Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

SD Negeri dalam Pergulatan Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan

21 Juni 2024   15:37 Diperbarui: 23 Juni 2024   06:01 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi SD negeri | Sumber : Dokpri

Sudah memasuki bulan Juni. Sekolah dan orangtua sibuk dengan urusan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Sekolah bersiap-siap menerima calon peserta didik barunya. Orangtua juga bersiap-siap mendaftarkan anaknya di sekolah yang menjadi pilihannya.

Tidak seperti jaman dulu saat saya masih bersekolah, proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di masa sekarang dilaksanakan secara online dengan menggunakan sistem zonasi.

Hal ini berlaku khususnya di sekolah-sekolah negeri yang notabene sekolah milik pemerintah. Sementara sekolah swasta memiliki caranya sendiri dalam menyelenggarakan PPDB yang unik dan sedikit berbeda dengan sekolah negeri. Karena agaknya dalam urusan PPDB sekolah swasta lebih diberi kelonggaran ketimbang sekolah negeri.

Saya termasuk orang yang tumbuh dan dibesarkan di lingkungan pendidikan negeri. Riwayat pendidikan semuanya ditempuh di institusi negeri. Karena ada semacam stigma dalam keluarga jika pendidikan yang diselenggarakan oleh institusi negeri itu lebih baik dan lebih bermutu jika dibandingkan dengan institusi swasta. 

Tapi dewasa ini setiap kali musim PPDB tiba tidak sedikit berita berseliweran di media sosial maupun portal berita online yang kerap mengabarkan sekolah negeri khususnya untuk jenjang SD yang minim pendaftar.

Dari kuota penerimaan satu rombongan belajar atau satu kelas yang memiliki daya tampung antara 20 sampai dengan 28 siswa pun tidak terpenuhi. Banyak SD negeri kesulitan mendapatkan siswa baru. Dan lambat laun gulung tikar, ditutup atau dimerger karena tidak ada siswanya.

Sementara di sisi lain juga banyak berita yang mengabarkan jika SD swasta sangat sukses dalam proses penerimaan siswa barunya. Peminatnya membludak, bahkan tidak cukup hanya ditampung dalam satu kelas, SD swasta tidak jarang menyelenggarakan rombongan belajar atau kelas paralel. 

Apakah ini menjadi indikasi jika SD swasta dewasa ini lebih maju dan bermutu dibandingkan dengan SD negeri? Sehingga masyarakat lebih memilih menyekolahkan anak-anaknya ke SD swasta daripada ke SD negeri?

Sejarah Berdirinya SD Negeri

Jika menilik sejarah berdirinya SD negeri maka kita akan kembali mengingat mendiang presiden kedua republik Indonesia Presiden Soeharto.

Mayoritas SD Negeri yang ada sekarang dulunya adalah SD inpres yang digagas oleh mantan Presiden Soeharto. Sekolah ini dibuat berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 10 Tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. 

Sampai dengan periode tahun 1993 dan 1994 tercatat hampir 150.00 unit SD inpres telah dibangun. Seiring dengan hal tersebut ditempatkan pula lebih dari satu juta guru guna mengajar di SD inpres itu.

Tujuan dibangunnya SD inpres adalah untuk memperluas dan meratakan kesempatan belajar pada anak usia SD yaitu antara 7 sampai 12 tahun. 

Dan atas keberhasilan program ini pada tanggal 19 Juni 1993 mantan Presiden Soeharto mendapatkan penghargaan dari UNESCO PBB berupa piagam The Avicienna. SD inpres dibangun hampir di seluruh wilayah Indonesia baik pedesaan maupun perkotaan. SD inpres inilah yang sekarang ini kita kenal dengan SD negeri. Selengkapnya di sini.

SD negeri di masa lalu didirikan dengan semangat pemerataan kesempatan belajar bagi seluruh warga negara Indonesia. Dari ujung Sabang sampai Merauke. Sampai ke pelosok daerah pun kita akan bisa dengan mudah mendapati SD negeri.

Hal tersebut juga sejalan dengan semangat program pemberantasan buta aksara yang digagas pemerintah era orde baru. Karena lebih mementingkan semangat pemerataan ini lah agaknya mutu dari penyelenggaraan pendidikan di SD negeri agak dinomorduakan.

Kendati demikian animo masyarakat saat itu terhadap SD negeri sangat bagus. Masyarakat bersemangat menyekolahkan anaknya di SD negeri. Karena kemudahan akses dan biaya sekolah yang terjangkau. Khususnya masyarakat di pelosok pedesaan sangat terbantu dengan dibangunnya SD inpres atau SD negeri kala itu. 

Sehingga jumlah siswa SD negeri kala itu juga cukup banyak di setiap kelasnya. Saya masih ingat, tatkala saya bersekolah di jenjang SD pada dekade 90-an dulu jumlah siswa satu kelas tidak kurang dari 40 siswa.

Penyebab hal ini beragam. Mulai dari jumlah anak yang banyak pada tiap keluarga, belum berhasilnya program Keluarga Berencana (KB) juga belum banyaknya pesaing atau kompetitor SD negeri kala itu. Berbeda dengan era sekarang.

SD Negeri di Era Kini

Kini jaman sudah berubah. Pasca reformasi pintu demokrasi dibuka selebar-lebarnya. Kebebasan membentuk organisasi juga sangat dijamin oleh undang-undang. Termasuk kebebasan mendirikan yayasan yang menaungi sebuah lembaga pendidikan juga dipermudah. Berbanding terbalik dengan era orde baru dulu yang sangat diktator dan otoriter. 

Sehingga di era reformasi semakin banyak berdiri ormas dan yayasan di berbagai bidang termasuk di bidang pendidikan. Banyak berdiri sekolah dasar (SD) swasta dengan beragam latar belakang. Hal ini secara alami menjadi kompetitor atau pesaing bagi SD negeri.

SD swasta didirikan dan menawarkan nilai lebih ketimbang sekedar semangat pemerataan pendidikan. Sekolah swasta ini membranding dirinya dengan berbagai macam keunggulan dan kelebihan yang menjadikannya memiliki daya tarik tersendiri bagi khalayak masyarakat. Alih-alih menawarkan pendidikan yang merata, murah, dan terjangkau, SD swasta berani mematok biaya yang lebih mahal untuk penyelenggaraan proses pendidikannya. 

Sebagai kompensasinya mereka memberikan jaminan mutu dan pelayanan yang lebih berkualitas dibandingkan dengan SD negeri. Sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan dalam menyekolahkan putra-putrinya.

Jika SD negeri banyak dikelola dengan semangat pelayanan minimal berbeda dengan SD swasta. Mereka akan menawarkan pelayanan yang lebih dari sekedar minimal. Mulai dari penguatan pembelajaran di bidang keagamaan, sekolah sehari penuh (full day school), sampai pada program pengembangan bakat dan minat lainnya yang relatif tidak "digarap" oleh SD negeri.

Juga di era sekarang dengan semakin majunya teknologi komunikasi dan informasi masyarakat menjadi semakin kritis dan selektif. Kalau dulu era dekade 90-an masyarakat menyekolahkan anaknya dengan fasilitas yang sederhana dan apa adanya mungkin masih bisa menerima. Karena eranya memang demikian. 

Berbeda dengan era sekarang, masyarakat siap merogoh kocek lebih dalam untuk biaya pendidikan anaknya asalkan si anak mendapatkan pendidikan yang lebih bermutu.

Setiap jaman memiliki tantangannya sendiri sehingga tidak heran jika di masa sekarang banyak orangtua yang lebih memilih menyekolahkan anaknya di SD swasta. Karena persoalan mutu tadi.

Sejatinya terlepas dari apapun entah ada kompetitor ataupun tidak adanya kompetitor, saya rasa setiap sekolah baik negeri maupun swasta wajib untuk menjaga bahkan meningkatkan mutu pelayanannya. Tidak lagi dengan semangat pelayanan minimal apalagi semangat asal jalan.

Demikian pun SD negeri. Tantangan dewasa ini yang semakin berat dengan semakin kritisnya nalar berpikir masyarakat dan tuntutan perkembangan jaman yang semakin dinamis maka SD negeri tidak bisa dikelola dengan pola-pola seperti era awal didirikan di jaman orde baru dulu. 

SD negeri harus berinovasi dan bertransformasi sesuai dengan kemajuan jaman. Agar tidak kalah bersaing dengan SD swasta. Sehingga harapannya semakin jarang terdengar berita SD negeri yang gulung tikar karena tidak mendapatkan siswa baru saat musim PPDB. Sementara SD swasta semakin gemuk saja. Mendapatkan siswa baru yang membludak.

Visi SD Negeri ke Depan

Saya sampai detik ini mempercayai bahkan meyakini bahwa eksistensi sebuah sekolah sejatinya tidak didasarkan pada status kepemilikannya. Tetapi pada tata cara pengelolaannya. Seberapa jauh sekolah itu mampu beradaptasi dengan perkembangan jaman dan mampu memenuhi harapan-harapan masyarakatnya sejauh itu pula sebuah sekolah akan eksis.

Bisa dibayangkan jika pola pikir masyarakat sekarang semakin kritis dan haus akan kemajuan pendidikan tetapi sekolah dalam penyelenggaraan atau pengelolaannya tidak dibarengi dengan semangat yang seirama dengan masyarakat tadi maka dengan sendirinya masyarakat akan beralih dan mencari sekolah yang mampu memenuhi harapan-harapannya. Itu merupakan sebuah naluri yang sangat manusiawi.

Persoalan ke depan adalah persoalan bagaimana menyelenggarakan sebuah proses pendidikan yang semakin bermutu dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Di sini dibutuhkan kejelian dan sikap mental terbuka untuk dapat menangkap sinyal dari masyarakat sekitarnya. Agar terjadi sambung rasa antara sekolah dengan masyarakatnya. Sudah menjadi hukum alam, barang siapa yang tidak mampu beradaptasi maka dia akan terkena seleksi alam dan perlahan mengalami kepunahan.

SD negeri akan mampu dan pasti bisa menyelenggarakan pendidikan yang tidak kalah baik dan bermutu daripada kompetitornya para SD swasta. Semua kembali pada visi misi SD negeri itu sendiri. Mulai beranjak dari sekolah pelayanan minimal menuju sekolah dengan pelayanan prima dan profesional. 

Jangan cepat-cepat berasumsi bahwa jumlah anak kecil di tengah masyarakatnya sudah berkurang karena keberhasilan program KB tetapi lebih daripada itu agaknya menjadi sangat bijak jika refleksi diri menjadi titik tolak sebuah perubahan.

Saya secara pribadi merindukan situasi dimana mendekati musim PPDB sudah jarang terdengar SD negeri yang gulung tikar. Atau membaca berita SD negeri yang hanya mendapatkan siswa baru satu atau dua orang. Sementara di sisi lain promosi dan sosialisasi SD swasta demikian gencarnya memenuhi ruang sosial media kita. 

Kalaulah memang semangat keadilan sosial itu masih ada di bumi tercinta Indonesia raya sebagaimana diamanatkan oleh sila kelima Pancasila, sejauh itu pula regulasi-regulasi terkait kebijakan bidang pendidikan yang dibuat tidak boleh hanya menguntungkan pihak tertentu saja.

Karena bagaimanapun juga baik itu pendidikan yang dilaksanakan oleh institusi negeri maupun swasta adalah idealnya untuk mencapai tujuan bersama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia. Sehingga semua harus diberi ruang hidup dan ruang bernafas dengan sama leganya. Semoga bisa menjadi renungan bersama. Tetap semangat. Maju terus pendidikan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun