Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang hilang.
Setiap kali malam tiba dan kesibukan mereda, Jimmy duduk di balkon apartemennya, menatap langit yang penuh cahaya buatan. Saat itulah pikirannya selalu kembali ke kota kecilnya dulu---ke jalanan berdebu yang biasa dia lalui, ke suara sungai kecil di dekat rumahnya, dan terutama, ke Joni.
Dia masih ingat surat itu. Kata-kata Joni terus terngiang di kepalanya.
"Jimmy, tolong katakan kamu akan menungguku..."
Kadang, saat makan malam di restoran mewah atau menghadiri pesta bersama kolega, dia melihat sosok perempuan yang sekilas mengingatkannya pada Joni. Tapi setiap kali dia menoleh, yang dia lihat hanyalah orang asing.
Satu malam, setelah pulang dari kerja, Jimmy membuka laci kecil di kamarnya dan menemukan surat itu lagi. Kertasnya sudah sedikit menguning, tapi tulisan Joni masih jelas terbaca. Tangannya gemetar saat menyentuhnya.
Hatinya mulai bertanya-tanya, Apa Joni masih mengingatku?
Tiba-tiba, sesuatu dalam dirinya terasa kosong. Semua yang dia bangun di kota besar ini seolah tak berarti jika hatinya masih tertinggal di tempat lain.
Tanpa pikir panjang, Jimmy membuka laptopnya dan memesan tiket pesawat pulang. Kali ini, dia ingin mencari jawaban. Dia ingin menemui Joni, ingin tahu apakah masih ada harapan untuk cinta mereka 5 tahun lalu.
Sesampainya di kota kecil itu, Jimmy langsung menuju rumah Joni. Tapi rumah itu terasa berbeda. Lebih sepi. Dengan hati berdebar, dia mengetuk pintu.
Seorang wanita paruh baya membuka pintu. "Ada yang bisa saya bantu?"