Orang tua terpengaruh oleh norma sosial dan harapan yang ang menganggap pekerjaan tertentu lebih terhormat atau prestisius. Konflik dapat muncul ketika anak merasa tertekan untuk mengikuti jalur karier yang tidak mereka inginkan hanya untuk memenuhi harapan orang tua. Ini dapat menyebabkan ketegangan dalam hubungan keluarga dan bahkan mempengaruhi kesehatan mental anak. Perbedaan perspektif ini merupakan bagian alami dari dinamika keluarga. Untuk mengurangi konflik, penting bagi kedua belah pihak untuk berkomunikasi secara terbuka dan saling mendengarkan.
Perbedaan perspektif dan generasi antara anak dan orang tua merupakan fenomena yang tak terelakkan dalam dinamika keluarga. Faktor-faktor seperti perbedaan pengalaman hidup, konteks sosial, teknologi, nilai-nilai budaya, dan preferensi individu menyebabkan  adanya jurang pemisah. Teori Karl Mannheim menekankan bahwa perbedaan generasi lebih dari sekadar interval waktu kelahiran, melainkan hasil dari perubahan sosial yang berbeda. Konflik dapat muncul dalam berbagai aspek kehidupan, terutama dalam pemilihan karier dan gaya hidup, di mana orang tua cenderung mengutamakan stabilitas dan norma sosial, sementara anak-anak lebih pada individualisme dan keterbukaan terhadap perubahan. Untuk menjembatani jurang pemisah ini, diperlukan komunikasi terbuka, pemahaman timbal balik, dan toleransi antara kedua generasi, sehingga dapat tercipta hubungan yang lebih harmonis dan saling mendukung dalam keluarga.
Komunikasi Yang Kurang Efektif
Komunikasi yang efektif antara anak dan orang tua adalah kunci untuk membangun hubungan keluarga yang sehat. Namun, sering kali terdapat berbagai hambatan yang dapat mengganggu proses komunikasi tersebut. Stereotip tentang generasi yang berbeda dapat menciptakan prasangka yang menghalangi komunikasi. Misalnya, orang tua mungkin menganggap anak-anak mereka terlalu manja atau tidak bertanggung jawab.Â
Kehidupan yang sibuk sering kali membuat orang tua dan anak tidak memiliki cukup waktu untuk berinteraksi secara bermakna. Komunikasi sering kali terbatas pada percakapan singkat di antara rutinitas sehari-hari. Sering kali, orang tua atau anak tidak benar-benar mendengarkan satu sama lain. Mereka mungkin hanya menunggu giliran untuk berbicara alih-alih memahami apa yang diungkapkan pihak lain. Ketika emosi tinggi, seperti kemarahan atau frustrasi, komunikasi dapat menjadi tidak efektif. Anak-anak mungkin merasa tertekan untuk menyampaikan pendapat mereka, sementara orang tua mungkin menjadi defensif.
Teori komunikasi keluarga yang dikembangkan oleh Fitzpatrick dan Ritchie mengidentifikasi empat tipe pola komunikasi keluarga, yakni : konsensual, pluralistis, protektif, dan laissez-faire. Masing-masing pola ini memiliki karakteristik tersendiri yang dapat mempengaruhi kualitas komunikasi antara anak dan orangtua. Konsensual merupakan keluarga yang memiliki orientasi tinggi terhadap percakapan dan keseragaman.  Pluralistis merupakan keluarga yang mendorong diskusi terbuka dan menghargai perbedaan pendapat. Protektif merupakan keluarga yang cenderung menekankan kontrol dan kepatuhan dimana orang tua lebih dominan dalam pengambilan keputusan, sementara anak-anak mungkin merasa kurang memiliki suara. Laissez-faire merupakan komunikasi minimal dan orang tua memberikan kebebasan penuh kepada anak untuk membuat keputusan sendiri tanpa banyak arahan atau dukungan.
Salah satu masalah utama komunikasi antara anak dan orang tua adalah kurangnya keterampilan mendengarkan secara aktif. Sering kali, baik anak maupun orang tua terlalu fokus pada apa yang ingin mereka bicarakan, yang mengakibatkan mereka tidak dapat mendengar satu sama lain dan memahami sudut pandang orang lain. Orang tua mungkin cenderung memberi nasihat atau kritik tanpa benar-benar memahami situasi atau perasaan anak, sementara anak mungkin merasa bahwa pendapat mereka tidak didengar atau dihormati. Hal ini dapat menyebabkan perasaan frustrasi dan terasing yang pada gilirannya dapat menjadi penghalang bagi komunikasi yang efektif. Selain itu, kemajuan teknologi dan maraknya media sosial telah membuat komunikasi keluarga menjadi lebih sulit dari sebelumnya.
Penggunaan telepon pintar dan perangkat digital lainnya sering kali menghilangkan interaksi tatap muka antara anak dan orang tua. Meskipun teknologi memungkinkan komunikasi jarak jauh, penggunaannya yang berlebihan. Ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan menegosiasikan perbedaan dapat mengakibatkan stres dan ketegangan dalam hubungan. Anak-anak mungkin merasakan beban harapan orang tua, sementara orang tua mungkin merasa tertekan atau takut akan masa depan anak.
Untuk mengatasi masalah komunikasi ini, diperlukan usaha dari kedua belah pihak. Orang tua perlu belajar untuk lebih terbuka, fleksibel, dan berempati terhadap sudut pandang anak-anak mereka. Mereka harus berusaha keras untuk menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak-anak untuk mengekspresikan diri mereka. Di sisi lain, anak-anak juga harus belajar untuk menghargai pengalaman dan kebijaksanaan orang tua mereka, dan berkomunikasi dengan cara yang lebih dewasa dan konstruktif.
Masalah EmosionalÂ
Teori keterikatan (attachment theory) menurut John Bowlby menjelaskan bahwa keterikatan adalah kecenderungan manusia untuk mencari kedekatan dan kepuasan dalam hubungan dengan orang lain. John Bowlby menjelaskan pentingnya hubungan emosional antara anak dan pengasuh utama, biasanya orangtua. Menurut teori ini, kualitas kelekatan yang terbentuk pada masa bayi dan anak-anak awal akan mempengaruhi perkembangan emosional dan sosial anak di kemudian hari. Ketika orangtua tidak responsif atau tidak konsisten dalam menanggapi kebutuhan anak, dapat terbentuk kelekatan yang tidak aman. Hal ini dapat menyebabkan anak mengalami kesulitan dalam mengelola emosi dan membentuk hubungan yang sehat.