PengantarÂ
Pembangunan perumahan dan kawasan permukiman adalah tanggungjawab Bersama antara pemerintah dan masyarakat dengan peran dan tugasnya masing-masing (Lestari, 2017). Â
Permukiman merupakan bagian dari suatu wilayah yang berfungsi sebagai tempat dimana penduduk tinggal dan melakukan berbagai kegiatan, baik itu kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, serta kegiatan lain untuk pemenuhan kebutuhan penduduk didalamnya (Joenso & Sari, 2020).
Dalam Penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman terdapat masalah fundamental yang berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan urusan tersebut,Â
yaitu perbedaan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Indonesia sendiri memiliki banyak masalah regulasi melalui peraturan perundang-undangan, kebijakan, perencanaan dan sebagainya (Herdiansyah & Alwini, 2018).
Permasalahan utama dalam penyelenggaraan perumahan dan Kawasan permukiman adalah perbedaan kewenangan penyelenggaraan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang semula kewenangan tersebut ada pada pemerintah daerah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman,Â
namun setelah terbit Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, maka daerah tidak memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan perumahan MBR.
Peningkatan pertumbuhan penduduk dan terbatasnya lahan perkotaan membuat kebutuhan akan bermukim yang layak huni semakin sulit didapatkan oleh masyarakat berpenghasilan rendah (Kasih & Rahmawati, 2019).
 Ditambah lagi tingkat tepadatan Penduduk yang tinggi berdampak pada pengembangan permukiman karena urbanisasi dan keterbatasan lahan . Meningkatya kebutuhan rumah mendorong para investor untuk mengembangkan pembangunan rumah susun berfasilitas lengkap guna menarik minat pembeli yang sebanyak-banyaknya.
 Rendahnya kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dan terbatasnya informasi, kemudian mahalnya harga tanah khususnya dikawasan perkotaan (Indradjati, 2020), serta rendahnya aksesibilitas bagi pekerja di sektor informal, dan tantangan keterjangkauan bagi pekerja berpenghasilan rendah (Ansah et al., 2020). Â
Ketidakpastian ekonomi makro dapat mempengaruhi permintaan perumahan dan selanjutnya menyebabkan ketidakstabilan harga perumahan (Chien & Setyowati, 2021). Sementara tingginya presentase masyarakat yang bekerja di sektor informal menjadi faktor yang mempengaruhi keterbatasan akses dalam mengakses perumahan formal (Yunita & Sari, 2019).Â
Permasalahan keterbatasan penyediaan rumah sangat erat kaitannya dengan kalangan MBR (Bramantyo et al., 2019), (Wijaya & Handrisal, 2021) . Â Rumah tangga miskin mengalami kesulitan membayar sewa dan risiko relokasi dari lingkungan yang mereka tempati, pemerintah daerah akan mencoba untuk melestarikan dan membangun perumahan yang terjangkau di daerah dengan kondisi pasar perumahan yang kuat (Shamsuddin, 2020).
Upaya pembangunan perumahan MBR tidak dapat optimal jika kewenangan pembangunan tersebut hanya menjadi kewenangan pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah memiliki potensi untuk pembangunan perumahan MBR, namun tidak ada kewenangan tersebut sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.Â
Sehingga pemenuhan kebutuhan perumahan dengan tingginya angka backlog akan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan jumlah penduduk semakin bertambah.Â
Tulisan ini akan melihat perspektif lain dari penyelenggaraan urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman yaitu dari konsekuensi penyelenggaraan urusan konkuren dan kriteria penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai filosofi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Kebijakan Penyelenggaraan Perumahan
Sesuai dengan amanat UUD 1945, pasal 28 H ayat 1 dimana disebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan. kemudian tercantum dala, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 129 Â yang berbunyi;Â
setiap orang berhak menempati, menikmati, dan/atau memiliki/ memperoleh rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur, serta diperkuat dengan pasal 5 ayat 1 yang berbunyi Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah.
Dasar perumusan kebijakan RPJMN IV tahun 2020 -2025 adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana pendukungnya bagi seluruh masyarakat yang didukung oleh sistem pembiayaan perumahan jangka panjang yang berkelanjutan,Â
efisien dan akuntabel untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh. Sedangkan SDG’s 11 goalnya adalah menjamin akses bagi semua terhadap perumahan yang layak, aman, terjangkau, dan pelayanan dasar, serta menata kawasan kumuh.
Dengan perumusan kebijakan RPJMN IV tahun 2020 -2025 diatas, untuk itulah pemerintah perlu melakukan inovasi kebijakan penyediaan perumahan dengan 3 cara yaitu :Â
(1) Pembangunan inklusif perumahan untuk dapat menggerakan potensi besar kemampuan masyarakat MBR dalam hal penyediaan perumahan secara swadaya, (2) Program Pembangunan Perumahan Berbasis Komunitas (P2BK), (3) Menjangkau Non Fixed Income atau Non Bankable Community, (4) Melalui Perluasan : KPR Mikro, BSPS PB, dan Bantuan PSU Perumahan.
Masalah penurunan keterjangkauan perumahan telah menjadi agenda politik di banyak negara selama dua dekade terakhir (Heylen, 2020). Perumahan harus dianggap sebagai sektor ekonomi yang signifikan dengan keterkaitan penting dengan keseluruhan perekonomian suatu negara (Harelimana, 2017).Â
Namun Aset pemerintah tidak boleh dilepaskan kepada masyarakat, tetapi kepemilikan dan pengelolaan tetap di tangan pemerintah daerah (Sunarti et al., 2021). The quality of government has been defined as the extent to which the state protects ownership rights at the national level (Nguyen et al., 2020).
Catatan Kritis Penyelenggaraan Perumahan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman Pasal 14 dan Pasal 15 memberikan kewenangan terhadap pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Namun dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membatasi kewenangan daerah hanya sebatas, antara lain, penyediaan dan rehabilitasi rumah korban bencana, relokasi, atau IMB.
 Penyediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih menjadi urusan pemerintah pusat. Meskipun dalam Pasal 12 ayat (1) huruf D menjelaskan bahwa urusan pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar yang meliputi urusan perumahan dan kawasan permukiman, namun norma tersebut tidak memberikan penjelasan tentang perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.Â
Penjelasan lebih lanjut diurai dalam lampiran D Undang-Undang Nomor 23 Tahun  2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga perubahan peraturan perundang tersebut tidak hanya berimplikasi pada kewenagan, namun juga berimplikasi perangkat daerah dan penyelenggaraan urusan bidang perumahan dan Kawasan permukiman (Syauqi, 2016).
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menjelaskan lebih detail tentang urusan pemerintahan, yaitu, bahwa sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yang dikenal dengan istilah urusan pemerintahan absolut dan ada urusan pemerintahan konkuren.Â
Urusan pemerintahan konkuren terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan yang dibagi antara Pemerintah Pusat, Daerah provinsi, dan Daerah kabupaten/kota.Â
Urusan Pemerintahan Wajib dibagi dalam Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar dan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak terkait Pelayanan Dasar. Untuk Urusan Pemerintahan Wajib yang terkait Pelayanan Dasar ditentukan Standar Pelayanan Minimal (SPM) untuk menjamin hak-hak konstitusional masyarakat.
 Untuk melihat hal tersebut dengan melihat kembali Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dari aspek konkuren dan kriteria penyelenggaraan pemerintahan daerah. Secara konsep, konkuren adalah urusan yang dibagi habis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Ada 34 urusan pemerintahan konkuren, 6 urusan pemerintahan absolut dan urusan lainnya yang masuk kategori urusan pemerintahan umum.
 Prinsip concurrence function yang membagi secara tegas urusan Pemerintah Pusat, Daerah  Provinsi, dan Daerah Kabupaten.  Pada dasarnya, urusan pemerintahan konkuren inilah yang menjadi dasar otonomi daerah.
 Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara daerah provinsi dengan daerah kabupaten/kota walaupun urusan pemerintahannya sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup urusan pemerintahan tersebut (Wijaya & Handrisal, 2021).
Dalam penyelenggaraan Undang-Undang 23 Tahun 2014 beberapa kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dulunya menjadi kewenangan kabupaten/kota sekarang dialihkan menjadi kewenangan provinsi dan pusat.Â
Secara yuridis normatif terdapat beberapa hal yang berpotensi menjadi penghambat ke depan secara teknis dan menjadi pemicu disharmoni antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Marganda, 2016).
Ditambah lagi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberikan dampak perubahan konsep desentralisasi yang diserahkan kembali kepada sentralisasi di mana kewenangan daerah otonom ditarik kembali dan harus sesuai dengan penataan norma yang dibuat pemerintah pusat (Prasetio & Nurdin, 2021).
Hal ini membuat desentralisasi politik menjadi fokus utama, dengan mengabaikan pengembangan kebijakan dari dua dimensi inti lainnya dari proses desentralisasi: otonomi fiskal yang berkelanjutan dan desentralisasi administratif yang efektif (Shoesmith et al., 2020).Â
Konsekuensi pelaksanaan reformasi desentralisasi seringkali menimbulkan beberapa masalah (Wardhana, 2019). Premis mendasar yang umumnya dipegang oleh para stakeholders pembangunan adalah bahwa sektor publik yang terdesentralisasi akan lebih efektif dan akuntabel kepada rakyat.
Penutup
Urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman  merupakan urusan wajib pelayanan dasar sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Konsekuensi dari penyelenggaraan urusan wajib pelayanan dasar adalah tanggungjawab pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar warga negara secara.Â
Secara umum permasalahan dalam permukiman dibagi menjadi empat, yaitu; permasalahan backlog perumahan, rumah tidak layak huni, permukiman kumuh, dan rumah liar. Banyaknya kompleksitas masalah dalam penyelenggaraan urusan bidang perumahan,
 namun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak memberikan kewenangan kepada daerah dalam menyelenggarakan pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kewenangan tersebut menjadi kewenangan pusat. sehingga bagaimana masalah ini akan selesai di daerah, jika daerah tidak memiliki kewenangan sama sekali?
Referensi :
Ansah, J. W., Takyiakwaa, D., Atakora, E., & Amoah, M. (2020). ‘House to let’: housing agents, social networks and Ghana’s housing law and policy. International Journal of Housing Policy, 20(3), 390–416. https://doi.org/10.1080/19491247.2020.1712760
Kasih, N. A., & Rahmawati, D. (2019). Perspektif Kebijakan Lokal Terkait Penyediaan Permukiman Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah Di Kota Mataram. Seminar Nasional Pembangunan Wilayah Dan Kota Berkelanjutan, 1(1), 237–246. https://doi.org/10.25105/pwkb.v1i1.5282
Nguyen, H. T., Vo, T. H. N., Le, D. D. M., & Nguyen, V. T. (2020). Fiscal Decentralization, Corruption, and Income Inequality: Evidence from Vietnam. Journal of Asian Finance, Economics and Business, 7(11), 529–540. https://doi.org/10.13106/jafeb.2020.vol7.no11.529
Sunarti, S., Yuliastuti, N., Prananingtyas, W., & Dewi, L. A. (2021). Affordable Housing for Low-Income Communities: Between Residentaland Investment. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 738, 12059. https://doi.org/10.1088/1755-1315/738/1/012059
Yunita, P., & Sari, W. N. (2019). Pengembangan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Kota Malang Dalam Dualisme Spatial – Non Spatial. Jurnal Spasial, 2, 50–61.
Wijaya, M. Identifikasi Kebijakan Penyelenggaraan Urusan Pemerintahan Bidang Perumahan Dan Kawasan Permukiman. Working Paper December 2015 DOI: 10.13140/RG. 2.2. 31334.42565.
Wijaya, M., & Gafar, T. F. (2019). Policy Analysis On Institutionalization Of Housing And Region Settlement. JDP (JURNAL DINAMIKA PEMERINTAHAN), 2(1), 33-50.
Wijaya, M., & Handrisal, H. (2021). Kebijakan Penyelenggaraan Perumahan Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Kabupaten Lahat Provinsi Sumatera Selatan. KEMUDI: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 6(01), 37-51.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H