Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menimbang-nimbang Perlu Tidaknya Mengganti Kurikulum Merdeka

10 Desember 2024   18:55 Diperbarui: 10 Desember 2024   18:55 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perlu tidaknya mengganti kurikulum merdeka | Sumber : Olahan pribadi

Tahun 2024 telah mencapai ujungnya. Tidak lama lagi kita akan memasuki tahun 2025. Pergantian tahun kerap dimaknai sebagai sebuah awal yang baru serta harapan akan datangnya masa yang lebih baik dari masa sebelumnya. Banyak orang membuat refleksi dan resolusi. Di tahun 2024 ini banyak momen dan catatan penting dalam dunia pendidikan Indonesia. Salah satunya adalah pergantian pemerintahan dari Presiden Joko Widodo kepada Presiden Prabowo Subianto. Pergantian pemerintahan juga berdampak pada pergantian jajaran para menteri termasuk menteri pendidikan. Menteri pendidikan yang dulunya dijabat oleh Nadiem Makarim per bulan Oktober kemarin digantikan oleh sosok baru yaitu Prof. Abdul Mu'ti, M.Ed.

Selalu terbersit tanya dalam benak guru dan insan pendidik. Ganti menteri apakah akan menjadi pertanda pergantian kurikulum? Apa kira-kira kebijakan menteri yang baru ini? Apakah menteri baru akan melanjutkan program kebijakan menteri yang lama? dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan klasik yang selalu saja muncul mengiringi derap langkah guru dalam masa pergantian pemerintahan dan menteri pendidikan.

Di Indonesia agaknya ujaran ganti menteri ganti kurikulum itu sesuatu yang biasa. Karena pada dasarnya tentu setiap menteri pendidikan berupaya membuat sebuah terobosan kebijakan untuk kemajuan dunia pendidikan. Belum lama Prof. Abdul Mu'ti, M.Ed selaku menteri pendidikan yang baru juga menyampaikan bahwa di tahun 2025 nanti akan ada banyak kebijakan baru bagi para guru.

Dalam sebuah rapat dengar pendapat dengan anggota komisi X DPR RI beberapa waktu lalu bahkan Prof. Mu'ti berkelakar dengan berucap kalau menteri pendidikannya baru tapi semuanya sama dengan yang lama lalu apa bedanya? Kalimat tersebut disambut gelak tawa dan tepuk tangan dari seluruh anggota dewan dan jajaran Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang hadir.

Perubahan Itu Pasti

Hadirnya sosok menteri pendidikan yang baru tentu sedikit banyak akan membawa perubahan-perubahan kebijakan. Apalagi jika menilik kiprah Prof. Mu'ti selama ini yang memang tekun menggeluti dunia pendidikan. Di era kepemimpinan Nadiem Makarim dulu beliau kerap menyampaikan gagasan dan wacana yang berbeda irama dengan kementerian pendidikan saat itu.

Kritik-kritiknya terhadap merdeka belajar dan kurikulum merdeka masih bisa dilacak jejak digitalnya di berbagai ruang maya. Maka tidak berlebihan jika dalam sebuah sesi wawancara dengan para wartawan beliau mengatakan bahwa dulu saat di luar sistem beliau lebih banyak berbicara, maka setelah sekarang menjadi menteri pendidikan yang baru beliau akan lebih banyak mendengar. Sebuah sikap fair dan elegan dari seorang pejabat negara.

Merdeka belajar sebuah program yang lahir dari gagasan Nadiem Makarim dan jajarannya di Kemendikbud juga agaknya akan diganti. Pelan tapi pasti hal itu sudah mulai terlihat. Terbaru Prof. Mu'ti menyampaikan pemikirannya tentang konsep pendekatan belajar yang disebutnya dengan istilah "Deep Learning".

Dirangkum dari beberapa sumber "Deep Learning" merupakan sebuah istilah yang merujuk pada pendekatan belajar untuk tujuan meningkatkan kapasitas siswa. Deep learning merupakan metode pembelajaran yang menggabungkan tiga elemen utama. Pertama, mindfull learning dimana guru dalam pembelajaran harus memahami bahwa setiap murid dalam pembelajaran memiliki kemampuan dan cara belajar berbeda-beda. Kedua, meaningfull learning adalah sebuah pandangan yang mengharuskan pemahaman siswa akan konteks pembelajaran yang mereka pelajari. Siswa mengerti alasan mengapa ia harus mempelajari konsep pelajaran tersebut. Ketiga, joyfull learning yang mengedepankan rasa bahagia dan menikmati setiap proses pembelajaran yang dilakukan.

Secara sepintas ketiganya mirip dengan konsep pembelajaran bermakna dan menyenangkan dalam kurikulum merdeka. Juga mirip dengan metode PAKEM yang dulu pernah dipopulerkan pada masa era kurikulum 2006. Tetapi intinya Prof. Mu'ti sendiri menyampaikan bahwa deep learning itu merupakan sebuah pendekatan pembelajaran, bukan kurikulum. Ini perlu dipahami sehingga tidak menjadi sebuah bias informasi bahwa kurikulum merdeka akan diganti dengan deep learning.

Perubahan lain yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah adalah terkait program wajib belajar. Dimana sekarang program wajib belajar tidak lagi sembilan tahun atau dua belas tahun. Tetapi wajib belajar bagi anak Indonesia kini menjadi tiga belas tahun. Dimulai dari pendidikan anak usia dini (PAUD) sampai dengan SMA sederajat.

Juga kebijakan yang menyangkut persoalan administrasi kinerja guru. Konon guru di tahun 2025 kelak tidak perlu lagi banyak mengupload sertifikat pelatihan peningkatan kompetensi di aplikasi Platform Merdeka Mengajar (PMM). Tetapi cukup disampaikan dan didiskusikan dengan atasan terkait upaya pengembangan kompetensinya. Sebagai bahan refleksi sertifikat pengembangan kompetensi cukup ditunjukkan di luar sistem pengeloaan kinerja. Hal ini didasarkan pada asumsi selama ini bahwa dengan adanya kewajiban mengupload hanya menjadikan ajang untuk berburu sertifikat saja. Tetapi sebetulnya esensi dari belajar untuk meningkatkan kompetensi itu kurang maksimal. Juga karena banyaknya masukan dan saran dari para guru terkait hal tersebut yang dirasa banyak menyita waktu.

Nasib Kurikulum Merdeka

Lalu bagaimana dengan nasib kurikulum merdeka? Apakah juga akan diganti dengan kurikulum baru? Kurikulum Merdeka mulai diimplementasikan secara terbatas di tahun 2021. Setelah mengalami pandemi Covid-19 pemerintah melihat bahwa banyak terjadi fenomena learning loss pada siswa. Maka dibutuhkan sebuah kebijakan untuk pemulihan dan percepatan belajar. Lahirlah kurikulum baru yang berpijak pada materi esensial dan fleksibilitas sekolah dalam implementasinya. Dikemudian hari kurikulum baru ini dikenal dengan nama Kurikulum Merdeka.

Saya menjadi teringat dengan podcast Gita Wirjawan dengan beberapa pakar pendidikan yang disiarkan di channel Youtubenya beberapa bulan lalu. Bahwa sering dilupakan oleh kita semua sebagai insan pendidik dalam melihat persoalan kurikulum pendidikan ini adalah masalah waktu. Faktor waktu ini sangat penting dalam keberhasilan implementasi sebuah kurikulum. Para guru, sekolah, dinas pendidikan dan seluruh pemangku kepentingan yang ada membutuhkan waktu yang cukup untuk bisa memahami dan menerapkan kurikulum ini dengan tepat. Selengkapnya di sini.

Hal ini juga diperkuat dengan pendapat banyak ahli pendidikan. Banyak ahli pendidikan, seperti Posner (2004), menyarankan bahwa kurikulum sebaiknya dievaluasi setiap 10-15 tahun. Durasi ini dianggap cukup untuk melihat dampak implementasi kurikulum terhadap generasi siswa, guru, dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Perubahan besar yang terlalu cepat dikhawatirkan tidak memberi waktu cukup untuk proses evaluasi dan perbaikan.

Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Ornstein dan Hunkins (2009). Mereka berpendapat bahwa perkembangan teknologi, ekonomi, dan sosial memengaruhi kebutuhan pendidikan, sehingga kurikulum harus cukup fleksibel untuk merespons perubahan tersebut. Namun, mereka menekankan pentingnya konsistensi dan stabilitas dalam penerapan kurikulum agar tidak membingungkan guru dan siswa.

Kesimpulannya, durasi ideal penggantian kurikulum bervariasi tergantung pada stabilitas dan kebutuhan pendidikan suatu negara. Namun, sebagian besar ahli sepakat bahwa perubahan besar sebaiknya dilakukan setiap 10-15 tahun, dengan evaluasi dan penyesuaian dilakukan lebih sering.

Pergantian kurikulum yang terlalu cepat akan membingungkan siswa, guru, dan sekolah itu sendiri. Mengingat guru dan sekolah sebagai garda terdepan dalam pelaksanaan sebuah kurikulum juga membutuhkan waktu untuk mempelajari dan memahami agar tidak terjadi sebuah miskonsepsi. Demikian juga jika dikaitkan dengan kurikulum merdeka. Ada baiknya pemerintah bersama menteri pendidikan dasar dan menengah serta jajarannya tidak tergesa-gesa untuk mengganti kurikulum yang ada saat ini. Ada baiknya jikapun akan melakukan perubahan hendaknya dilakukan secara evolusioner bukan revolusioner. Perlahan tapi pasti, sedikit demi sedikit menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada melalui evaluasi berkala.

Mengingat fakta di lapangan bahwa sekarang ini pun belum semua guru dan sekolah dapat melaksanakan kurikulum merdeka secara optimal. Berbagai tantangan dalam implementasi kurikulum merdeka banyak ditemui dewasa ini. Kondisi semacam itu membutuhkan solusi jangka panjang.

Banyak guru belum sepenuhnya memahami filosofi dan metode dalam kurikulum merdeka, seperti pembelajaran berdiferensiasi dan pembelajaran berbasis proyek. Ditambah lagi tidak meratanya pelatihan membuat implementasi tidak konsisten.

Kesenjangan infrastruktur juga menjadi faktor penghambat. Perbedaan fasilitas yang dimiliki sekolah-sekolah terutama di daerah terpencil menjadi hambatan utama. Banyak sekolah menghadapi keterbatasan internet, perangkat teknologi, dan bahan ajar pendukung. Juga keterbatasan pemahaman orang tua serta stakeholder lainnya. Tidak semua orang tua memahami perubahan dalam kurikulum merdeka, sehingga dukungan untuk pembelajaran siswa sering kurang maksimal. Selain itu, manajemen sekolah kadang juga belum sepenuhnya siap mendukung implementasi.

Guru dan siswa juga masih mengalami berbagai kesulitan. Guru masih menghadapi kendala dalam merancang dan melaksanakan penilaian otentik berbasis capaian pembelajaran, seperti penggunaan rubrik, portofolio, dan refleksi. Siswa, terutama yang terbiasa dengan metode pembelajaran tradisional, membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri dengan pendekatan mandiri dan berbasis proyek yang menjadi inti kurikulum merdeka. Tantangan ini saling berkaitan dan membutuhkan solusi sistematis serta dukungan penuh dari berbagai pihak untuk memastikan implementasi kurikulum merdeka berjalan optimal.

Sebagai penutup tulisan ini saya pribadi berharap menteri pendidikan yang baru tidak tergesa-gesa untuk segera mengganti kurikulum merdeka. Berikan waktu yang cukup untuk guru dan sekolah serta semua insan pendidikan agar dapat memahami dan mencerna esensi dari kurikulum merdeka ini. Persoalan waktu menjadi sangat penting dalam mendukung keberhasilan implementasi sebuah kurikulum. Solusi-solusi atas berbagai kendala yang ada tetap harus diupayakan secara serius dan simultan. Tetap semangat. Salam blogger persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun