Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Meneguhkan Peranan Guru sebagai Kaum Intelektual Bangsa

31 Maret 2024   11:22 Diperbarui: 7 April 2024   06:49 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru dan murid | Sumber: Dokumentasi pribadi

Jika kita kembali mengingat sejarah berdirinya negara ini sungguh kita akan terkagum-kagum oleh kiprah para founding fathers-nya. Bangsa dan negara Indonesia didirikan oleh para kaum intelektual yang berjuang dengan sekuat tenaga. 

Mereka adalah golongan terpelajar dari kaum pribumi dan terdidik oleh sistem pendidikan kolonial. Mereka menjadi golongan terdidik dan kelak menjadi pemimpin bagi rakyatnya. Rakyat yang merana dan menderita dibawah suramnya kolong langit kolonialisme dan imperialisme.

Para pendiri bangsa ini tentu adalah manusia-manusia cerdas dan brilliant. Dengan kecerdasannya itu mereka pada akhirnya mendidik masyarakat Indonesia agar bangkit dan berjuang melawan sistem kolonial yang menindasnya selama ini. 

Mereka secara sadar menjadi guru bagi saudaranya sebangsa dan setanah air. Mereka mengajarkan arti pentingnya berjuang dalam persatuan dan kesatuan demi satu tujuan mulia: Indonesia Merdeka!

Dalam pengertian yang lebih sempit ternyata memang didapati beberapa tokoh pendiri bangsa kita dahulu yang menjadi guru dan atau sekaligus mendirikan sekolah rakyat. 

Ambil contoh misalnya Ir. Soekarno pernah menjadi guru di sekolah dasar Muhammadiyah dan pernah mengajar pelajaran matematika juga pelajaran sejarah di sekolah Yayasan Ksatrian yang diselenggarakan oleh Dr. Danudirja Setiabudi. 

Tan Malaka menjadi seorang guru bahasa melayu untuk anak-anak buruh di perkebunan teh dan tembakau di Sanembah Sumatra Utara. Jendral Soedirman awalnya adalah seorang kepala sekolah dan guru di sebuah sekolah dasar yang dikelola oleh yayasan Muhammadiyah. 

Juga (the one and only) bapak pendidikan bangsa kita Ki Hajar Dewantara yang mendirikan perguruan Taman Siswa. Dan masih banyak tokoh pendiri bangsa lainnya yang memainkan peranan sebagai pejuang kemerdekaan sekaligus sebagai guru dan pendidik.

Para tokoh diatas menjadi sosok pejuang, guru, pendidik, berjiwa intelektual dan radikal. Gigih dan teguh pendirian dalam semangat nasionalisme yang menyala-nyala di dadanya. 

Para guru yang berpegang kuat pada prinsip kebenaran dan keadilan sebagaimana diyakini dalam sistem kebenaran universal bahwa penjajahan adalah tindakan yang mengangkangi hak asasi manusia. 

Para guru yang mendidik kita sebagai generasi penerus bangsa agar tetap berjalan di atas garis semangat perjuangan dan rasa cinta tanah air yang tulus. Para guru yang mengajarkan bahwa intelektualisme itu penting di dalam mengasuh kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ilustrasi guru dan murid | Sumber: Dokumentasi pribadi
Ilustrasi guru dan murid | Sumber: Dokumentasi pribadi

Sekilas tentang Intelektualisme

Dikutip dari Wikipedia intelektualisme merupakan sebuah ajaran filsafat yang menitik beratkan pada pengenalan (kognisi) melalui akal serta secara metafisik memisahkannya dari pengetahuan indra serapan. Intelektualisme dekat dengan rasionalisme. 

Di mana dalam tradisi filsafat Yunani kuno penganut intelektualisme menyangkal kebenaran pengetahuan indrawi serta menganggap pengetahuan intelektual sebagai kebenaran hakiki. 

Intelektualisme mengharuskan adanya akal atau kecerdasan otak untuk berpikir secara rasional. Plato dan Aristoteles merupakan tokoh intelektualis (filsuf) yang mendasari paham intelektualisme.

Sementara itu kaum intelektual adalah mereka yang memiliki kemampuan berpikir tingkat tinggi, pengetahuan luas dan kemampuan analitis yang mendalam. Para kaum intelektual memiliki kelebihan dalam berbagai aspek seperti pengetahuan kognitif, pengetahuan, kreatifitas, keterbukaan terhadap ide baru, dan kemampuan berkomunikasi yang baik.

Peranan kaum intelektual dalam masyarakat sangatlah penting dalam membentuk pandangan, memecahkan masalah dan memajukan pengetahuan serta pemahaman kita tentang dunia. 

Singkatnya kaum intelektual merupakan kaum terpelajar, kritis dan independen dalam bersikap terhadap segala fenomena yang terjadi di masyarakat. Mereka hanya berpegang teguh pada prinsip-prinsip kebenaran pengetahuan itu sendiri. Lepas dari doktrin ataupun kepentingan-kepentingan bersifat pragmatis. Itulah intelektual sejati.

Saya sendiri berpandangan kaum intelektual ini selain dekat pengertiannya dengan kaum rasionalis sejatinya mereka juga sangat dekat dengan kaum guru dan kaum pendidik. 

Sebagaimana diuraikan di atas bahwa munculnya kaum intelektual dimulai pada masa era kejayaan Yunani kuno. Di mana pada saat itu dalam peradaban Yunani kuno mulai muncul para kaum pemikir yang ingin menggeser tradisi berpikir dari kosmosentris menuju antroposentris. Dengan basis akal dan rasional sebagai sebagai instrumennya. Dimotori oleh Socrates, Plato dan Aristoteles.

Yang pada akhirnya kelak dikemudian hari Plato dan Aristoteles mengembangkan sekolah dan sistem pendidikannya masing-masing. Plato menjadi guru besar sekaligus pendiri sekolah bernama Academia. 

Sementara Aristoteles mendirikan sekolah yang diberinya nama Lyceum. Keduanya menyebarkan paham dan pengetahuan di sana. Dan belakangan pemikiran tiga intelektualis di atas akan menjadi pijakan bagi perkembangan peradaban dunia barat yang maju hingga masa sekarang ini.

Guru Sebagai Kaum Intelektual

Kita merindukan sosok para guru berjiwa intelektual dewasa ini. Para guru berjiwa kritis dan pembaharu dalam kerangka sistem pendidikan nasional kita. 

Intelektualitas dan kritisisme itu tidak boleh pudar dan terkikis habis dari lubuk hati sanubari terdalam sang guru. Karena sejatinya dua unsur tersebut merupakan mahkota kehormatan bagi para guru itu sendiri.

Jelas para guru merupakan bagian dari sistem pendidikan yang ada. Bahkan sejatinya guru itu sendirilah merupakan inti dari sistem pendidikan pada unit terkecil. Karenanya nalar kritis mestilah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tubuh mulia sang guru. 

Sang guru sejati harus berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Yang baik adalah baik dan yang kurang perlu dikoreksi dan dicari alternatif solusi. 

Betapapun terkadang semua itu menjadi terasa sulit akibat impitan berbagai kepentingan politik dalam bingkai kebijakan negara. Tetapi guru tidak boleh menjadi pribadi partisan yang monoton dan mekanistis. 

Guru sebagai kaum intelektual harus mampu berpikir mendalam dan lincah dalam mengetengahkan pemikiran-pemikiran alternatif demi kemajuan pendidikan bangsanya.

Bukankah dulu bapak pendidikan kita juga begitu kritis dan sangat berjiwa intelektual? 

Ki Hajar Dewantara dalam bukunya jilid I "Pendidikan" mengkritisi sistem pendidikan barat yang saat itu dinilainya sangat mekanistis. Yang mendasarkan pendidikan pada model pemberian sanksi dan hukuman sebagai dasar membentuk kepatuhan dan ketertiban. 

Beliau mengkritisi itu dengan mengatakan bahwa cara yang semacam itu tidak akan dapat membentuk kepribadian seseorang. Kepribadian seseorang tidak dapat dibentuk dengan cara paksaan. 

Beliau kemudian melahirkan konsep pendidikannya yang kita kenal hari ini dengan konsep pendidikan yang berkebudayaan. Dan kemudian melahirkan semboyan ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tutwuri handayani sebagai turunannya. Juga melahirkan konsep pendidikan kontekstual melalui ajaran pendidikan yang sesuai kodrat alam dan kodrat jamannya itu.

Saya terkadang berpikir dan berandai-andai. Jika beliau Ki Hajar Dewantara masih hidup di era digitalisasi seperti hari ini apakah beliau juga akan memilih untuk berjogad-joged dengan lemah gemulainya di depan smartphone bersama anak didiknya? Sebagai perwujudan dari pendidikan yang sesuai kodrat alam dan kodrat jaman? Sebagaimana yang banyak dan masif dilakukan oleh para guru dewasa ini? 

Atau beliau akan lebih elegan dengan memanfaatkan smartphone dan segala kecanggihan teknologi itu untuk membentuk nalar kritis dan berpikir ilmiah pada para siswanya dengan berbagai macam inovasi pembelajaran? 

Agaknya kita memang perlu menarik lurus garis demarkasi yang tegas antara narsisme dan absurdisme dalam pembelajaran dan pendidikan kita dengan kontekstualisasi pendidikan itu sendiri. Narsis dan absurd jelas berbeda dengan konsep pendidikan yang kontekstual serta kekinian.

Indonesia adalah negara besar yang terbentang sangat luas dengan beranekaragam budaya dan tingkat kesenjangan yang begitu kentara. Di situ guru hidup dan bergulat dengan situasi dan kondisinya masing-masing. 

Di perkotaan guru berkembang dalam situasi yang penuh dengan ketercukupan fasilitas sarana dan prasarana guna mendukung keberhasilan praktIk pendidikan itu sendiri. 

Kontras dengan di daerah perkampungan dan pelosok negeri di mana guru bergulat dengan situasi yang tidak mudah. Dengan sarana prasarana yang serba kekurangan dan serba pas-pasan. Begitulah adanya fakta di lapangan yang terkadang tidak seindah apa yang selama ini terlihat dan tersorot di sosial media.

Sebagai penutup kita kembali lagi pada pembuka tulisan ini bahwa dulu para pendiri bangsa ini, para tokoh guru bangsa ini jelas hidup dalam kesusahan dan serba keterbatasan. Tetapi beliau semua tetap mengasah dirinya dengan beragam ide, gagasan serta nalar kritis untuk bagaimana mana caranya membuat situasi dan kondisi rakyat menuju titik yang mencerahkan. Menjadi pribadi yang cerdas, brilliant dan independen dalam bersikap. 

Tidak menjadi partisan atau larut dalam kepentingan pihak manapun. Yang diperjuangkan adalah hakikat serta kemurnian tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena di situlah hakikatnya guru meneguhkan peranannya sebagai kaum intelektual bangsa. 

Para kaum yang akan mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, beradab dan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam kancah percaturan global. Tetap semangat para guru Indonesia. 

Salam blogger persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun