Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Belanja Online Kolektor: Rasional, Impulsif, atau Kompulsif

22 Mei 2021   03:47 Diperbarui: 22 Mei 2021   11:15 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Aneka koleksi, yang temporal dan menetap

Mengoleksi suatu benda adalah hal yang umum dilakukan oleh berbagai kalangan masyarakat. Setiap kolektor benda tentu memiliki alasan dan penilaian pribadi mengapa sesuatu dianggap penting dan menjadi barang yang menarik untuk dikoleksi, termasuk diantaranya tujuan investasi.

Ada yang melakukan aktivitas tersebut sejak dini dan terus berlanjut hingga dewasa sebagai hobi, namun ada juga yang mengumpulkan mainan secara temporal saja sebagai bagian dari proses tumbuh kembang anak.

Saya teringat bagaimana gencarnya iklan bonus happy meal di televisi membuat anak saya selalu merengek untuk masuk ke gerai salah satu makanan siap saji.

Selanjutnya terjadi dinamika peminatan anak saya terhadap berbagai obyek mainan, yang semuanya bersifat kesenangan sementara. Satu-satunya mainan yang diinginkan anak saya yang relatif mahal hanyalah Batmobile.

Batmobile itu sampai kini setelah dia dewasa masih tersimpan di lemari pajangan bersama berbagai action figure. Obyek figur yang dia beli dari menyisihkan uang saku sekolah termasuk setelah mahasiswa.

Seingat saya di tingkat SMU, anak saya baru mempunyai minat atau bentuk kesenangan yang menetap terhadap action figure untuk dikoleksi.

Action figure koleksi anak saya, dokpri.
Action figure koleksi anak saya, dokpri.

Meskipun jaman berubah dengan adanya Belanja Online, anak saya tidak pernah mengubah cara membeli obyek yang diincarnya yaitu selalu membeli offline. Pembelian langsung membuatnya bisa meneliti detil dan memastikan action figure yang diinginkannya dalam keadaan baik. Namun sekarang, apalagi karena pandemi untuk material selain action figure dia membeli secara online.

Kolektor rasional

Bersama anak saya yang sedang mendapat tugas magang di salah satu rumah sakit di Jakarta, saya pernah menyaksikan TOMOCI (Toys and Models Collector Indonesia) Fair pada Agustus 2019 di Balai Kartini. Saya tidak menemukan miniatur helikopter SAR yang saya inginkan. Meskipun demikian anak saya sempat mengucapkan komentar "papi balik seperti anak-anak" ketika melihat saya mencermati miniatur mobil pemadam kebakaran.

Seperti anak saya yang memiliki koleksi mainan, saya pun memiliki benda-benda memorabilia yang terkait dengan tugas sebagai prajurit TNI. Barang tersebut saya peroleh dengan tukar-menukar dengan personel prajurit negara lain berupa pin, lencana maupun perlengkapan perorangan dan lapangan (kaporlap) prajurit. Pisau kukri perlengkapan perorangan prajurit Nepal saya peroleh dengan menukar pakaian loreng "malvinas" TNI. Pisau militer saya buatan Banyuwangi saya barter dengan helm tempur kevlar seorang letnan batalyon infanteri Afrika Selatan, yang bertugas satu sektor dengan saya di Kota Beni Kongo.

Saya juga senang membeli cinderamata khas daerah tugas maupun mengoleksi cinderamata yang unik dari berbagai kegiatan yang saya ikut. Tentu saja koleksi terbesar saya yang berhubungan dengan kesenangan saya membaca dan menulis adalah buku. Apalagi sekarang ini bila memerlukan buku tidak harus ke toko buku. Bahkan Gramedia pun jauh-jauh sebelum pandemi telah memfasilitasi Cara Belanja Buku Online di Gramedia.com.

Barangkali benar, masa kecil saya "kurang bahagia". Dulu di pasar Wonokromo Surabaya setiap momen "Muludan" pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, sepanjang jalan di luar pasar dipenuhi penjual mainan anak-anak. Menyadari keterbatasan penghasian orangtua, saya cukup hanya berjalan berkeliling, menonton karena tidak bisa membeli mainan yang saya inginkan.

Namun dibanding mainan, pada masa anak dan remaja saya lebih tertarik buku. Maka selain bermain pada umumnya bersama teman sebaya di kampung, saya juga pengunjung setia kios persewaan buku dan komik.

Ahli psikoanalisis Sigmund Freud menjelaskan adanya perilaku para kolektor yang berhubungan dengan ketidakpuasan atas kurangnya pencapaian kontrol diri dari masa-masa sebelumnya dan berusaha mendapatkannya kembali melalui aksi mengumpulkan serangkaian benda tertentu (McKinley, 2007)<1>.

Jadi terdapat kolektor yang mengumpulkan barang karena adanya harapan dari masa kecil yang belum tercapai dan dipuaskan seiring berkembangnya usia.

Terlepas dari latar belakang psikologis masa lalu konsumen sebagai kolektor, yang penting untuk dipersoalkan saat ini adalah perilaku belanja untuk mendapatkan benda yang disukainya.

Sekarang ini kesenangan dan peminatan yang menetap terhadap sesuatu benda untuk dikoleksi semakin mendapat kemudahan dengan adanya aplikasi belanja online.

Di balik kemudahan Belanja Online yang semakin memanjakan para konsumen, sebenarnya terdapat potensi kerugian bagi individu tertentu akibat perilaku belanja yang patologis.

Barang apa yang sekarang ini tidak bisa diperoleh secara online, dari semua keperluan wanita, atau koleksi numismatik, keris dan batu akik sampai berbagai obyek spesifik dan unik yang dicari kolektor.

Di tengah segala kemudahan itu, seorang kolektor yang rasional akan berhitung dengan penghasilannya dan melakukan langkah perencanaan dalam rangka memburu benda yang disukainya. Meskipun terdapat dorongan untuk membeli, namun tetap dapat mengendalikan diri dalam batas pos anggaran yang telah ditentukan dan tidak menggerus kewajiban untuk pos pengeluaran yang lain.

Bagi kolektor dengan perilaku belanja rasional, di tengah berbagai tawaran menarik tersedianya obyek yang disukainya, tetap memiliki kontrol yang kuat terhadap tujuan membeli dan kemampuan finansialnya. Maka bagi mereka yang bertipe kolektor rasional akan terhindar dari keinginan belanja yang patologis. Tentu tidak harus bersikap sama dengan anak saya yang untuk membeli obyek koleksi menggunakan belanja offline.

Bila anda berhobi koleksi tetap dapat memiliki obyek buruan melalui belanja online dengan mengutamakan prinsip kehati-hatian sebagai berikut :
a. Memilih marketplace yang resmi dan sudah dikenal luas,
b. Menetapkan aplikasi dan membuat akun pada marketplace yang sudah terinstal.
c. Telusur dan bandingkan obyek koleksi dari berbagai sumber informasi termasuk produsen, spesifikasi teknis dan harga lalu tetapkan pilihan.
d. Cari produk yang telah dipilih di marketplace dan ketik di kolom pencarian, misal : action figure.
e. Perhatikan persediaan dan cermati diskripsi produk serta harga, apakah sesuai dengan informasi yang anda kumpulkan sebagai pembanding.
f. Membeli setelah melakukan rechek terhadap semua langkah pemesanan.
g. Baik membayar secara Cash On Delivery (COD) atau transfer pada saat menerima barang dari kurir agar melaksanakan protokol kesehatan ketat, termasuk mendisinfeksi bungkusan barang kiriman.
h. Beberapa istilah yang berhubungan dengan belanja online adalah Add to Chart, Brand New In Box, condition not control, delivery order, luar batas antar (LBA), Like New, On Model, one night service, testimonial, term and condition, dan lain-lain dapat dibaca di sini.

Perilaku membeli Impulsif dan kompulsif

Selain perilaku belanja rasional, terdapat pula perilaku belanja patologis berupa membeli impulsif dan membeli kompulsif. Maka sebagaimana seorang kolektor dapat mengendalikan perilaku belanjanya dengan rasional terhadap obyek benda yang ingin dikoleksi, kemungkinan terdapat pula kolektor yang membeli benda spesifik yang ingin dikoleksi secara impulsif dan kompulsif. Jadi para kolektor perlu menelisik apakah dirinya kolektor yang membeli rasional, impulsif ataukah tergolong kompulsif.

Merujuk pendapat berbagai ahli, Wisnuwardani menyatakan bahwa membeli impulsif merupakan kecenderungan membeli karena dorongan emosional yang kuat, spontan, kurang melibatkan pikiran, sehingga menimbulkan pembengkakan pengeluaran.

Pembelian impulsif merupakan perilaku membeli tanpa perencanaan, terjadi ketika konsumen mengalami keinginan yang kuat dan kukuh mengambil keputusan untuk membeli sesuatu secepatnya (P2TKP, 1/11/2020) <2>. Dampak negatif membeli impulsif adalah pembengkakan pengeluaran dan penyesalan.

Bagaimana dengan perilaku belanja membeli kompulsif. Faber mendefinisikan membeli kompulsif adalah perilaku membeli kronis dan berulang sebagai respon dari perasaan atau peristiwa negatif. Jadi membeli kompulsif mencakup dua hal, yaitu berulang-ulang dan adanya problematik individu. Perilaku compulsive buying adalah perilaku membeli yang muncul sebagai respon utama untuk menghadapi perasaan ataupun kejadian yang dianggap tidak menyenangkan seperti sedih, depresi, atau frustasi yang dilakukan secara berulang dan menjadi akut.

Dalam jangka pendek, perilaku membeli kompulsif berdampak positif berupa pengurangan stres dan ketegangan serta peningkatan hubungan interpersonal. Namun dalam jangka panjang perilaku membeli kompulsif akan berdampak merugikan secara ekonomi maupun psikologis, yaitu tunggakan kartu kredit, hutang pribadi, terjerat kasus hukum, rasa cemas, depresi maupun konflik interpersonal (Retno, 2014 : 3) <3>.

Dengan demikian untuk membawa mereka yang berperilaku membeli kompulsif menjadi berperilaku belanja yang normal rasional, lebih dulu diperlukan psikoterapi terhadap yang bersangkutan sesuai berat-ringannya faktor stres yang mendasari.

Tidak semua obyek koleksi berharga mahal, diecast mobil ada yang berharga puluhan ribu rupiah. Namun murah atau mahal karena memiliki keunikan dan makna khusus bagi pemiliknya, seorang kolektor akan melakukan upaya sistematis terhadap benda-benda yang dikoleksinya. Upaya tersebut meliputi pemeliharaan, penyimpanan, korespondensi dengan sesama komunitas dan menjaga kualitas terutama yang bertujuan investasi.

Upaya sistematis untuk menyimpan dan memelihara koleksi akan menghindarkan seorang kolektor berperilaku konsumtif yang berujung kepada akumulasi dan penimbunan barang. Mereka yang gagal melakukan pengendalian akan mengoleksi barang melebihi batas termasuk obyek yang bersifat tidak terlalu penting, dan bergeser menjadi seorang yang mengalami hoarding disorder.

Perilaku membeli impulsif yang tidak terencana dan membeli kompulsif sebagai mekanisme koping terhadap stres, berpotensi menimbulkan kondisi hoarding disorder. Estetika benda koleksi sebagai hiasan rumah pun lenyap, berganti dengan rumah yang penuh barang berantakan.

Penutup

Era digital memberi kemudahan kepada konsumen, termasuk para kolektor untuk mendapatkan barang kebutuhan di berbagai marketplace. Belanja Online memfasilitasi para kolektor untuk melengkapi obyek koleksi yang bermakna bagi dirinya. Banyaknya variasi dan ketersediaan barang di marketplace tidak akan berpengaruh bagi kolektor berperilaku belanja rasional karena memiliki kontrol terhadap minat dan finansial.

Namun toko online berpengaruh besar terhadap individu yang berperilaku membeli impulsif maupun kompulsif, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak negatif membeli impulsif adalah pembengkakan pengeluaran dan penyesalan. Sedang membeli kompulsif yang dilatarbelakangi adanya stresor juga akan berdampak terhadap kondisi finansial, psikologis serta potensi terjerat kasus hukum. Tergantung derajat berat-ringannya kasus, diperlukan psikoterapi terhadap perilaku membeli kompulsif untuk membebaskan dari stresor yang mendasari munculnya perilaku belanja patologis (pw).

Pudji Widodo,
Sidoarjo, 20 Mei 2021 (76)

Sumber : (1), (2), (3)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun