Oleh : Pudji Widodo
Larangan mudik formal dan pendekatan budaya
Menginjak pertengahan bulan Ramadan, beberapa kali kali penulis mendengar lagu campursari "Ra mudik ra popo" dari HP isteri. Lagu bertema virus corona ini karya musisi Harry Yamba dan dinyanyikan keroyokan oleh pejabat dan tokoh masyarakat diantaranya Moeldoko dan Wiranto.Â
Rilis lagu "Ra mudik ra popo" ini mengingatkan setahun yang lalu juga muncul lagu "ora mudik" yang merupakan karya terakhir almarhum Didi Kempot.
Mudik adalah fenomena sosial budaya untuk merayakan lebaran Idul Fitri bersama keluarga besar di kampung halaman. Data tahun 2019 menunjukkan jumlah pemudik yang menggunakan angkutan umum mencapai 18,4 juta <1>.Â
PT Jasa Marga (Persero) Tbk merilis pada periode lebaran 17 - 23 Mei 2020, jumlah kendaraan yang melintas keluar wilayah Jabodetabek adalah 465.582 unit dibandingkan tahun 2019 sebesar 1,21 juta unit atau turun 62% <2>. Data ini menggambarkan pengawasan ketat berhasil menekan masyarakat untuk tunduk kepada peraturan baik dengan kesadaran maupun terpaksa "putar balik" karena ketegasan aparat.
Mobilisasi manusia dalam jumlah besar dari dan ke berbagai wilayah jelas meningkatkan resiko transmisi penyakit Covid-19. Maka, sama seperti tahun lalu, pemerintah pun menetapkan larangan mudik yang diberlakukan bagi seluruh warga masyarakat. Selain larangan mudik, pemerintah juga membatasi kegiatan berbuka puasa bersama dan melarang kegiatan Open House/Halal Bihalal bagi ASN pada Hari Raya Idul Fitri 1442 H/tahun 2021.
Segala strategi ditempuh untuk mempercepat penanggulangan pandemi. Selain jalur administrasi formal oleh pemangku kepentingan, himbauan agar tidak mudik sebagai upaya penanganan pandemi Covid 19 juga melalui pendekatan budaya.Â
Regulasi nasional dan punishment penting untuk mendisiplinkan masyarakat, namun sejak tahun lalu almarhum Didi Kempot melengkapinya dengan upaya menumbuhkan kesadaran pentingnya membatalkan niat mudik sebagai gerakan sosial. Â Namun tiga minggu setelah menuntaskan misi kemanusiaan melalui konser tanpa penonton, publik dibuat terkejut mendengar berita Didik Kempot meningal dunia pada Selasa 5 Mei 2020 Â di Solo.
Malam ini, Kamis 6 Mei 2021 Kompas TV dalam acara talk show Rosi menayangkan kembali aksi panggung sang maestro campursari dengan tajuk "mengenang satu tahun kepergian Didik Kempot. Sebagai seniman campursari, dari penggemarnya Didi Kempot mendapat julukan "The Godfather of Broken Heart". Â Sebagian besar lagu yang diciptakan Didi Kempot memang bertemakan kegagalan cinta.
Bila sakit hati lebih baik menari
Kepada penggemarnya Didik Kempot bukan hanya memberitahu cara bangkit dari kegagalan. Dia memberi contoh dan menjadikan dirinya sebagai contoh karena dirinya sudah membuktikan menaklukkan tantangan.Â
Didi Kempot merangkak dari bawah, mensyukuri talentanya dan menjualnya mulai dari menjadi pengamen  jalanan di kawasan dekat Bundaran Slipi Jakarta sebelum menjadi penyanyi terkenal. Kerasnya perjuangan penyanyi dengan nama asli Didi Prasetyo, diabadikan sebagai tambahan dalam namanya, yaitu Kempot yang adalah akronim dari "Kelompok Penyanyi Trotoar" <3>.
Didi Kempot mengajar kepada kita semua bahwa "tidak penting berapa kali kita jatuh, tetapi bagaimana kita bangkit mengatasi kegagalan". Layaknya seorang motivator, Didi Kempot membangkitkan mereka yang gagal agar tidak berhenti dalam kesedihan, namun segera mentransformasi mental agar terus berjuang meraih kemenangan terhadap berbagai problem kehidupan, termasuk dalam urusan asmara.
Itulah sebabnya tercipta lagu sedih kegagalan cinta yang anehnya dibawakan dengan iringan musik yang riang. Â Dari sanalah muncul slogan "lara ati, mending dijogeti" (dari pada sakit hati, lebih baik menari). Jalani dengan riang dan ikhlas, karena hidup terus berjalan.
Namun tidak semua nasehat Didi Kempot diikuti oleh mereka yang patah hati. Tidak seperti mereka yang tegar meskipun hatinya "ambyar" dan membentuk komunitas sobat ambyar, sedang viral berita seorang perempuan NA memilih mengirim Sate Sianida untuk mantan kekasihnya yang salah sasaran dan berujung kematian anak kesayangan tukang Ojol di Yogyakarta.Â
Dalam waktu berdekatan, seorang perawat di Malang yang luka bakar berat akibat ulah pelaku yang hingga kini belum tertangkap, mungkin juga berlatar belakang dendam. Â Â
Sukses dan gemerlap panggung tidak membuat Didi Kempot menjadi silau sehingga membuatnya tidak mampu melihat problema sosial. Sebagai orang yang pernah hidup susah, maka ketika sebagian besar warga masyarakat hidupnya sulit karena terdampak bencana wabah Covid-19, Didi Kempot bersedia menggalang donasi bagi mereka.Â
Kompas TV pun mengajak Didi Kempot menyelenggarakan konser amal virtual pada tanggal 11 April 2020. Konser ini berhasil mengumpulkan dana 7,6 M rupiah sumbangan dari para penggemarnya yang memiliki identitas "sobat ambyar". Â
Komunitas penggemarnya merupakan modal sosial bagi Didi Kempot, yang dapat dibangkitkan spirit kesetiakawanan sosial dan gotong royongnya untuk menanggulangi wabah Covid-19. Lagu campursari dipergunakan amunisi yang ditembakkan dari panggung konser Didik Kempot untuk melawan Covid-19.Â
Dari panggung konsernya Didik Kempot menghimbau masyarakat agar menahan diri untuk tidak mudik demi keselamatan individu, keluarga, masyarakat dan kelanjutan hidup berbangsa. Sungguh suatu inisiatif yang tepat sasaran di tengah suasana ibadah puasa ramadan yang relevan dengan kondisi batin yang penuh nuansa menahan diri.
Campursari dan lagu daerah yang melintas etnis dan suku
Kekuatan lagu Didi Kempot terletak pada jenis musik yang digunakan sebagai pengiring lagu yang enak didengar. Bukan hanya dangdut, campursari juga dapat menggerakkan penyukanya untuk  bersenandung dan menggoyangkan tubuh dengan riang.Â
Musik dan lagu campursari Didi Kempot membius penggemarnya, yang meliputi semua kalangan. Didik Kempot dan campursarinya diterima dengan antusias saat manggung di luar Jawa. Lagu Didik Kempot dinyanyikan biduan lokal di panggung lapangan desa maupun konser di hotel berbintang dan ajang kompetisi penyanyi di media televisi.
Hal itu tidak berbeda dengan orang jawa yang menyukai lagu Butet atau Alusia dari Batak dan lagu Tanase dari Maluku. Empat puluh tahun lalu, lagu pop jawa "Romo ono maling" ciptaan Titiek Puspa dibawakan oleh Edi Silitonga dengan bersih tanpa bias dialek bataknya dan tetap populer sampai sekarang.Â
Penyanyi produk Indonesian Idol, Yudika Sihotang pun menyenandungkan "Banyu langit" salah satu lagu karya Didik Kempot.
Setidaknya terbukti di lingkup kecil, pada para perwira yang  berasal dari berbagai daerah yang sekantor dengan saya di pangkalan maupun di kapal perang saat penulis melaksanakan tugas berlayar. Mereka mengemakan  longue room perwira dengan dendang lagu daerah. Fakta ini menggambarkan bahwa lagu daerah berpotensi menjadi simpul pengikat kebangsaan.
Lagi-lagi penulis merasa perlu membongkar kenangan penugasan di Timor Timur untuk menunjukkan relevansi lagu daerah dengan pentingnya menjaga persatuan NKRI. Berbagai kegiatan ramah tamah yang dikemas dalam bentuk "Officer Club" beberapa kali diadakan oleh Pangkalan TNI AL Dili pada tahun 1995 -- 1996 di Aula Lanal.Â
Pada kesempatan tersebut hadir perwira ABRI dari berbagai kesatuan, pejabat daerah dan tokoh masyarakat. Bagi sejawat perwira acara seperti ini berguna sebagai sarana manajemen stres di tengah kepenatan tugas di daerah operasi guna merebut dan memenangkan hati rakyat Timor Lorosae. Â
Dalam acara tersebut seluruh undangan dengan riang menyanyikan lagu Timor yang populer misalnya Bonita dan Oh Doben, segembira kita menyanyikan lagu batak Alusia dan lalu menari bersama diiriingi lagu Sajojo dari Papua, seperti sekarang ini kita bergoyang menari dengan iringan lagu "Gemu Famire" dari NTT.Â
Sebuah pesan tersirat, kita mencintai dan akan mempertahankan bumi Timor Lorosae sebagaimana kita menyintai Papua dan Sumatra dalam ikatan NKRI. Sayang pendekatan kebudayaan ini ternyata tidak diikuti dengan keberhasilan kinerja otoritas struktural daerah dalam merebut hati rakyat dan di perjuangan diplomasi. Pada akhirnya bumi Timor Lorosae harus kita relakan keluar dari ikatan NKRI karena tekanan internasional.
Realita kegagalan kita mempertahankan Timor Timur membuktikan bahwa menjadi bagian Indonesia bukanlah suatu yang "given", tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas.Â
Telah cukup banyak upaya yang telah dirumuskan dan dilakukan untuk menjaga integrasi bangsa. Kehadiran UU nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan jelas menyebutkan bahwa dari sepuluh tujuan Pemajuan kebudayaan diantaranya adalah memperkaya keberagaman budaya dan memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa.
Didik Kempot dan para pekerja seni, dari luar struktur formal telah memainkan peran strategis upaya pemajuan kebudayaan yang memperteguh integrasi bangsa. Kumandang campursari dan berbagai lagu daerah yang melintas etnis dan suku, menunjukkan potensinya sebagai perekat kebangsaan sekaligus menghargai keberagaman. Dari panggung seni, Didi Kempot ikut "mendidik" masyarakat menggelorakan upaya memajukan kebudayaan Â
Wasana kata
Almarhum Didik Kempot memberi inspirasi mengatasi kegagalan hidup dengan riang, serta menyadarkan kita bahwa popularitas tanpa makna bila hidup yang sebentar tidak berguna bagi masyarakat. Â
Didik Kempot juga jeli menangkap peluang bahwa komunitas penggemarnya adalah modal untuk membangkitkan kesetiakawanan sosial dalam penanggulangan bencana wabah Covid -19, termasuk melalui upaya tidak mudik. Menjadi catatan pula tentang peran strategis Didik Kempot bahwa popularitas lagu campursari karyanya melintas etnis, suku dan daerah lain berpotensi penting menjaga keutuhan NKRI.
Pudji Widodo,
Sidoarjo 6 Mei 2021 (74)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI