Merantau sering kali dikaitkan dengan kemandirian hidup. Lazimnya orang mengatakan "jauh dari orang tua akan membuatmu mandiri". Bagi saya yang masih bau kencur, kata-kata itu bagaikan sugesti namun sulit dalam implementasi. Tidak sedikit tantangan yang harus dilalui untuk mencapainya. Mulai dari lingkungan baru, budaya baru, bahkan sering menemukan perbedaan secara bahasa untuk berkomunikasi. Lebih-lebih soal keuangan.
Maklum. Perpindahan dari wilayah yang serba sulit dicari menjadi 'serba gampang asal ada uang' memang mudah menggoyahkan keimanan. Akibatnya, mengelola keuangan adalah hal paling sulit di masa-masa awal indekos. Berapapun uang digenggam seketika raib, entah untuk membeli barang yang dibutuhkan atau sekedar keinginan memiliki.
Realitas di atas mengingatkan saya pada sebuah teori konsumsi. Seperti dikatakan Duesenberry dalam teorinya, bahwa jumlah konsumsi seseorang tergantung dari besarnya pendapatan tertinggi yang pernah dimiliki sesorang tersebut.
Teori ini berangkat dari dua asumsi (Mangkoesoebroto, 1998: 70). Pertama, selera seseorang atas barang konsumsi adalah interdependen. Artinya pengeluaran seseorang dipengaruhi pengeluaran orang-orang di sekitarnya. Dengan kata lain, apabila konsumsi masyarakat di suatu wilayah tinggi maka akan berdampak pada peningkatan pengeluaran seseorang di wilayah tersebut.
Kedua, pengeluaran konsumsi adalah irreversible. Artinya pengeluaran seseorang tergantung dengan penghasilan yang dimiliki. Sederhananya, semakin banyak pendapatan semakin banyak pengeluaran.
Sebagai pendatang di tempat baru, dua asumsi Duesenberry benar-benar terasa aplikasinya. Lebih tepatnya disebut boros dalam membelanjakan uang.
Belajar dari Akhir Bulan
Pernah mengakses meme ini? Entah sekedar untuk hiburan atau bernostalgia. Bagi anda yang bernostalgia mungkin kita pernah merasakan hal yang sama. Ya, sama-sama defisit karena neraca pengeluaran lebih berat dari pemasukan.
Sulitnya mengontrol keuangan acap kali menyebabkan pengeluaran tak terbendung. Bahkan muncul istilah 'akhir bulan' di kalangan anak kos. Istilah yang membuat saya prihatin dengan diri sendiri. Hedonisme yang saya lakukan di awal bulan membuat kondisi keuangan menjadi 'sekarat' di akhir bulan. Barang konsumsi juga berkurang levelnya, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Sesuai dengan peribahasa lama yang berbunyi: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Setelah menikmati akhir bulan yang memprihatinkan selama beberapa waktu, membuat saya introspeksi diri. Pikiran saya mulai terbuka untuk senantiasa berada pada kondisi keuangan yang stabil. Mudahnya keuangan yang stabil dimaknai sebagai ketersediaan uang yang ditentukan peruntukannya secara efektif, serta tetap aman dari serangan berbagai risiko yang timbul, baik yang sudah diprediksikan ataupun yang tiba-tiba datang.
Sebagai pelajar perantau yang belum mempunyai pendapatan tetap, risiko yang muncul tiba-tiba tentu lebih merepotkan. Apalagi kalau tidak punya cadangan atau tabungan. Untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan itu, beberapa strategi alternatif saya lakukan. Semua dalam rangka tetap survive di perantauan.
Dana Darurat
Menjaga stabilitas keuangan memang tak semudah mengucapkannya. Berbagai guncangan datang silih berganti, terutama akibat risiko tak terduga. Misalnya sakit atau iuran kelas yang sifatnya mendadak. Meskipun paling sering karena uang dipinjam teman dan lama tak dikembalikan. Selain itu, inflasi akibat biaya produksi naik sebagai dampak kenaikan harga BBM juga sering menghantui. Semua itu tentunya berdampak pada pertambahan jumlah pengeluaran.
Untuk mengatasinya, saya berusaha memutar otak agar mendapatkan dana-dana sampingan. Cara paling instan adalah mengikuti pelatihan berbayar. Peribahasa mengatakan sekali mendayung dua pulau terlampaui. Bisa diartikan sekali pelatihan dua keuntungan didapatkan. Pertama, pengetahuan, kemampuan, dan relasi kita di-upgrade. Kedua, mendapat income sebagai bonus kegiatan. Dengan prinsip itu, tidak terhitung berapa banyak pelatihan yang saya ikuti.
Strategi lainnya adalah memanfaatkan kemampuan akademik. Ada yang bilang pengetahuan adalah investasi terbesar dalam hidup. Menyadari akan hal itu, saya mengajar les untuk pelajar SMP dan SMA. Investasi yang terbilang sukses karena memiliki banyak peminat pada masanya. Untuk pendapatan jangan ditanya, kata orang ilmu itu mahal harganya.
Anak Singkong dan Menabung
Setelah lulus dari 'Putih Abu-Abu', saya menjadi mahasiswa dan tetap meneruskan tradisi mengelana di 'tanah orang'. Sebagai mahasiswa tentunya pengeluaran juga meningkat dibandingkan saat berlabel siswa. Untuk buku bacaan, biaya semester, kos, makan, transportasi, belum lagi berbagai tugas tambahan dan penelitian, serta keperluan lainnya.
Pada masa kuliah, saya juga dihadapkan pada tantangan di mana semua orang berlomba untuk menjadi entrepreneur muda. Sehingga upaya dalam menjaga keuangan tetap stabil sekaligus menjawab tantangan tersebut.
Kuliah di PTN termuda se-Indonesia ternyata membawa berkah tersendiri. Terbatasnya penyedia jasa print dan fotokopi di tengah banyaknya mahasiswa ibarat mendapat durian runtuh. Seketika saya membayangkan kisah sukses salah satu orang terkaya di Indonesia, Chairul Tanjung yang bermula dari usaha fotokopi di kampusnya. Kisah itu yang coba saya terapkan, meskipun tidak muluk-muluk harus menjadi orang terkaya layaknya tokoh berjuluk 'anak singkong' tersebut.
Berjalan setahun, hasilnya telah mencukupi banyak keperluan termasuk biaya semester. Meski demikian, keuntungan usaha lebih banyak disisihkan untuk tabungan. Alasan utamanya sederhana, dari tabungan itu saya ingin melanjutkan kuliah ke jenjang S2. Syukur-syukur bisa memperbesar usaha yang tengah dijalankan saat ini.
Pada dasarnya menabung juga memberikan banyak keuntungan. Sejak belum mengenyam pendidikan, ibu saya selalu mengatakan "menabung bisa untuk sekolah, bisa beli mainan, bisa beli apa yang adek mau". Pesan sederhana yang saat ini saya terapkan sebagai kebiasaan. Selain itu, kebanggaan juga berlipat apabila memiliki tabungan dalam jumlah banyak. Bukan dalam arti untuk menyombongkan diri, tetapi dengan tabungan yang banyak mudah membuat perencanaan hidup. Banyaknya uang cadangan selaras dengan banyaknya alternatif yang bisa dilakukan.
Ditelisik dari segi manfaat yang lebih luas, dengan menabung juga berguna untuk pertumbuhan ekonomi. Sebab semakin tinggi rasio menabung masyarakat Indonesia akan meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Menurut saya, menabung itu satu kebiasaan baik dengan sejuta manfaat. Itulah kiranya.
Pengalaman adalah Guru Terbaik
Masih ingat peristiwa yang membuat perekonomian kita terpuruk? Benar, gejolak perekonomian yang terjadi di tahun 1998. Â Hingga dikatakan sebagai periode kelam perekonomian Indonesia.
Bermula dari Thailand, di mana Bath melemah hingga 56%, lalu menimbulkan efek rambatan pada Rupiah. Akibatnya mata uang Indonesia anjlok drastis bak roket jatuh. Bahkan sempat tercatat pada Juni 1998, nilai tukar Rupiah tumbang hingga 16.800/dollar AS. Capaian terendah dalam sejarah perekonomian kita.
Sekaratnya keuangan Indonesia berimbas pada seluruh sendi perekonomian. Banyak perusahaan yang collapse. Getahnya juga dirasakan oleh perbankan. Terhitung pada 1 November 1997 setidaknya ada 16 bank dilikuidasi.
Tak cukup sampai situ. Dahsyatnya krisis keuangan Indonesia juga berujung pada gejolak sosial-politik. Tuntutan reformasi yang digelorakan oleh aktivis dari kalangan Mahasiswa kala itu menjadi bukti nyata. Puncaknya pada 21 Mei 1998, rezim Orde Baru runtuh.
Dari krisis 1998 kita mengetahui bahwa instabilitas keuangan rentan terhadap berbagai dimensi kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, rentetan peristiwa sejarah ini semestinya dijadikan 'alarm pengingat' untuk senantiasa menjaga stabilitas keuangan. Seperti yang dikatakan Ahmad Fuadi dalam Negeri 5 Menara. History is not nostalgic art, but history is ibrah, lessons, that we can pull to the present, to prepare for a better future. Begitulah seharusnya dalam menyikapi sejarah.Â
Bagi saya pribadi, sejarah adalah pengalaman dan pengalaman adalah pembelajaran. Dengan demikian, baik gejolak tahun 1998 maupun pengalaman hidup sebagai perantau adalah ibrah. Dari keduanya, saya tidak hanya memahami pentingnya menjaga stabilitas keuangan. Lebih dari itu, sebagai pelaku ekonomi yang bersinggungan langsung dengan sektor riil perekonomian, kedua pengalaman itu mengajarkan saya untuk memiliki financial behavior (perilaku keuangan) yang baik. Yaitu dengan memanajemen perilaku yang relevan dengan pengelolaan uang untuk masa depan yang mapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H