahui wahai kiai," kata-kata itu mengalir deras bak air bah yang tak bisa dibendung lagi.

Kedua mata Kiai Alim berkaca-kaca dan perlahan menetes sampai ke pipi dan jenggot tebalnya. Badannya bergetar hebat. Ia kemudian tersungkur dan terus menangis. Kiai Ngalim ingat betul kalau ia pernah mengucapkan kalimat yang terkesan jauh dari sifat sombong. Tapi ia baru sadar bahwa kalimat itulah letak kesombongan yang sebenarnya. "Bukan sombong lho ya. Tapi kalau bukan karena saya, orang kampung tak akan mengenal agama secara benar, "katanya, waktu itu. 

Ia lalu berfikir, hanya karena secuil kesombongan, manusia tidak bisa mencium bau surga. Apalagi kebanyakan orang diluar sana yang memang membanggakan kekuasaan dan kekayaannya sementara banyak orang miskin yang masih perlu pertolongan. Bagaimana nasib maling sandal, pemerkosa, perampok dan tukang gorengan yang menggunakan minyak bekas.

Lalu, bagaimana nasib para perusak alam di hutan Kalimantan. Yang tak pernah puas mencabut pohon beserta akar-akarnya, lalu kemudian menggali tanah dan di ambil batubaranya. Setelah lubang menganga, mereka tinggalkan lubang-lubang bekas galian itu. Sementara uang hasil keringatnya diberikan kepada anak istri dan ribuan karyawannya. Kepada anaknya ia berkata, "uang ini halal nak. Hasil jerih payah bapak".

Bagaimana nasib polisi yang justru asyik masyuk dengan bisnis ilegal, dan melupakan tugas pokoknya sebagai pengayom masyarakat. Bagaimana nasib para remaja yang suka dugem dan hobi nguntal obat-obatan terlarang. Bagaimana nasib PNS yang hobi main proyek pemerintah.

Bagaimana nasib koruptor yang merugikan bangsa dan negara. Bagaimana nasib para ulama yang sepanjang hidupnya sibuk berdebat dan merasa paling benar sendiri. Bagaimana nasib para pemimpin yang tidak amanah dan membiarkan rakyatnya kelaparan. "Bagaimana nasib mereka kelak?" kata Mbah Ngalim.

Kiai Ngalim tersentak dan bangun dari tidurnya. Ia kemudian duduk dan beristigfar. Sambil menangis tersedu-sedu, ia meminta ampun kepada Allah SWT dengan permohonan yang amat tulus. Rupanya, Kiai Ngalim sudah paham betul apa maksud mimpinya itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun