Musik dan lagu campursari Didi Kempot membius penggemarnya, yang meliputi semua kalangan. Didik Kempot dan campursarinya diterima dengan antusias saat manggung di luar Jawa. Lagu Didik Kempot dinyanyikan biduan lokal di panggung lapangan desa maupun konser di hotel berbintang dan ajang kompetisi penyanyi di media televisi.
Hal itu tidak berbeda dengan orang jawa yang menyukai lagu Butet atau Alusia dari Batak dan lagu Tanase dari Maluku. Empat puluh tahun lalu, lagu pop jawa "Romo ono maling" ciptaan Titiek Puspa dibawakan oleh Edi Silitonga dengan bersih tanpa bias dialek bataknya dan tetap populer sampai sekarang.Â
Penyanyi produk Indonesian Idol, Yudika Sihotang pun menyenandungkan "Banyu langit" salah satu lagu karya Didik Kempot.
Setidaknya terbukti di lingkup kecil, pada para perwira yang  berasal dari berbagai daerah yang sekantor dengan saya di pangkalan maupun di kapal perang saat penulis melaksanakan tugas berlayar. Mereka mengemakan  longue room perwira dengan dendang lagu daerah. Fakta ini menggambarkan bahwa lagu daerah berpotensi menjadi simpul pengikat kebangsaan.
Lagi-lagi penulis merasa perlu membongkar kenangan penugasan di Timor Timur untuk menunjukkan relevansi lagu daerah dengan pentingnya menjaga persatuan NKRI. Berbagai kegiatan ramah tamah yang dikemas dalam bentuk "Officer Club" beberapa kali diadakan oleh Pangkalan TNI AL Dili pada tahun 1995 -- 1996 di Aula Lanal.Â
Pada kesempatan tersebut hadir perwira ABRI dari berbagai kesatuan, pejabat daerah dan tokoh masyarakat. Bagi sejawat perwira acara seperti ini berguna sebagai sarana manajemen stres di tengah kepenatan tugas di daerah operasi guna merebut dan memenangkan hati rakyat Timor Lorosae. Â
Dalam acara tersebut seluruh undangan dengan riang menyanyikan lagu Timor yang populer misalnya Bonita dan Oh Doben, segembira kita menyanyikan lagu batak Alusia dan lalu menari bersama diiriingi lagu Sajojo dari Papua, seperti sekarang ini kita bergoyang menari dengan iringan lagu "Gemu Famire" dari NTT.Â
Sebuah pesan tersirat, kita mencintai dan akan mempertahankan bumi Timor Lorosae sebagaimana kita menyintai Papua dan Sumatra dalam ikatan NKRI. Sayang pendekatan kebudayaan ini ternyata tidak diikuti dengan keberhasilan kinerja otoritas struktural daerah dalam merebut hati rakyat dan di perjuangan diplomasi. Pada akhirnya bumi Timor Lorosae harus kita relakan keluar dari ikatan NKRI karena tekanan internasional.
Realita kegagalan kita mempertahankan Timor Timur membuktikan bahwa menjadi bagian Indonesia bukanlah suatu yang "given", tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas.Â
Telah cukup banyak upaya yang telah dirumuskan dan dilakukan untuk menjaga integrasi bangsa. Kehadiran UU nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan jelas menyebutkan bahwa dari sepuluh tujuan Pemajuan kebudayaan diantaranya adalah memperkaya keberagaman budaya dan memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa.
Didik Kempot dan para pekerja seni, dari luar struktur formal telah memainkan peran strategis upaya pemajuan kebudayaan yang memperteguh integrasi bangsa. Kumandang campursari dan berbagai lagu daerah yang melintas etnis dan suku, menunjukkan potensinya sebagai perekat kebangsaan sekaligus menghargai keberagaman. Dari panggung seni, Didi Kempot ikut "mendidik" masyarakat menggelorakan upaya memajukan kebudayaan Â