b)Â UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kejahatan Seksual (TPKS) yang mengatur restitusi dan kompensasi bagi korban.
c)Â UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) juga mengatur restorative justice walau tidak eksplisit. Yakni sebagaimana diatur dalam Pasal 54 yang mengatur pedoman pemidanaan wajib mempertimbangkan pemaafan dari korban atau keluarga korban. KUHP juga membuka peluang bagi hakim untuk memberikan pengampunan atau judicial pardon.
d)Â Peraturan Kejaksaan (Perja) No.15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
e)Â Peraturan Kepolisian (Perpol) No.8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif.
f) Surat Keputusan Dirjen Badilum MA No.1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice di Lingkungan Peradilan Umum.
Kompensasi Sukarela
Merujuk pada ketidakseimbangan atau restitusi yang diberikan kepada korban tindak pidana sebagai pengganti kerugian yang dideritanya, Kompensasi bertujuan untuk memberikan keadilan kepada korban dan memulihkan kerugian. Kompensasi sukarela dalam sistem hukum Indonesia mencakup berbagai bentuk kompensasi atau penggantian, seperti tuntutan uang paksa atau hukuman tambahan. Kompensasi sukarela juga mengandung komitmen, yang berpusat pada pemulihan dan pembaruan hubungan antara pihak-pihak yang terkait. Prinsip dasar kompensasi sukarela adalah bahwa pelaku tindak pidana bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang mereka sebabkan kepada korban. Dengan demikian, kompensasi memberikan sanksi langsung bagi pelaku tindak pidana.
Keadaan Yang Meringankan
Keadaan yang meringankan adalah kondisi atau situasi yang dapat mengurangi tingkat kesulitan, beban, atau hukuman yang menimpa seseorang. Keadaan yang meringankan dalam konteks hukum adalah faktor keadaan yang dapat mengurangi tingkat kesalahan atau kejahatan yang dilakukan oleh seorang pelaku kejahatan. Penyesalan yang tulus dan upaya untuk memperbaiki diri juga dapat menjadi faktor meringankan. Konsep ini juga dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti psikologi, sosial, dan ekonomi. Dalam sistem hukum, terdapat berbagai faktor yang dapat dianggap sebagai keadaan yang meringankan. Jika seorang pelaku kejahatan menunjukkan penyesalan yang tulus, atau jika mereka melakukan tindakan tersebut dalam keadaan tertekan atau disengaja, ini dapat menjadi alasan untuk meringankan hukuman, seperti usia pelaku, latar belakang keadaan sosial, dan kondisi mental juga sering kali diperhitungkan. Ketika seseorang menunjukkan bahwa mereka menyadari kesalahan mereka dan berusaha memperbaiki keadaan, hal ini dapat menjadi faktor yang signifikan dalam meringankan hukuman. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keadaan yang meringankan dalam hukum, antara lain:
1)Â Riwayat hidup Pelaku, dimana latar belakang sosial dan ekonomi pelaku dapat menjadi pertimbangan, termasuk apakah mereka memiliki catatan kriminal sebelumnya atau tidak.
2) Motif dan Tujuan, dimana alasan di balik tindakan kriminal, seperti apakah pelaku dipaksa atau dipicu oleh keadaan tertentu, dapat meringankan hukuman.Â