Gerimis dilihat dari lantai Sembilan---apartemen milik Julia---terlihat bak ribuan jarum yang berjatuhan, keperak-perakan  karena pantulan cahaya lampu jalan Jakarta yang cukup terang dari bawah sana.
Gerimis dengan background hitam malam dikejauhan sana membuat suasana terlihat dari ketinggian terasa renyah.
Wanita itu adalah sumber kebahagiaan sekaligus masalah buatku.
Bayangkan, aku mesti berurusan dengan dokter sejak tiga bulan terakhir hanya karena dia mengancam akan menyambangi kediamanku jika aku membuatnya kesal atau cemburu.
Entahlah, masalah gangguan tidur katanya. Dokter memberikan obat yang aku tidak peduli apa nama dan kandungan isinya, yang penting aku bisa tidur, beres. Sebuah pelarian, sebuah ketergantungan baru.
Singkatnya, setelah memastikan wanita itu baik-baik saja, aku mengobati memar dikepalanya dengan air es. Setelah itu kuputuskan untuk tidur.
Aku mengambil obatku yang sebelumnya kusimpan di laci obat. Kuambil segelas air putih dan langsung meminumnya. Kemudian aku duduk diatas meja kayu sambil berusaha untuk rileks dengan kedua kaki tergantung setinggi 25 senti.
Aku mengurungkan niat untuk merokok karena pendingin ruangan yang masih menyala.
Pada menit kesepuluh setelah minum obat, tiba-tiba tubuhku tidak bisa digerakkan, kaku sejadi-jadinya.Â
Bukannya rasa kantuk yang menjalar, malah rasa segar berlebihan yang menjejal dibalik pelupuk mata.
Nafasku mulai sedikit panas. Jantung memompa darah lebih cepat. Efeknya hampir mirip seperti minum Viagra.