Saya seperti halnya para pembaca sekalian selama bertahun-tahun bersekolah. Saat mengenyam bangku pendidikan formal tentu bertemu dan berinteraksi dengan banyak guru. Belajar dan menimba ilmu dari para guru tersebut dengan berbagai macam pembawaan dan karakternya masing-masing.Â
Dari sekian banyak guru yang pernah berinteraksi dengan kita saat di bangku sekolah atau kuliah tentu tidak semuanya berkesan di hati.
Selalu saja ada sosok-sosok guru istimewa yang membekas dalam benak kita. Yang istimewa pasti sedikit dan yang biasa tentu banyak. Dan kita pasti akan selalu mengingat sosok guru istimewa ini dalam benak kita. Yang mungkin jumlahnya hanya satu, dua atau tiga orang saja.
Keistimewaan tersebut adalah suatu penilaian subjektif dari kita sebagai muridnya. Dimana kita merasa selalu ada kekhasan dari guru ini. Dia adalah sosok yang menarik, spesial, berbeda dengan guru lainnya.Â
Keistimewaan itu bisa datang dari karakter dan kepribadiannya, gaya mengajarnya atau hal lain yang bisa jadi sulit diungkapkan. Pokoknya hanya satu kata: keren!
Guru-guru seperti inilah yang kemudian bisa kita sebut sebagai guru yang menginspirasi. Yang kehadirannya selalu dinantikan dan dirindukan oleh murid-muridnya.Â
Guru yang asyik dan tidak membosankan. Guru yang pandai dan cerdas dalam mendidik siswa siswanya. Guru yang bisa jadi panutan selayaknya makna guru itu sendiri: digugu dan ditiru.
Dalam sebuah tayangan podcast Dr. Faruddin Faiz, M.Ag salah seorang dosen ilmu filsafat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pernah berucap bahwa guru yang hebat adalah guru yang bisa menginspirasi murid-muridnya.Â
Bukan hanya sebatas mengajar atau mendidik saja. Tetapi lebih jauh guru harus bisa menginspirasi murid-muridnya. Menginspirasi muridnya agar menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih bermanfaat di masa depan.
Pengalaman Yang Tidak Mengenakkan
Beberapa waktu yang lalu saya membaca sebuah tulisan di portal berita online.Â
Isi berita tersebut mengabarkan bahwa telah terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh salah seorang oknum guru SMP negeri terhadap siswa-siswanya.Â
Konon oknum guru tersebut melakukan tindakan penamparan pada sejumlah siswa yang kedapatan tidak mengikuti upacara bendera.Â
Mungkin maksudnya sebagai tindakan penegakan kedisiplinan. Tindakan penamparan tersebut direkam oleh siswa yang lain dan diunggah di sosial media Instagram maka jadilah berita tersebut viral.
Imbasnya kepala daerah setempat sampai turun tangan ke sekolah untuk menelusuri kasus tersebut.Â
Oknum guru ini akhirnya mendapat pembinaan dan teguran dari dinas pendidikan terkait. Selengkapnya di sini.
Pada kesempatan yang lain dalam sebuah pertemuan Kelompok Kerja Guru (KKG) beberapa tahun lalu saya mendengarkan sambutan seorang pejabat dari dinas pendidikan.Â
Beliau juga menyampaikan pengalaman yang kurang mengenakkan semasa sekolah SD dulu.Â
Saat itu beliau ditegur oleh salah satu guru SD nya dengan bahasa yang terdengar kasar. Atas sebuah kesalahan yang tidak begitu fatal.Â
Ternyata kejadian itu beliau ingat sampai beliau menjadi pejabat di dinas pendidikan. Bahkan nama lengkap si guru tersebut masih diingatnya.
Tidak sedikit dari kita saat bersekolah pernah mengalami hal yang kurang mengenakkan saat berinteraksi dengan guru. Salah satu contohnya kejadian di atas tadi. Bisa berupa tindakan kekerasan fisik. Atau tindakan kekerasan yang sifatnya nonfisik (verbal).Â
Jadi fenomena pembulian yang tempo hari marak terjadi sejatinya bisa dilakukan oleh siapa saja bukan hanya siswa tetapi guru terkadang baik secara sadar maupun tidak sadar juga bisa melakukan itu.
Perlakuan yang tidak mengenakkan itu akan membekas dan terus diingat oleh siswa sepanjang hidupnya.Â
Jadi siswa akan selalu mengingat dua hal tentang sosok gurunya: guru yang keren dan menginspirasi juga guru yang kurang mengenakkan seperti ilustrasi di atas. Memang menjadi guru sejatinya tidaklah mudah.
Pilihan Ada di Tangan Guru
Mau menjadi guru yang bagaimana dan seperti apa semua terpulang pada pribadi masing-masing guru.Â
Setiap guru bisa menjadi idola bagi siswanya. Setiap guru pasti bisa menjadi pribadi yang menginspirasi. Bukan hanya menginspirasi siswanya saja tetapi menginspirasi setiap orang.
Di jaman dulu guru diposisikan sebagai seorang begawan. Yang kedudukan sosialnya setara dengan raja. Begitu terhormat dan sangat elegan. Guru menempati kasta tertinggi dalam struktur sosial kemasyarakatan pada jaman kerajaan.
Di sisi lain betul apa yang disampaikan Ki Hajar Dewantara bahwa dalam mendidik anak harus sesuai dengan kodrat alam dan kodrat jaman. Mendidik anak sesuai dengan jamannya.Â
Tetapi kalau kodrat alam dan kodrat jaman itu bertentangan atau mengesampingkan nilai-nilai etis apa iya harus tetap dijalani?
Dewasa ini misalnya, di berbagai media sosial saya kerap kali melihat konten video guru dan muridnya berjogad-joged di depan kamera. Dengan lagu-lagu viral dan begitu asyiknya serta begitu akrabnya lalu diunggah dan dibagikan ke berbagai kanal sosial media.Â
Kalau diasumsikan ini semua sesuai dengan kodrat alam dan kodrat jaman sekarang yang serba teknologi dan guru juga harus menyesuaikan ke arah situ, kok ya rasa-rasanya tetap harus dilihat dari sudut pandang yang lebih kritis.
Alih-alih kekinian dan sesuai perkembangan jaman jangan sampai guru kehilangan marwah dan jati dirinya. Jatuh wibawanya karena perilaku yang absurd dan nyeleneh.Â
Membangun kedekatan dengan siswa dan adaptif terhadap perkembangan jaman juga harus dimaknai secara utuh dan hati-hati.Â
Jangan sampai pada akhirnya seperti peribahasa klasik yang sering kita dengar: "Guru kencing berdiri murid kencing berlari".
Karena mesti juga dipahami bahwa apapun yang dilakukan guru adalah menjadi contoh bagi murid-muridnya juga lebih jauh menjadi teladan bagi masyarakat sekelilingnya.
Guru inspiratif adalah guru yang memiliki kesadaran penuh (mindfulness) bahwa dirinya adalah seorang guru. Yang tumbuh dari akar nilai-nilai filosofis tentang pendidikan dan filsafat mengajar itu sendiri.Â
Menjadi guru yang inspiratif adalah perkara mindset. Perkara pola pikir.Â
Setiap guru adalah pribadi yang unik dan berkarakter. Seperti halnya diyakini pada pendekatan teori psikologi humanistik yang mengatakan bahwa setiap manusia memiliki keunikan dan potensinya masing-masing maka di situlah guru juga berada.
Setiap guru memiliki potensi dan keunikannya masing-masing.Â
Akankah ia menjadi sosok yang inspiratif dan elegan? Atau sebaliknya menjadi pribadi yang kurang mengenakkan?Â
Semua berpulang pada guru itu sendiri. Semua guru dan semua kaum pendidik memikul tanggung jawab besar untuk menginspirasi generasi penerus bangsa ini agar menjadi generasi yang cemerlang, brilliant dan tetap menjunjung tinggi norma etika.Â
Di tengah gempuran dan disrupsi budaya luar yang begitu mengalir deras bersama dengan kuatnya arus perkembangan teknologi.Â
Guru menjadi benteng pertahanan agar bangsa ini tidak kehilangan kepribadiannya sebagai bangsa yang besar dan beradab. Tetap semangat dan jangan lelah menginspirasi wahai para guru Indonesia.Â
Salam hormat dan salam blogger persahabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H