Mohon tunggu...
Pudji Widodo
Pudji Widodo Mohon Tunggu... Lainnya - Pemerhati Kesehatan Militer.

Satya Dharma Wira, Ada bila berarti, FK UNDIP.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Meneguhkan Eksistensi Bakamla dan Interoperabilitas Pertahanan Tri Matra Terpadu

9 Januari 2020   05:51 Diperbarui: 9 Januari 2020   07:05 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meneguhkan Eksistensi Bakamla dan Interoperabilitas Pertahanan Tri Matra Terpadu Guna Mewujudkan Indonesia Poros Maritim Dunia 

Oleh : Pudji Widodo

Indonesia poros maritim dumia

Mengawali kepemimpinannya usai dilantik sebagai Presiden terpilih periode 2014 -- 2019, Joko Widodo menyampaikan pidato yang diantaranya berupa ajakan agar kita hadir di antara bangsa-bangsa dengan kehormatan, martabat dan harga diri serta menyadari peradaban kita sebagai negara maritim.. Ajakan tersebut diikuti dengan penhgakuan bahwa : "Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudera, memunggungi selat dan teluk". (nasional.kompas.com 20 Oktober 2014). Sedang pada pidato politik perdana usai ditetapkan KPU sebagai presiden terpilih, Joko Widodo mengingatkan agar bangsa Indonesia sanggup bertahan menghadapi tantangan dan berkembang menjadi Poros Maritim Dunia (nasional kompas.com 22 Juli 2014). 

Indonesia sebagai poros maritim dunia menjadi prioritas pertama dari Sembilan Agenda Prioritas Nawa Cita Kabinet Kerja. Deskripsi prioritas pertama Nawa Cita tersebut adalah menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.. Selain menjadi agenda nasional, poros maritim dunia juga dikumandangkan Presiden Joko Widodo dalam forum KTT Asia Timur di Naypyidaw, Myianmar pada 13 November 2015. 

Kini pada masa periode kedua pemerintahan Joko Widodo, upaya mewujudkan negara maritim yang melindungi segenap bangsa dan memberi rasa aman kepada seluruh warga negara itu diuji dengan permasalahan klaim hak berdaulat di Zona Ekonomi Ekskusif kawasan Natuna. 

Setelah kurun waktu yang relatif tenang dari gangguan illegal fishing terkait kebijakan "tenggelamkan kapal ikan asing (KIA)" yang dimotori Menteri Kelautan dan Perikanan Susy Pudjiastuti, kini kembali terulang penetrasi kapal ikan asing dan kapal Coast Guard Tiongkok ke dalam wilayah ZEE Indonesia pada akhir tahun 2019. 

Problem keamanan laut semakin lengkap dengan terulangnya kembali penculikan dan penyanderaan warga negara RI oleh kelompok separatis Abu Sayyaf Filipina pada September 2019. 

Di sisi lain, insiden Kapal Asing di Natuna  memberi dampak positif menggemanya publikasi dan wacana tentang tugas dan peran Badan Keamanan Laut (Bakamla). Konsep penyelenggaraan keamanan laut negara maritim ternyata belum tuntas pada periode Kabinet Kerja. 

Bakamla dibentuk sesuai amanat UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan dan Perpres Nomor 178/2014 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Desember 2014. Namun baru pada periode pemerintahan Joko Widodo yang kedua, sebagaimana disampaikan oleh Menko Maritim yang dirilis money.kompas.com 7 Januari 2010 bahwa melalui mekanisme Omnibus Law RUU Keamanan Laut akan menyatukan semua kewenangan Coast Guard menjadi tugas Bakamla. 

Salah satu kapal patroli Bakamla (sumber bakamla.go.id)
Salah satu kapal patroli Bakamla (sumber bakamla.go.id)

Konsep tunggal keamanan laut dan Bakamla

Sebagai Indonesia Coast Guard, Bakamla memiliki sedikitnya tiga kewenangan yaitu penjaga keselamatan laut (maritime safety), penjaga keamanan laut (maritime security) dan komponen cadangan (komcad) pertahanan dalam aspek maritim (maritime defence). 

Di Indonesia terdapat 13 lembaga penegak hukum di laut yang 6 diantaranya memiliki satuan tugas patroli laut. Lembaga penegak hukum di Indonesia selain Bakamla yang memiliki satgas patroli laut adalah TNI AL, Direktorat Kepolisian Perairan Polri, KPLP Ditjen Perhubungan Laut Kemenhub, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Ditjen Bea Cukai Kemenkeu. 

Para pemangku kepentingan penegak hukum di laut ini melaksanakan patroli di laut secara sektoral, sesuai kewenangan yang dimiliki berdasarkan undang-undang (Ahmad Taufiqoerrochman, 2019 : 309 -310).

Sejak diberlakukannya International Ship and Port Facility (ISPS) Code tahun 2004 sebagai hasil amandemen konvensi Safety of Life at Sea (SOLAS), seluruh negara pengguna laut telah diminta mengatur penyelengaraan keamanan bagi keselamatan kapal, pelabuhan dan lembaga pemerintah. Implementasi kode ISPS oleh berbagai negara diwujudkan dengan pembentukan lembaga Coast Guard (penjaga pantai). 

Dalam konteks Indonesia, Presiden RI telah membentuk Bakamla sesuai amanat UU Nomor 32 tahun 2014 pasal 59. Terdapat persoalan relasi antar lembaga penegak hukum di laut yang terjadi pada era Badan Koordinasi Keamanan laut (Bakorkamla) baik kooperatif maupun kompetitif karena tumpah tindih kepentingan (Dedi Dinarto 2019 : 15) yang seharusnya tidak terjadi lagi setelah pembentukan Bakamla. 

Berbeda dengan Bakorkamla yang merupakan organisasi koordinasi, Bakamla menurut Ahmad Taufiqoerrochman selaku Kabakamla bukan lagi organisasi administrasi atau pembinaan, tetapi adalah organisasi operasional yang memiliki kewenangan komando dan pengendalian agar tidak ada lagi tumpang tindih peran menjaga keamanan dan keselamatan maritim. 

Adanya multiinterpretasi berbagai aktor keamanan maritim nasional, menimbulkan implementasi konsep keamanan maritim sesuai dengan kepentingannya. 

Deni Indarto mengemukakan bahwa penggunaan konsep keamanan maritim di berbagai bidang baik hankam, industri pelayaran, hukum dan lembaga pemerintah telah menimbulkan pluralitas dalam memahami keamanan maritim akibat tidak adanya konsep tunggal keamanan maritim (Deni Indarto 2019 : 3). 

Sedang di tataran global, meningkatnya isu keamanan maritim di jalur perairan internasional (Sea Lanes of Communication, SLOC) sejalan dengan meningkatnya perdagangan melalui laut.. 

Konsep keamanan maritim pun bergeser, bukan hanya menggunakan instrumen militer saja sebagai agresi laut, yang mengancam kedaulatan negara, namun bervariasi dari persoalan kelestarian alam, jalur perdaganganan, pemberantasan aksi ilegal di laut dan kejahatan transnasional melalui laut (Suryo Wibisono 2019 : 86).

Buku Putih Pertahanan RI menyebutkan keamanan maritim bukan hanya penegakaan hukum di laut semata, keamanan di laut dalam arti luas adalah laut yang aman bagi pengguna dan bebas dari ancaman terhadap berbagai aktifitas penggunaan dan pemanfaatan laut berupa kekerasan militer dan nonmiliter, keselamatan pelayaran, perusakan dan pencemaran ekosistem laut dan berbagai pelanggaran hukum nasional maupun internasional. 

Berdasarkan deskripsi dari Buku Putih Pertahanan RI, menurut penulis untuk mengatasi keseluruhan bentuk ancaman maritim tersebut, telah terakomodasi dalam tugas yang diemban Bakamla yang dirancang sebagai "single agency multi task" dalam aspek keselamatan dan keamanan maritim, yang bahkan dilengkapi tugas sebagai komcad pertahanan.

Alasan pembentukan Bakamla tercantum dalam pasal 59 ayat (3) UU Nomor 32/2014 .yaitu bahwa " Dalam rangka penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi, khususnya dalam melaksanakan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia dibentuk Badan Keamanan Laut".. 

Tugas Bakamla tercantum dalam pasal 61 yang juga menjelaskan wilayah tugas operas yang diberikan kepada Bakamla adalah di semua zona perairan Indonesia dan perairan yurisdiksinya (wilayah kedaulatan dan berdaulat) meliputi perairan pedalaman,perairan kepulauan, laut teritorial, zona tambahan, Zona Ekonomi Ekslusif, hingga ke landas kontinen 200 sampai 350 Nm. Dengan demikian diantara berbagai instansi kemaritiman hanya Bakamla yang wilayah tugas operasinya sama dengan wilayah tugas TNI AL.

Pertahanan tri matra  terpadu

Insiden masuknya kapal China Coast Guard (CCG) mengawal kapal penangkap ikan masuk ZEE Indonesia pada 30 Desember 2019, melengkapi riwayat perbedaan pandangan tentang klaim wilayah yurisdiksi Indonesia dengan Tiongkok terkait laut Natuna. Sepanjang tahun 2016 sedikitnya terjadi tiga kali insiden di Natuna.

Pada tanggal 19 Maret 2016 kapal CCG mempersulit kapal KKP KP Hiu 11 yang akan menangkap kapal penangkap ikan China KM Kway Fey 10078 yang melanggar batas ZEE Indonesia. Pada 27 Mei 2016 KRI Oswald Siahaan (OWA) 354 mengejar dan menangkap kapal China Guy Bei Yu karena memasuki ZEE Indonesia, setelah sebelumnya melakukan prosedur tembakan peringatan. Saat insiden ini berlangsung, diketahui kapal CCG juga melakukan pengawasan (m.cnnindonesia.com 21 Juni 2016). 

Selanjutnya insiden penangkapan kapal ikan asing KIA berbendera China Han Tan Tan Cou KRI Imam Bonjol (IBL) 383 pada tanggal 17 Juni 2016. 

Perburuan KIA ini berlangsung dramatis karena kapal CCG selain meminta agar KIA Han Tan Cou dilepaskan juga melakukan manuver memotong haluan KRI IBL 383 yang membahayakan olah gerak KRI IBL 383 (nasional.kompas.com 21 Juni 2016). 

Insiden KIA di kawasan Natuna menjadikan hal tersebut sebagai isu perbatasan utama terkait dengan klaim historis Tiongkok yang beririsan dengan wilayah ZEE Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kompleksitas isu Laut Tiongkok Selatan (LTS) yang dipicu perubahan tatanan dunia dengan menguatnya Tiongkok sebagai hegemoni baru di bidang ekonomi yang berupaya memperluas pengaruh dengan meneguhkan kehadirannya melaui pembangunan pangkalan militer. Mudah diduga motif ekonomi dan pertumbuhan industri ,menuntut kebutuhan energi yang besar dan sumber energi tersebut berada di kawasan LTS yang kaya minyak bumi dan gas. Konflik kepentingan ini secara faktual menghadapkan Tiongkok dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, Brunei dan Taiwan dalam hal penguasaan kepulauan Sprartly, serta dengan Vietnam dan Taiwan dalam penguasaaan kepulauan Paracel. Secara sepihak Tiongkok menetapkan Nine Dashed Line Zone, yang mengambil semua wilayah ZEE negara-negara ASEAN yang sah menurut regulasi internasional UNCLOS. 

Klaim nine dashed line Tiongkok di wilayah ZEE Indonesia kawasan Laut Natuna Utara (sumber detik.com 8/1/2020)
Klaim nine dashed line Tiongkok di wilayah ZEE Indonesia kawasan Laut Natuna Utara (sumber detik.com 8/1/2020)

Provokasi Tiongkok bukan hanya klaim wilayah, namun juga pengakuan bahwa wilayah tersebut sebagai area “traditional fishing ground”, di mana nelayan Tiongkok sah dapat menangkap ikan di kawasan tersebut. Alasan itu pula yang dipakai CCG dalam mengawal kapal penangkap ikan Tiongkok masuk ZEE Indonesia. 

Dari rangkaian insiden pelanggaran ZEE sejak 2016 dan 2019 tersebut sangat mungkin penetrasi KIA China dengan pengawalan CCG merupakan kegiatan yang sistematis dilaksanakan oleh pemerintah Tiongkok dan menurut penulis bukan semata-mata kesalahpahaman sebagaimana diungkap oleh Sekretaris kabinet Pramono Anung pada 13 April 2016.

Perkembangan lingkungan strategis di kawasan LTS mendorong Indonesia juga harus siap terlibat konflik kepentingan dengan Tiongkok. Setidaknya hal itu terbaca dari sikap resisiten Tiongkok saat Indonesia mengumumkan peta baru Indonesia yang mencantumkan nama Laut Natuna Utara pada Juli 2017. 

Tidak berlebihan bila dari berbagai kepentingan strategis diantaranya untuk mengantisipasi kepentingan adanya ancaman faktual pelanggaran wilayah kedaulatan RI, Mabes TNI pada tanggal 18 Desember 2108 resmi mendirikan Satuan TNI Terintegrasi. 

Satuan TNI Terintegrasi merupakan Pangkalan TNI Terpadu dalam Komando Gabungan Wilyah Pertahanan (Kogabwilhan) yang menyusul organisasinya resmi berdiri dan tercantum dalam Perpres RI Nomor 66 tahun 2019 tentang Susunan Organisasi TNI. Pembangunan kekuatan TNI terpadu tersebut diharapkan dapat memberikan efek penggentar terhadap ancaman perbatasan.

Satuan TNI Terintegrasi sebagai kekuatan tri matra terpadu saat ini terdiri dari Batalyon Komposit TNI AD yang diperkuat Kompi Zeni Tempur, Baterai Rudal Artileri Pertahanan Udara dan Baterai Artileri Medan, Pangkalan TNI AL Ranai, unsur kapal perang TNI AL, Kompi Marinir, fasilitas pelabuhan dan Pangkalan TNI AU yang dilengkapi hanggar dan Satuan Radar.

 Untuk personel pengawak organisasi tentu saja disiapkan akomodasi asrama serta fasilitas pembinaan kesehatan rumah sakit integrasi. 

Namun apakah gelar kekuatan tri matra terpadu tersebut sudah memadai untuk menghadapi kualitas dan kuantitas ancaman yang bukan hanya potensial tetapi faktual “pencuri” sumber daya alam Indonesia itu sudah masuk di halaman rumah kedaulatan Indonesia ?

Pangkogabwilhan I Laksdya TNI Yudo Margono memimpin apel pasukan TNI Tri Matra pengamanan Laut Natuna di Ranai, Natuna( foto kompas.com)
Pangkogabwilhan I Laksdya TNI Yudo Margono memimpin apel pasukan TNI Tri Matra pengamanan Laut Natuna di Ranai, Natuna( foto kompas.com)

Sebagai institusi baru, Bakamla menurut Achmad Taufiqurrochman memiliki empat masalah yang mempengaruhi eksistensi dan operasional Bakamla, yaitu konsep operasi maritim, susunan bertempur, manajemen logisitk dan personel (Achmad Taufiqoerrochman, 2019 : 310). Kendala ini bisa diatasi dengan peran serta unsur-unsur kapal perang TNI AL. 

Interoperabilitas Bakamla bersama TNI AL bukan tanpa dasar, seluruh angkatan laut di semua negara secara universal menganut Teori Kent Booth, yaitu trinitas peran Angkatan laut yang meliputi peran diplomasi, militer dan constabulary (polisionil). Jadi keterbatasan kemampuan operasional Bakamla masih bisa ditutup dengan partisipasi unsur kapal perang TNI AL. 

Masalahnya, apabila interoperabilitas ini konsisten dilaksanakan, seberapa jauh kemampuan menjaga kontinyuitas keberlangsungan siaga operasi atau tingkat kehadiran unsur kapal patroli Indonesia di wilayah rawan sengketa perbatasan?

Di tengah keterbatasan kekuatan alutsista masih pada taraf memenuhi kebutuhan sampai Minimum Essential Force, pembentukan satuan terintegrasi merupakan upaya gelar kekuatan yang efektif dan efisien.

Menyusun gelar unsur operasional di Pangkalan Aju dan daerah operasi tentu tidak sulit, yang menjadi masalah adalah pasokan logistik bagi unsur kapal patroli yang bertugas terus menerus hadir di laut akan menguras beaya operasional. 

Kecukupan pasokan bahan bakar merupakan faktor penting dalam menjamin kesiapsiagaan tugas operasi alutsista TNI khususnya kapal perang TNI AL.. 

Pada tahun 2017 piutang pengadaan bahan bakar untuk TNI Rp. 10 T belum dibayar sejak 2014 (bisnis.tempo.co 17 Juni 2017), pada tahun 2014 dari total kebutuhan 5,6 juta kiloliter pertahun, terdukung hanya 13% yang cukup hanya untuk 7 -15 kapal dari 60 – 70 kapal yang siap operasi (nasional.kompas.com 17/11/2017). 

Maka sebagaimana interoperabilitas internal TNI, interoperabilitas antara TNI AL dan Bakamla juga akan menghadapi kendala yang sama saat melaksanakan tugas bersama di kawasan rawan, yaitu ketersediaan logistik  bahan bakar yang memadai.

Wasana Kata
Respon pemerintah RI melalui Kementerian Luar Negeri yang mengirim nota protes kepada Pemerintah Tiongkok atas masuknya KIA dengan pengawalan CCG di ZEE Indonesia Laut Natuna Utara adalah bagian dari fungsi diplomasi. 

Berbagai forum internasional dapat dimanfaatkan untuk melakukan diplomasi maritim baik oleh Kemenlu, TNI AL maupun Bakamla. Namun diplomasi maritim juga harus didukung dengan kapabilitas Bakamla sebagai Coast Guard maupun kapabilitas militer TNI AL. 

Diplomasi maritim tanpa peningkatan kapabilitas Bakamla sebagai Coast Guard dan kapabilitas militer TNI AL melaui interoperabilitas pengendalian laut pada masa damai maupun perang, hanya akan membuat Indonesia bak "macan ompong" di tengah dinamika lingkungan strategis.

Maka penguatan Bakamla sebagai badan Coast Guard di bawah Presiden, bukan hanya amanat Undang Undang, namun jelas terbukti sebagai kebutuhan sesuai perkembangan lingkungan strategis. Untuk itu diperlukan :

a. Dukungan prioritas percepatan  penerbitan UU Keamanan Laut dalam prolegnas dan mekanisme Omnibus Law terkait adanya 24 UU penanganan laut yang tumpang tindih.
b. Penambahan alutsista berupa kapal patroli dengan kemampuan yang sesuai wilayah operasi melalui pengadaan maupun hibah dari intitusi kemaritiman yang lain.
c. Pemerintah dan DPR agar memprioritaskan pengadaan kapal patroli untuk Bakamla, membatasi penggadaan hanya untuk mengganti kapal dan bukan menambah kekuatan jumlah kapal  yang sudah ada milik  institusi pelaku fungsi kemaritiman lainnya (kecuali TNI AL). Adanya permintaan dan usulan agar BNN juga mempunyai kapal patroli (m.republika.co.id 5/2/2018) adalah berlebihan karena peran pencegahan penyelundupan narkoba melalui laut bisa diampu oleh institusi kemaritiman yang sudah ada, termasuk oleh Bakamla.
d. Likuidasi KPLP Kemenhub dan digabungkan menjadi unsur Bakamla.
e. Memperkuat interoperabilitas dengan TNI AL dan TNI AU termasuk penggunaan pesawat terbang patroli maritim.
f. Koordinasi dengan pemangku kepentingan lain untuk mengatasi kekurangan personel, khususnya penyidik baik dari KKP, Bea Cukai, Imigrasi dan Polair. Personel tersebut dapat ditugasi dengan kala waktu 90 hari sesuai pagu penugasan dengan pemberian kesejahteraan penganugerahan satyalencana militer tugas operasi perbatasan atau pengamanan pulau terluar dalam kapasitas sebagai komponen cadangan pertahanan.
g. Bakamla memiliki lembaga pendidikan dan latihan mandiri untuk pengadaan personel berkualifikasi paramiliter maritim.
 
Mungkin benar bahwa adanya jeda penurunan pelanggaran KIA di Natuna terkait kebijakan tegas penenggelaman KIA yang pernah diberlakukan pada masa Kabinet Kerja.  

Namun masuknya kembali KIA Tiongkok dengan pengawalan CCG di kawasan ZEE Indonesia, mungkin merupakan test case bagi pemerintahan Kabinet Indonesia Maju, dalam upaya menjamin keamanan maritim.

 Apapun motivasi Tiongkok dan negara lain dalam dinamika lingkungan strategis kawasan, penguatan Bakamla sebagai Coast Guard dan interoperabilitas bersama kekuatan TNI diperlukan untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia, yaitu negara maritim yang berdaulat, memiliki martabat dan harga diri, kuat serta mampu memberikan kontribusi positif bagi perdamaian kawasan dan dunia sesuai dengan kepentingan nasional.


Pudji Widodo, untuk Kapal Asing di Natuna, Kompasiana..


Sumber :
1)Kompas.com 20 Juli 2014
2)Kompas.com  20 Oktober 2014
3) CNN Indonesia, 21 juni 2016
4)Kompas.com 21 Juni 2016.
5)Tempo.co 17 Juni 2017
6)Kompas.com 17 November 2017
7)Republika.co.id, 5 Pebruari 2018
8)Taufiqoerrochman, Achmad : “Kepemimpinan Maritim, Sebuah Memoar”, Pandiva Buku, Yogyakarta, 2019.
9)Loy, Nikolaus dkk : “Mengamankan Laut, Tata Ruang dan Keamanan Maritim”, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta 2019.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun