"Semua amal ibadahmu dan apa yang kau lakukan di dunia memang sangat bermanfaat bagi manusia. Tapi ingatkah engkau, beberapa kali kau mengatakan di dalam hatimu bahwa jika bukan karenamu, masyarakat di kampungmu masih bodoh. Jika bukan karenamu, masyarakat di kampung masih tetap menjalankan tradisi-tradisi tanpa mengetahui sejarah dan dalil-dalilnya. Jika bukan karenamu, metode dakwah para ustadz dan kiai kampung tak akan pernah berubah. Jika bukan karenamu, tak akan ada orang alim sebagai penerus perjuangan dakwahmu. Dan sifat rendah hatimu itu, karena ingin dipuji oleh orang di kampung. Tuhan tahu yang tidak engkau ketahui wahai kiai," kata-kata itu mengalir deras bak air bah yang tak bisa dibendung lagi.
Kedua mata Kiai Alim berkaca-kaca dan perlahan menetes sampai ke pipi dan jenggot tebalnya. Badannya bergetar hebat. Ia kemudian tersungkur dan terus menangis. Kiai Ngalim ingat betul kalau ia pernah mengucapkan kalimat yang terkesan jauh dari sifat sombong. Tapi ia baru sadar bahwa kalimat itulah letak kesombongan yang sebenarnya. "Bukan sombong lho ya. Tapi kalau bukan karena saya, orang kampung tak akan mengenal agama secara benar, "katanya, waktu itu.Â
Ia lalu berfikir, hanya karena secuil kesombongan, manusia tidak bisa mencium bau surga. Apalagi kebanyakan orang diluar sana yang memang membanggakan kekuasaan dan kekayaannya sementara banyak orang miskin yang masih perlu pertolongan. Bagaimana nasib maling sandal, pemerkosa, perampok dan tukang gorengan yang menggunakan minyak bekas.
Lalu, bagaimana nasib para perusak alam di hutan Kalimantan. Yang tak pernah puas mencabut pohon beserta akar-akarnya, lalu kemudian menggali tanah dan di ambil batubaranya. Setelah lubang menganga, mereka tinggalkan lubang-lubang bekas galian itu. Sementara uang hasil keringatnya diberikan kepada anak istri dan ribuan karyawannya. Kepada anaknya ia berkata, "uang ini halal nak. Hasil jerih payah bapak".
Bagaimana nasib polisi yang justru asyik masyuk dengan bisnis ilegal, dan melupakan tugas pokoknya sebagai pengayom masyarakat. Bagaimana nasib para remaja yang suka dugem dan hobi nguntal obat-obatan terlarang. Bagaimana nasib PNS yang hobi main proyek pemerintah.
Bagaimana nasib koruptor yang merugikan bangsa dan negara. Bagaimana nasib para ulama yang sepanjang hidupnya sibuk berdebat dan merasa paling benar sendiri. Bagaimana nasib para pemimpin yang tidak amanah dan membiarkan rakyatnya kelaparan. "Bagaimana nasib mereka kelak?" kata Mbah Ngalim.
Kiai Ngalim tersentak dan bangun dari tidurnya. Ia kemudian duduk dan beristigfar. Sambil menangis tersedu-sedu, ia meminta ampun kepada Allah SWT dengan permohonan yang amat tulus. Rupanya, Kiai Ngalim sudah paham betul apa maksud mimpinya itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H