Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kiai Ngalim

27 Februari 2016   12:22 Diperbarui: 27 Februari 2016   12:29 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu, Kiai Ngalim terjaga dari tidurnya. Jantungnya berdegub kencang seperti mau copot. Keringat bercucuran sampai membasahi jenggotnya yang panjang itu. Beberapa kali ia mengucapkan istighfar, tapi kalimat-kalimat itu tidak juga menentramkan hati dan pikirannya.

Kiai Ngalim kemudian beranjak dari pembaringan dan mengambil segelas air putih yang berada di atas meja. Sembari minum, ia bergumam dalam hati. "Astagfirullah. Bisa- bisanya begitu. Apakah ini suatu pertanda?" kata Kiai Ngalim, dalam hati.

Malam berikutnya, mimpi itu datang lagi. Ia benar-benar kaget bukan main. Dan untuk menenangkan hatinya, ia kembali mengambil segelas air putih sambil beristigfar dan membaca beberapa ayat suci Al Qur'an. Setelah tenang, Kiai Ngalim kembali merebahkan tubuhnya. Ia miringkan tubuh ke kanan dan kemudian memejamkan mata.

Sudah dua kali Kiai Ngalim memimpikan sesuatu yang menurut dia sangat tidak pantas ditemui seorang ulama yang sangat disegani masyarakat. Seorang yang ahli ibadah dan rajin menolong sesama. Di malam ketiga sebelum ia merebahkan tubuhnya, Kiai Ngalim mengambil wudhu. Setelah selesai solat Isya, ia kemudian mengerjakan solat sunnah.

Setelah selesai rakaat terakhir, Kiai Ngalim langsung merebahkan dirinya di pembaringan. Tak sampai habis sebatang rokok, Kiai Ngalim sudah terlelap. Walaupun sudah bersuci dan beribadah sedemikian rupa, tapi ternyata, mimpi buruk itu datang lagi.

Di dalam mimpinya, Kiai Ngalim berada di suatu tempat yang gelap gulita. Hampir tak ada cahaya kecuali dua berkas putih yang mendekatinya dari kejauhan. Tubuh Kiai Ngalim tiba-tiba diselimuti angin yang sangat dingin, jauh lebih dingin dibandingkan udara di Kutub Utara. Badan Kiai Ngalim gemeteran luar biasa, keringat dingin bercucuran. Rasanya benar-benar tak karuan.

"Ah, dimana aku ini. Ya Allah tolong aku. Tolong hambamu yang hina ini," kata Kiai Ngalim, berteriak ketakutan.

Belum sempat ia menyelesaikan perkataannya, dua cahaya putih yang dari tadi mendekatinya sudah berada tepat di hadapannya. Dua cahaya itu sangat terang. Saking terangnya, Kiai Ngalim tak mampu lagi membuka kedua matanya. Ia kemudian memejamkan mata dan menutup wajahnya dengan menggunakan kedua tangannya.

"Wahai kiai, Tahukah kenapa kau berada disini," sebuah suara menyeruak masuk ke telinganya.

Kiai Ngalim mencoba mengatur nafas. Ia mencoba menjawab, tapi lidahnya kaku dan kelu. Tubuhnya semakin gemetar karena kedinginan.

"Tahukah kau, Tuhan menundamu masuk ke SurgaNya. Kami diperintah kesini untuk menanyakan beberapa hal yang harus ditanyakan. Tuhan tahu jawabanmu, tapi Tuhan ingin memberi satu pelajaran untukmu," kata sebuah suara yang berasal dari cahaya tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun