Akumulasi semua faktor penanganan Covid-19 untuk individu dan publik tersebut lebih sulit, lebih rumit dan lebih mahal dibanding upaya pencegahan penyakit DM. Â Penatalaksanaan penyakit DM dimulai dari pencegahan yang dominan lebih kepada melakukan gaya hidup sehat, mengatur pola makan dan konsumsi Gula-Garam-Lemak serta mencegah obesitas. Hal ini perlu ditekankan terhadap penderita DM dalam forum Komunikasi; Informasi dan Edukasi.
Harus diakui bahwa Covid-19 telah membuat Sistem Kesehatan Nasional yang terakhir direvisi tahun 2012 tampak kedodoran. Lemahnya hampir semua subsektor yang mempengaruhi pelayanan kesehatan selama pandemi Covid-19, mendorong Kemenkes RI menetapkan transformasi di semua lini pembangunan sektor kesehatan yang komprehensif.Â
Pengendalian konsumsi makanan/minuman manis adalah bagian dari langkah nyata transformasi kesehatan aspek preventif dan promotif. Oleh karena itu, selain menetapkan batas maksimum kandungan gula, Pemerintah Pusat juga menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu.
Pengenaan cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) diatur dalam Pasal 4 ayat 2 Undang-undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan Pasal 194 ayat 5 PP Nomor 28 Tahun 2024. Ketentuan cukai MBDK akan dilaksanakan pada Semester-2 tahun 2025.
Kesadaran membatasi konsumsi gula
Penanggulangan Pandemi Covid-19 telah menyita sebagian besar masa tugas Pemerintah Kabinet Indonesia Maju. Belum pernah ada penanggulangan bencana penyakit di Indonesia serumit penanganan pandemi Covid-19.
Komparasi penanggulangan pandemi Covid-19 dapat menjadi pembelajaran dalam pencegahan penyakit DM. Penanganan diabetes sebagai penyakit tidak menular dalam koridor kesehatan komunitas, tidak serumit penanggulangan Covid-19.
Yang diperlukan adalah tumbuhnya kesadaran individu dan komunitas agar tidak menjadi kontributor peningkatan prevalensi DM. Kesadaran kolektif diperlukan mengingat potensi jumlah penderita DM mencapai 14% dari perkiraan penduduk usia produktif pada Indonesia Emas 2045.
Namun seperti tumbuhnya kesadaran warga kepada protokol kesehatan Covid-19 karena tegasnya penegakan ketentuan, maka wajar bila pemerintah menetapkan penerapan cukai MBDK untuk memaksa tumbuhnya kesadaran mencegah peningkatan prevalensi DM di Indonesia.
Memang telah dihitung potensi penerimaan cukai dari minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) dan tercantum dalam APBN 2025 mencapai Rp3,2 triliun. Namun tujuan utama pengenaan cukai MBDK bukan untuk menambah penerimaan negara, tetapi untuk mengurangi konsumsi gula tambahan yang memicu diabetes dan obesitas.
Terakhir, tulisan ini mengingatkan bahwa kegagalan mencegah meningkatnya prevalensi Diabetes Melitus dapat menggerus keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Balita yang lolos dari ancaman stunting sejak dari dalam kandungan ibunya dan anak-remaja yang semula bertumbuh kembang normal, akan  berada dalam kepungan MBDK.
Bila mereka tak mampu keluar dari jebakan MBDK, kasus malnutrisi Obesitas dan DM tipe-2 akan terus meningkat dengan segala akibatnya. Efek domino kemudian di antaranya adalah peningkatan kasus penyakit jantung dan stroke pada usia produktif serta penyulit pemberantasan penyakit infeksi; termasuk tuberkulosis paru.
Mari kita berusaha tidak menjadi kontributor peningkatan prevalensi penyakit Diabetes.
Kita memiliki pengalaman ketangguhan mengalahkan pandemi Covid, seharusnya mengendalikan penyakit gula tidak sulit.