Pendahuluan
Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020 oleh organisasi kesehatan dunia WHO. Wabah ini telah menyebar ke berbagai negara di dunia dan wabah tersebut masih bertambah hingga saat ini. Virus Covid-19 ini sangat berpengaruh pada berbagai bidang. Karena penyebaran virus tersebut, pemerintah Indonesia menerapkan berbagai kebijakan guna memutus rantai penyebaran virus Covid-19. Salah satu kebijakannya, yakni dengan menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) (Sari & Siswanto, 2021: 172). Dengan keadaan seperti ini, seluruh kegiatan yang dilakukan di luar rumah pun dibatasi bahkan ada yang dihentikan, salah satunya kegiatan di bidang pendidikan formal.
Mengikuti kebijakan pemerintah pusat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) pun mengeluarkan kebijakan yang menyesuaikan dengan pemerintah pusat. Pemerintah merubah kurikulum pendidikan formal menjadi kurikulum darurat. Salah satu kebijakannya ialah megganti metode belajar mengajar. Kegiatan belajar mengajar yang mulanya secara konvesional dengan tatap muka, akibat adanya kebijakan PSBB menjadi beralih ke metode daring yang dilakukan di rumah masing-masing.
Pembelajaran secara daring ini memanfaatkan adanya internet dan juga teknologi multimedia. Hal ini dimudahkan dengan perkembangan era digital 4.0 dalam bertransformasi dari pendidikan formal konvensional menjadi pendidikan yang dilakukan secara daring (Gusty, dkk, 2020). Namun, hal tersebut menjadi tantangan mengingat Indonesia masih belum maksimal dalam penggunaan teknologi. Karena semua pihak baik tenaga pengajar maupun peserta didik dituntut untuk mempersiapkan diri dalam kegiatan pembelajaran. Tenaga pendidik pun dituntut untuk lebih kreatif untuk menciptakan suasana dan metode belajar yang menyenangkan agar peserta didik tidak bosan (Tafonao & Saputra, 2021). Media pembelajaran yang digunakan pun beragam, seperti Google Classroom, WhatsApp Group, Zoom Meeting, Google Classmeet, Microsoft Teams, dll.
Selain terdapat tantangan dalam pembelajaran daring, kita harus mampu untuk keluar dari zona ini untuk beradaptasi. Caranya dengan mengoptimalkan teknologi yang ada dan menjadikan teknologi tersebut sebagai peluang untuk melewati tantangan yang ada. Dalam tulisan kali ini, penulis akan menjelaskan tantangan dan peluang pembelajaran daring dilihat dari pendapat Michael W. Apple, seorang ahli pendidikan Amerika.
Tantangan Belajar Daring
Berdasarkan penjelasan di atas, pandemi ini merupakan penyebab dari transformasi metode belajar mengajar. Kondisi seperti ini memaksa kita untuk melakukan segala sesuatu dengan memanfaatkan teknologi yang sudah tersedia. Pembelajaran daring ini menjadi situasi baru dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan formal yang pasti kita mengalami kebingungan dan juga kerepotan.
Adapun tantangan dalam pembelajaran daring. Salah satunya, yakni keterbatasan dalam kepemilikan fasilitas untuk menunjang kelancaran pembelajaran daring. Pembelajaran daring ialah pembelajaran yang dilakukakn dari jarak jauh dengan menggunakan internet dan alat penunjang seperti laptop atau smartphone. Namun, fasilitas ini tidak dimiliki oleh semua guru dan juga peserta didik. Sehingga belum maksimal dalam pelaksanaan pembelajaran daring ini.
Tantangan selanjutnya ialah kurangnya penguasaan di bidang teknologi dan komunikasi. Kegiatan belajar daring ini akan optimal apabila didukung oleh adanya kecakapan guru di bidang TIK ini. Namun, kecakapan tersebut belum dapat digunakan secara maksimal mengingat masih banyaknya guru yang belum menguasai TIK (Sari & Siswanto, 2021: 173).
Munculnya rasa bosan ketika belajar daring pun menjadi salah satu tantangan. Ketika pembelajaran berlangsung lama dan terus menerus, rasa bosan dan mengantuk pun akan muncul. Kejenuhan yang tidak segera diatasi dapat menyebabkan tingkat optimal dalam belajar menjadi tidak optimal (Indrawati, 2020).
Peluang dari Belajar Daring
Dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan. Teknologi yang semakin canggih ini dapat memberikan kita peluang dan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Adanya kegiatan webinar-webinar dapat memberikan kita pengetahuan yang lebih. Dan juga dapat mengasah kemampuan kita dalam memanfaatkan teknologi.
Menghasilkan pembelajaran yang menarik menjadi salah satu contoh peluang dari pembelajaran daring. Guru dituntut menjadi lebih kreatif dalam membuat kegiatan belajar menjadi lebih menyenangkan dengan memilih metode dan sumber pembelajaran yang efektif dan menyenangkan pula (Badrun & Syaifudin, 2020: 148). Guru juga dapat menggunakan aplikasi YouTube untuk mencari referensi cara mengajar (Tafonao & Saputra, 2021), dalam membuat materi belajar agar peserta didik tidak jenuh saat membacanya, dll.
Pengajar dan peserta didik dapat mengatur waktu pembelajaran sehingga menjadi lebih fleksibel. Waktu pembelajaran dapat dipersingkat jika ada pertemuan tatap maya seperti misalnya menggunakan media Zoom Meeting. Mempersingkat tatap maya sebagai pencegahan peserta didik menjadi bosan sehingga bisa saja materi yang disampaikan oleh guru justru tidak dihiraukan.
Dehumanisasi Belajar Daring Dalam Pandangan Freire
Sekolah pada era pandemi ini dianggap sebagai formalitas kewajiban saja, mirisnya belajar daring harus dilakukan siswa tanpa adanya rasa kemanusiaan dan sosialisasi yang guru berikan pun minim karena keterbatasan media dan rendahnya pemahaman literasi digital hanya membuat dehumanisasi dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran secara daring terbatas pada proses pembelajaran yang satu arah sehingga menjadikan siswa sebagai objek. Dengan waktu yang terbatas juga yang membuat siswa seperti hanya diberikan perintah untuk mengikuti kemauan sang guru, baik ketika pembelajaran maupun pengerjaan tugas.
Dalam hal ini, Freire mengkritik sistem pendidikan seperti ini yang disebutnya sebagai pendidikan gaya bank. Maksudnya adalah pendidikan yang seakan-akan hanyalah seperti proses menabung. Guru sebagai nasabah dan murid yang menjadi tempat penyimpanan uangnya (brankas). Seharusnya materi menjadi pancingan untuk siswa agar menjadi aktif dan kritis, justru malah membuat siswa menjadi terbebani. Mengapa demikian? Karena siswa diharuskan untuk menghafal materi tanpa memberikan siswa kebebasan untuk mengembangkan potensi di dalam dirinya.
Dalam sistem pendidikan gaya bank, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang merepresentasikan siswa sebagai kaum yang tertindas:
- Guru mengajar, murid belajar;
- Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa;
- Guru berpikir, murid dipikirkan;
- Guru bercerita, murid mendengarkan;
- Guru menentukan peraturan, murid diatur;
- Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui;
- Guru berbuat, murid membayangkan;
- Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan;
- Guru mencampur kewenangan ilmu pengetahuan dan jabatan untuk menghalangi kebebasan murid;
- Guru sebagai subyek, murid sebagai obyek.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa guru sebagai sosok sentral yang menjadi role model yang akan diikuti para siswa. Apapun perintah guru akan dianggap benar dan harus dipatuhi. Dengan keadaan dan situasi seperti itu secara terus menerus, akan membatasi bahkan mematikan proses berpikir kritis, dan mengurangi keaktifan siswa di dalam kelas. Hal tersebut dapat membuat siswa menjadi tidak dapat berpikir kritis, tidak aktif, dan membuat siswa memiliki kesan penurut yang tidak berkarakter.
Freire dalam Syari’at (1996: 48) (Arta, 2021) menyatakan bahwa manusia sejati merupakan manusia yang bebas. Maksudnya adalah manusia yang mampu menjadi subyek bukan hanya sebagai obyek yang menerima segala sesuatunya dari pihak lain. Freire juga berpendapat bahwa pendidikan sebagai jalur untuk menuju ke meningkatnya kualitas baik dari segi intelektual maupun potensi dalam diri. Dengan sistem pendidikan dua arah, dan membiarkan siswa dapat bertindak aktif, terlibat langsusng dalam permasalahan yang nyata, maka pendidikan yang humanis akan menimbulkan kesadaran dari rasa takut di dalam dirinya. Dapat dikatakan sebagai langkah awal pendidikan yang humanis, yaitu dengan penyadaran. Dengan demikian, pembelajaran tidak hanya sebagai pen-transfer-an ilmu pengetahuan saja, tetapi juga menciptakan pendidikan yang berkarakter.
Penutup
Covid-19 telah membatasi pergerakan masyarakat untuk berkegiatan di luar rumah, termasuk untuk bersekolah. Sehingga pendidikan formal dengan cara konvensional diganti dengan cara belajar daring. Masih banyaknya siswa yang tidak dapat mengikuti pembelajaran daring secara optimal dengan berbagai alasan. Namun, keterbatasan ini tidak hanya menimbulkan tantangan melainkan juga menimbulkan peluang. Penulis menyarankan agar guru dan peserta didik dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan sebaik-baiknya. Dan penulis juga menyarankan kepada pemerintah untuk tetap menyalurkan bantuan kuota belajar secara merata dan memprioritaskan yang lebih membutuhkan.
Daftar Pustaka
Buku:
Badrun, U. dan Syaifudin. 2020. Pengantar Pendidikan Sosiologi (Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi). Jakarta: Labpendsos UNJ.
Gusty, Sri, dkk. 2020. Belajar Mandiri: Pembelajaran Daring di Tengah Pandemi Covid-19. Medan: Yayasan Kita Menulis.
Hidayat, Rakhmat. 2011. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Depok: Rajawali Pers.
Sari. Dian R. dan Achmad Siswanto. 2021. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Labpendsos UNJ.
Jurnal:
Arta, I Gede A. J. 2021. Digitalisasi Pendidikan: Dilematisasi dan Dehumanisasi Dalam Pembelajaran Daring Perspektif Filsafat Paulo Freire. Prosiding Webinar Nasional IAHN-TP Palangka Raya, (3).
Indrawati, Budi. 2020. Tantangan dan Peluang Pendidikan Tinggi dalam Masa dan Pasca Pandemi Covid-19. Jurnal Kajian Ilmiah, (1).
Putria, Hilna, Luthfi H.M, dan Din A.U. 2020. Analisis Proses Pembelajaran Dalam Jaringan (Daring) Masa Pandemi Covid-19 pada Guru Sekolah Dasar. Jurnal Basicedu, 4(4).
Tafonao, T. dan Sion Saputra. 2021. Teknologi dan Covid: Tantangan dan Peluang dalam Melaksanakan Pembelajaran Daring di Masa Pandemi. Journal of Information Technology Research, 2(1).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H