Mohon tunggu...
Putri Amanda Pratiwi
Putri Amanda Pratiwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi FIS UNJ

Pendidikan Sosiologi 2020

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pembelajaran Daring sebagai Dehumanisasi Dalam Pandangan Paulo Freire

19 Desember 2022   20:02 Diperbarui: 19 Desember 2022   20:08 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Dapat meningkatkan kemampuan dan pengetahuan. Teknologi yang semakin canggih ini dapat memberikan kita peluang dan kemudahan dalam kehidupan sehari-hari. Adanya kegiatan webinar-webinar dapat memberikan kita pengetahuan yang lebih. Dan juga dapat mengasah kemampuan kita dalam memanfaatkan teknologi.

Menghasilkan pembelajaran yang menarik menjadi salah satu contoh peluang dari pembelajaran daring. Guru dituntut menjadi lebih kreatif dalam membuat kegiatan belajar menjadi lebih menyenangkan dengan memilih metode dan sumber pembelajaran yang efektif dan menyenangkan pula (Badrun & Syaifudin, 2020: 148). Guru juga dapat menggunakan aplikasi YouTube untuk mencari referensi cara mengajar (Tafonao & Saputra, 2021), dalam membuat materi belajar agar peserta didik tidak jenuh saat membacanya, dll.

Pengajar dan peserta didik dapat mengatur waktu pembelajaran sehingga menjadi lebih fleksibel. Waktu pembelajaran dapat dipersingkat jika ada pertemuan tatap maya seperti misalnya menggunakan media Zoom Meeting. Mempersingkat tatap maya sebagai pencegahan peserta didik menjadi bosan sehingga bisa saja materi yang disampaikan oleh guru justru tidak dihiraukan.

Dehumanisasi Belajar Daring Dalam Pandangan Freire

Sekolah pada era pandemi ini dianggap sebagai formalitas kewajiban saja, mirisnya belajar daring harus dilakukan siswa tanpa adanya rasa kemanusiaan dan sosialisasi yang guru berikan pun minim karena keterbatasan media dan rendahnya pemahaman literasi digital hanya membuat dehumanisasi dalam kegiatan pembelajaran. Pembelajaran secara daring terbatas pada proses pembelajaran yang satu arah sehingga menjadikan siswa sebagai objek. Dengan waktu yang terbatas juga yang membuat siswa seperti hanya diberikan perintah untuk mengikuti kemauan sang guru, baik ketika pembelajaran maupun pengerjaan tugas.

Dalam hal ini, Freire mengkritik sistem pendidikan seperti ini yang disebutnya sebagai pendidikan gaya bank. Maksudnya adalah pendidikan yang seakan-akan hanyalah seperti proses menabung. Guru sebagai nasabah dan murid yang menjadi tempat penyimpanan uangnya (brankas). Seharusnya materi menjadi pancingan untuk siswa agar menjadi aktif dan kritis, justru malah membuat siswa menjadi terbebani. Mengapa demikian? Karena siswa diharuskan untuk menghafal materi tanpa memberikan siswa kebebasan untuk mengembangkan potensi di dalam dirinya.

Dalam sistem pendidikan gaya bank, terdapat kebiasaan-kebiasaan yang merepresentasikan siswa sebagai kaum yang tertindas:

  • Guru mengajar, murid belajar;
  • Guru tahu segalanya, murid tidak tahu apa-apa;
  • Guru berpikir, murid dipikirkan;
  • Guru bercerita, murid mendengarkan;
  • Guru menentukan peraturan, murid diatur;
  • Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui;
  • Guru berbuat, murid membayangkan;
  • Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan;
  • Guru mencampur kewenangan ilmu pengetahuan dan jabatan untuk menghalangi kebebasan murid;
  • Guru sebagai subyek, murid sebagai obyek.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat terlihat bahwa guru sebagai sosok sentral yang menjadi role model yang akan diikuti para siswa. Apapun perintah guru akan dianggap benar dan harus dipatuhi. Dengan keadaan dan situasi seperti itu secara terus menerus, akan membatasi bahkan mematikan proses berpikir kritis, dan mengurangi keaktifan siswa di dalam kelas. Hal tersebut dapat membuat siswa menjadi tidak dapat berpikir kritis, tidak aktif, dan membuat siswa memiliki kesan penurut yang tidak berkarakter.

Freire dalam Syari’at (1996: 48) (Arta, 2021) menyatakan bahwa manusia sejati merupakan manusia yang bebas. Maksudnya adalah manusia yang mampu menjadi subyek bukan hanya sebagai obyek yang menerima segala sesuatunya dari pihak lain. Freire juga berpendapat bahwa pendidikan sebagai jalur untuk menuju ke meningkatnya kualitas baik dari segi intelektual maupun potensi dalam diri. Dengan sistem pendidikan dua arah, dan membiarkan siswa dapat bertindak aktif, terlibat langsusng dalam permasalahan yang nyata, maka pendidikan yang humanis akan menimbulkan kesadaran dari rasa takut di dalam dirinya. Dapat dikatakan sebagai langkah awal pendidikan yang humanis, yaitu dengan penyadaran. Dengan demikian, pembelajaran tidak hanya sebagai pen-transfer-an ilmu pengetahuan saja, tetapi juga menciptakan pendidikan yang berkarakter.

Penutup

Covid-19 telah membatasi pergerakan masyarakat untuk berkegiatan di luar rumah, termasuk untuk bersekolah. Sehingga pendidikan formal dengan cara konvensional diganti dengan cara belajar daring. Masih banyaknya siswa yang tidak dapat mengikuti pembelajaran daring secara optimal dengan berbagai alasan. Namun, keterbatasan ini tidak hanya menimbulkan tantangan melainkan juga menimbulkan peluang. Penulis menyarankan agar guru dan peserta didik dapat memanfaatkan peluang yang ada dengan sebaik-baiknya. Dan penulis juga menyarankan kepada pemerintah untuk tetap menyalurkan bantuan kuota belajar secara merata dan memprioritaskan yang lebih membutuhkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun