Mohon tunggu...
Puja Mandela
Puja Mandela Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis di apahabar.com

Pria biasa, lulusan pesantren kilat, penggemar singkong goreng, tempe goreng, bakso,fans garis miring The Beatles, Iwan Fals, Queen, musik rock 60s, 70s.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hakikat Secangkir Kopi

14 Februari 2016   09:10 Diperbarui: 4 April 2017   18:29 548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="ilustrasi (sumber foto: gunanya.com"][/caption]Dulu, duluuu sekali. Mbah Fakih dan mbah Somat sering bersitegang karena perbedaan prinsip dalam ibadah. Tetapi perbedaannya bukan perkara akidah. Soal akidah, keduanya tetap konsisten mengikuti manhaj Al Glundungi yang sangat masyhur sejak abad ke 3 Hijriah.

Mulanya, hubungan antara mbah Fakih dan mbah Somat baik-baik saja. Tetapi sejak mbah Fakih melihat mbah Somat solat ashar pada pukul enam sore, ia mulai menaruh rasa curiga. Apalagi saat itu, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri kalau solat mbah Somat tidak tepat mengarah ke kiblat. Dari penglihatan mbah Fakih, solat mbah Somat saat itu sedikit miring ke arah timur. "Benar-benar ngawur," bathin mbah Fakih.

Karena tidak ingin memiliki prasangka buruk, ia segera melupakan kejadian sore itu. Ternyata upaya mbah Fakih percuma. Sebab ia masih sering menyaksikan mbah Somat solat seenak udelnya. Belum lagi pakaiannya itu lho, semrawut.

Karena sudah sering melihat perilaku aneh mbah Somat, mbah Fakih sering jengkel dan ngedumel. "Kok bisa begitu ya," kata mbah Fakih, tak habis fikir. Tetapi karena termasuk orang alim, ia tetap menjaga agar lisan dan hatinya tidak sampai menyesatkan mbah Somat. Ia juga tak ingin murid-muridnya ikut-ikutan mencurigai kelakuan mbah Somat yang "nyeleneh" itu.

***
Puluhan kali sudah mbah Fakih menyaksikan kejanggalan praktek ibadah mbah Somat. Dari perkara waktu solat yang sering terlambat, salah kiblat, sampai masalah busana yang ala kadarnya.

Karena sudah sangat mengganggu pikirannya, mbah Fakih berencana mengajak mbah Somat berdebat di forum terbuka yang disaksikan banyak orang. Tapi setelah dipikir-pikir, ia akhirnya mengurungkan niat tersebut. Mbah Fakih khawatir kalau murid dan masyarakat di kampung menganggap mbah Somat sebagai orang yang sesat.

Untuk menghindari anggapan itu, mbah Fakih akhirnya memutuskan untuk ngobrol empat mata dengan mbah Somat. Setelah selesai mengimami solat ashar, mbah Fakih mengajak mbah Somat ngopi di warungnya mbak Sri, janda anak dua yang sudah dua tahun cerai dengan suaminya.

"Kang Somat, tak traktir ngopi mau nggak? Di warung mbak Sri yang janda itu," ajak mbah Fakih.

Mendengar ajakan seperti itu, mbah Somat jelas sangat gembira. Apalagi dia sudah lama tidak nongkrong di warung mbak Sri yang terkenal berparas ayu, berkulit putih dan memiliki rambut panjang terurai. Warung mbak Sri berada sekitar 500 meter dari Masjid Al Glundungi yang didirikan oleh guru besar mereka, mbah Glundung.

"Mbakyu, pesen kopi hitam dua ya. Gulanya jangan banyak-banyak ya," kata mbah Fakih, sesampainya di warung mbak Sri.

Ia kemudian mencari tempat duduk favoritnya yang berada di pojokan warung. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri khawatir kalau ada warga kampung yang mengetahui rencananya untuk menginterogasi mbah Somat. Tapi kekhawatirannya langsung sirna karena sore itu masyarakat di kampung sedang menggelar kerja bakti di sekitar masjid. Belum habis setengah batang rokok, kopi yang dipesan sudah siap. Dengan gaya centilnya, mbak Sri menyajikan dua cangkir kopi kepada dua orang ulama sepuh itu.

Setelah itu, mbah Fakih memulai pembicaraan. "Kalau saya perhatikan, sampeyan kok solatnya telat terus. Kadang-kadang saya lihat sampeyan solat ashar di akhir waktu. Gimana sih itu kang," mbah Fakih memulai obrolan.

"Lho, jadi selama ini sampeyan sibuk memperhatikan saya ya? Ya, kan solat itu nggak penting, mau di awal atau akhir waktu, yang penting kita khusyuk menyembah Tuhan. Karena solat itu intinya khusyuk".

"Kalau solat tepat waktu tapi sambil memikirkan kesesatan orang lain juga ndak baik kan?" jawab mbah Somat, sembari menuangkan kopi ke piring kecil.

Mbah Fakih sempat tertegun karena tidak menyangka akan menerima jawaban seperti itu. Tapi ia tak tentu tak mau kalah.

"Solat lima waktu itu hukumnya wajib. Tata cara dan syarat-syarat solat sudah dijelaskan oleh para ulama fikih. Jadi kita harus mematuhi itu. Nggak bisa ditawar,"kata mbah Fakih, sembari menyalakan rokok kretek yang sudah dilinting sejak tadi.

"Kalau solat tidak tepat menghadap kiblat, solatnya nggak diterima. Masa kita solat menghadap ke timur atau selatan," sindir mbah Fakih, sembari menghisap rokok kreteknya dalam-dalam.

"Ah, ya nggak kaku begitulah. Solat itu yang penting hati kita ikhlas kepada Tuhan. Dan kita benar-benar menyembahNya. Melenceng dikit nggak masalah, lambat dikit nggak masalah," tepis mbah Somat, cengengesan.

"Lho, nggak bisa gitu to kang. Solat itu ya ke sana. Harus benar-benar pas," kata mbah Fakih sembari menunjuk ke arah kiblat.

Perdebatan dua ulama sepuh sore itu masih berkutat pada persoalan syari'at dan tarekat. Mereka tetap bersikukuh mempertahankan argumentasinya masing-masing.

Secara keilmuan, keduanya sama-sama hebat. Mbah Fakih dan mbah Somat merupakan murid utama Syaikh Al Glundungi. Hanya saja, mbah Fakih dikenal sebagai ulama yang konsen ke perkara fikih, sementara mbah Somat dikenal dengan ajaran tarekatnya.

Dalam hal berpakaian, mbah Fakih dikenal sangat rapi. Ia selalu menggunakan gamis putih lengkap dengan sorban saat memimpin solat jamaah di masjid. Mbah Fakih memiliki prinsip, saat bertemu manusia saja harus menggunakan pakaian yang bagus, apalagi saat menghadap sang pencipta.

Sementara bagi mbah Somat, pakaian bukanlah hal yang penting. "Pakaian itu cuma bungkus," katanya. Yang penting hati yang bersih. Karena itu, mbah Somat dikenal kurang rapi dalam berbusana. Ia juga hampir tidak pernah menggunakan kopiah atau gamis putih. Ia lebih enjoy dengan kaos oblong dan celana panjang biasa.

Setelah menghabiskan beberapa batang rokok, mbah Somat berkata, "Kalau segala yang wajib sudah terpenuhi, tapi lisan masih ngawur. Itu juga percuma. Betul nggak mbak Sri," kata mbah Somat sembari memalingkan wajah ke arah mbak Sri yang saat itu masih sibuk menggoreng singkong.

"Halah mbah mbah. Mana saya tahu urusan begituan. Saya cuma tahu urusan nggoreng singkong, ngulek sambel, sama anu, eh..."mbak Sri menghentikan ucapannya.

"Sama apa mbak," mbah Fakih nyeletuk.

"Hanya tuhan yang tahu mbah," jawab mbak Sri, sambil mesam mesem.

Sudah hampir tiga jam kedua ulama ini berdebat di warung mbak Sri. Tapi belum juga menemukan titik temu. Mbah Fakih tetap ngotot dengan ilmu syari'atnya. Dan mbah Somat tetap konsisten dengan ilmu tarekatnya.

Saat kumandang azan maghrib terdengar lirih, perdebatan itu tak juga usai. Mbak Sri sempat bingung. Karena dua orang ini bukan orang sembarangan. Keduanya merupakan ulama besar yang sangat disegani di kampungnya. Bahkan kemasyhuran mbah Fakih dan mbah Somat sampai ke telinga masyarakat di kampung sebelah.

Karena tak berani protes, mbak Sri hanya bisa geleng-geleng kepala. "Beliau-beliau ini kok terlalu asik dengan perdebatan itu. Apa ndak dengar ada azan maghrib?"

"Aku kok ndak habis pikir. Lha terus yang jadi imam siapa itu?",mbak Sri mengernyitkan dahinya sembari mengangkat pundaknya. "Ah, emang gue pikirin," bathinnya.

Selepas isya, perdebatan antara mbah Fakih dan mbah Somat semakin memanas. Tak pernah ada kata sepakat di antara mereka. Jika sebelumnya hanya adu logika, kali ini keduanya sudah perang dalil. Mbah Fakih mengeluarkan puluhan hadits sohih. Begitupula dengan mbah Somat. Tapi, bagai air dan minyak, tetap saja, dalil yang digunakan bertentangan satu sama lain.

****

Malam makin larut. Karena bosan dengan perdebatan yang tak ada ujung pangkalnya, mbak Sri mulai gelisah. Ia mulai menguap saat  mendengarkan aneka macam dalil yang keluar dari mulut mbah Fakih dan mbah Somat.

Mbak Sri benar-benar heran. Bagaimana bisa, dua ulama besar berdebat sampai begitu rupa. Yang lebih aneh lagi, perdebatan dua ulama itu membuat mereka lupa dengan urusan umat. Bahkan sampai melewatkan solat maghrib dan isya berjamaah di masjid. Mbak Sri kemudian memberanikan diri untuk menyela perdebatan dua ulama sepuh itu.

"Anu mbah, maaf lho mbah. Bukannya ikut campur sama urusan sampeyan berdua. Tapi mbok ya nggak usah berdebat gitu. Anggep aja kaya kopi sama gula. Kopi kalo nggak pake gula, khan pait to. Tapi kalo gulanya kebanyakan juga ndak enak khan. Jadi ya harus seimbang," kata mbak Sri, bicara apa adanya.

Mendengar celetukan mbak Sri, dua ulama itu kaget dan terdiam. Belum sempat mbah Somat menghisap rokok kreteknya, azan subuh terdengar lirih dari kejauhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun