Julia kembali membentakku dengan suara yang keras. Mulutnya dipenuhi umpatan nama-nama binatang, kontras dengan sapuan lipstik merah marun di bibirnya begitu menawan.
Dia melemparku dengan sebuah testpack, yang setelah kuperhatikan dari dekat rupanya bergaris dua merah. Dengan agresif dia menuntut untuk dinikahi.
Ocehannya bahkan sampai pada level mengancam; kalau-kalau, dia berani untuk membunuhku jika inginnya tidak dipenuhi.
Tepat pada saat dia memaki dengan kata, "brengsek" dan melemparku dengan kondom bekas pakai, kuhajar dia dengan dua kali pukulan tepat dikening, dia terjatuh dan pingsan.
Kubiarkan sejenak, Â lalu kugendong dan kuletakkan tubuh jenjangnya ke atas ranjang. Â
Kudengar petir mulai berisik, mendung mulai mengepul diluar. Kucarikan selimut untuk menutupi tubuhnya yang setengah telanjang supaya tidak kedinginan.
Kulepaskan kacamatanya supaya nanti tidak tertindih.Â
Aku menyadari satu hal, ada tato di tubuhnya yang baru kulihat, sebuah kalimat dalam bahasa latin kalau kutebak, "sine qua non", di lengan atas sebelah kanan.
Warna tulisan itu hitam kehijauan dengan font yang digarap cukup rapi, sangat minimalis. Aku benci tato sebagaimana aku benci pada diriku sendiri.
Jarum Jacques Martin berwarna merah muda dipergelangan tangan wanita itu menujuk pada angka dua. Dini hari terasa begitu senyap.Â
Udara dingin menembus sampai ketulang rusuk.