Mohon tunggu...
Mbah Priyo
Mbah Priyo Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Redaktur www.fixen.id

Seorang kakek yang telah pensiun dari hiruk pikuk dunia, banyak menulis fiksi di FIXEN. Berpengalaman sebagai Dosen, IT Professional dan International Trade Mediator. Memilih stay home setelah selamat dari serangan dari negara api pada tahun 2019, menjalanni hobi berkebun lemon, ternak ikan dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hikmah: Janji yang Tak Terpenuhi

30 Januari 2025   15:25 Diperbarui: 30 Januari 2025   22:35 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Joni menagis - Kreasi AI

Di sebuah kota kecil yang tenang, ada seorang pemuda bernama Jimmy. Rumahnya bersebelahan dengan rumah seorang gadis bernama Joni. Mereka sudah saling kenal sejak kecil---hampir lebih dari sepuluh tahun. Waktu berlalu begitu cepat. Dulu mereka cuma anak-anak yang main kejar-kejaran, sekarang Joni sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik dan penuh pesona.

Setiap hari di bawah pohon mangga yang rindang, Jimmy dan Joni selalu berbagi cerita. Dari hal-hal sepele sampai impian mereka di masa depan. Mereka tumbuh bersama, sekolah di tempat yang sama, dan saling dukung dalam suka dan duka. Tapi ada satu hal yang Jimmy simpan rapat-rapat: perasaannya. Dia terlalu takut untuk mengakuinya, apalagi Joni masih 15 tahun, sementara dia sudah 22. Terlalu jauh, terlalu rumit.

Sampai suatu hari, sebuah surat datang dari Joni. Tulisan tangannya rapi, setiap kata terasa penuh makna. Jimmy membacanya dengan hati-hati:

"Jimmy, tolong katakan kamu akan menungguku.
Aku akan tumbuh dewasa suatu hari nanti, kamu akan lihat.
Kubiarkan semua ciumanku hanya untukmu.
Dengan cinta yang abadi."

Jimmy terdiam. Dia nggak pernah nyangka kalau Joni juga punya perasaan yang sama. Tapi, ini nggak semudah itu. Jimmy tahu dia harus pergi, meninggalkan kota kecil ini untuk mengejar masa depannya.

Sore itu, dengan langkah berat, dia berjalan ke rumah Joni. Saat pintu terbuka, Joni sudah berdiri di sana, matanya berkaca-kaca.

"Joni, tolong jangan menangis," kata Jimmy, mengusap air mata di pipi gadis itu. "Kamu masih 15, aku 22. Aku nggak bisa menunggumu."

Tangis Joni makin deras, tapi Jimmy tahu keputusannya sudah bulat. Dengan hati berat, dia melangkah pergi, meninggalkan semua kenangan mereka di belakang.

---

Beberapa Tahun Kemudian, di kota besar, Jimmy menjalani hidup yang diimpikan banyak orang. Kariernya melesat, gajinya lebih dari cukup, dan setiap hari dia dikelilingi oleh orang-orang ambisius yang mengejar kesuksesan. Dia punya apartemen di pusat kota dengan pemandangan gedung-gedung tinggi yang berkilauan di malam hari. Mobilnya mengilap, jam tangannya mahal, dan di dompetnya terselip kartu-kartu eksklusif yang hanya dimiliki segelintir orang.

Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang hilang.

Setiap kali malam tiba dan kesibukan mereda, Jimmy duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang penuh cahaya buatan. Saat itulah pikirannya selalu kembali ke kota kecilnya dulu---ke jalanan berdebu yang biasa dia lalui, ke suara sungai kecil di dekat rumahnya, dan terutama, ke Joni.

Dia masih ingat surat itu. Kata-kata Joni terus terngiang di kepalanya.

"Jimmy, tolong katakan kamu akan menungguku..."

Kadang, saat makan malam di restoran mewah atau menghadiri pesta bersama kolega, dia melihat sosok perempuan yang sekilas mengingatkannya pada Joni. Tapi setiap kali dia menoleh, yang dia lihat hanyalah orang asing.

Satu malam, setelah pulang dari kerja, Jimmy membuka laci kecil di kamarnya dan menemukan surat itu lagi. Kertasnya sudah sedikit menguning, tapi tulisan Joni masih jelas terbaca. Tangannya gemetar saat menyentuhnya.

Hatinya mulai bertanya-tanya, Apa Joni masih mengingatku?

Tiba-tiba, sesuatu dalam dirinya terasa kosong. Semua yang dia bangun di kota besar ini seolah tak berarti jika hatinya masih tertinggal di tempat lain.

Tanpa pikir panjang, Jimmy membuka laptopnya dan memesan tiket pesawat pulang. Kali ini, dia ingin mencari jawaban. Dia ingin menemui Joni, ingin tahu apakah masih ada harapan untuk cinta mereka 5 tahun lalu.

Sesampainya di kota kecil itu, Jimmy langsung menuju rumah Joni. Tapi rumah itu terasa berbeda. Lebih sepi. Dengan hati berdebar, dia mengetuk pintu.

Seorang wanita paruh baya membuka pintu. "Ada yang bisa saya bantu?"

Jimmy menelan ludah. "Joni ada?"

Wanita itu tersenyum kecil. "Oh, kamu pasti Jimmy. Joni sudah menikah satu tahun lalu. Suaminya, John, sangat baik kepadanya."

Dunia Jimmy terasa berhenti. Jantungnya seperti diremas.

Lalu, tiba-tiba Joni muncul dari belakang wanita itu. Matanya masih secantik dulu, tapi ada kedewasaan yang berbeda.

"Jimmy... kamu datang," katanya pelan.

Jimmy tersenyum getir. "Aku cuma ingin bilang... selamat. Kamu terlihat bahagia, dan itu sudah cukup buatku."

Joni menggigit bibirnya, menahan air mata. "Aku selalu berharap kita bisa bersama, tapi hidup nggak selalu sesuai rencana. 4 tahun aku menunggumu, tapi kamu tak pernah memberiku kabar. Aku terpaksa menikah dengan John, sahabat karibmu"

Mereka saling berpandangan untuk terakhir kali, lalu Jimmy berpamitan. Di perjalanan pulang ke kota, dia menyadari satu hal: cinta memang indah, tapi nggak selalu harus dimiliki. Dan mungkin, kenangan mereka akan tetap hidup dalam hati, selamanya.

Cerita ini terinspirasi dari lagu Don't cry, Joni by Conway Twitty

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun