Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara daerah provinsi dengan daerah kabupaten/kota walaupun urusan pemerintahannya sama, perbedaannya akan nampak dari skala atau ruang lingkup urusan pemerintahan tersebut (Wijaya & Handrisal, 2021).
Dalam penyelenggaraan Undang-Undang 23 Tahun 2014 beberapa kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dulunya menjadi kewenangan kabupaten/kota sekarang dialihkan menjadi kewenangan provinsi dan pusat.Â
Secara yuridis normatif terdapat beberapa hal yang berpotensi menjadi penghambat ke depan secara teknis dan menjadi pemicu disharmoni antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (Marganda, 2016).
Ditambah lagi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memberikan dampak perubahan konsep desentralisasi yang diserahkan kembali kepada sentralisasi di mana kewenangan daerah otonom ditarik kembali dan harus sesuai dengan penataan norma yang dibuat pemerintah pusat (Prasetio & Nurdin, 2021).
Hal ini membuat desentralisasi politik menjadi fokus utama, dengan mengabaikan pengembangan kebijakan dari dua dimensi inti lainnya dari proses desentralisasi: otonomi fiskal yang berkelanjutan dan desentralisasi administratif yang efektif (Shoesmith et al., 2020).Â
Konsekuensi pelaksanaan reformasi desentralisasi seringkali menimbulkan beberapa masalah (Wardhana, 2019). Premis mendasar yang umumnya dipegang oleh para stakeholders pembangunan adalah bahwa sektor publik yang terdesentralisasi akan lebih efektif dan akuntabel kepada rakyat.
Penutup
Urusan pemerintahan bidang perumahan dan kawasan permukiman  merupakan urusan wajib pelayanan dasar sebagaimana tertuang dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Konsekuensi dari penyelenggaraan urusan wajib pelayanan dasar adalah tanggungjawab pemerintah dalam memenuhi kebutuhan dasar warga negara secara.Â
Secara umum permasalahan dalam permukiman dibagi menjadi empat, yaitu; permasalahan backlog perumahan, rumah tidak layak huni, permukiman kumuh, dan rumah liar. Banyaknya kompleksitas masalah dalam penyelenggaraan urusan bidang perumahan,
 namun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak memberikan kewenangan kepada daerah dalam menyelenggarakan pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Kewenangan tersebut menjadi kewenangan pusat. sehingga bagaimana masalah ini akan selesai di daerah, jika daerah tidak memiliki kewenangan sama sekali?
Referensi :