Mohon tunggu...
Pris Chania
Pris Chania Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Blog yang dibuat untuk kumpulan Cerpen karya Pris Chania

Hidup adalah belajar, belajar dari segala hal. Jangan cepat puas, karena esok masih ada.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siapa Penyihir Asli?

12 Juni 2022   12:37 Diperbarui: 23 September 2024   20:56 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

#Cerpen
Judul : Siapa Penyihir Asli?

MALAM itu hujan turun deras, mengguyur sebuah perkampungan sedari jam empat sore. Tiada henti, saling menyahut dengan kilasan angin dan kilatan petir. Beberapa kali angin menyapu sumbu lilin, membuat penerang itu padam. Dihidupkan kembali, diembus angin lagi, berulang kali.

Perempuan yang menatap lilin itu mendengus kesal, mematik api dan menyalakan sumbu. Angin kiranya tiada beramah-tamah, membuat usaha perempuan itu sia-sia. Jadilah dia biarkan saja diselimuti kegelapan dengan kilat yang sesekali menari di cakrawala, memberi cahaya sementara.

Jendela kaca ditutup tirai, berdebum didorong angin. Hujan merembes masuk, mengenai lantai terdekat dan membasahi tirai jendela. Akhiya merapatkan selimut, enggan beranjak menuju jendela. Seketika dia merasa diselimuti kegelapan abadi, memaksa beraninya menjadi takut.

Dia sendiri di rumah besar yang sepi, menelannya dalam hening setiap detik yang beranjak menit. Bahkan, hari-hari Akhiya mesti ditemani puluhan ilusi dan ribuan imaji liar. Dia bukanlah sosok yang penakut, tetapi malam itu seakan memakan seluruh keberaniannya.

Akhiya pucat. Bila disorot cahaya, bisa dipastikan wajah perempuan beranjak dewasa itu tanpa dialiri darah. Malam itu, Akhiya yang berani menghadapi kesendirian tiba-tiba merasa meremang dalam keadaan gelap yang mencekam.

Dia rasakan ada banyak sosok tidak kasat mata tengah menyorotnya, penuh nafsu dan hasrat. Akhiya merintih, rasa itu mendomasi dalam dirinya. Dia takut, dia merasa sangat-sangat takut hingga dia berharap malam cepat berlalu, badai cepat usai, kesendirian pun selesai.

"Tangisan siapa lagi itu?" tanyanya saat tangisan merintih pilu sayup-sayup terdengar dibawa alunan angin.

Tangis yang membuat bulu kuduk meremang, tangis Akhiya pun hadir. Hatinya terus berdoa agar ayah dan ibu pulang segera. Memberanikan diri dipeluk selimut, Akhiya tertatih mendekati jendela, membiarkan angin meniup hujan mengenai wajahnya.

Perkampungan itu sepi, rumah-rumah tiada berdiri rapat. Akhiya ingin menjerit saat melihat seseorang menggali tanah menggunakan cangkul. Namun, jeritan itu hanya mampu diredam dalam tenggorokan. Akhiya ingin memejam, tetapi matanya melawan. Tatap terus sosok itu, yang rupanya menggali tanah kuburan yang masih merah.

Jendela kamar Akhiya memang menghadap ke arah kuburan, tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat, sebab rumah Akhiya dengan lokasi perkuburan kampung itu dijaraki oleh dua rumah mungil yang sama-sama tiada berlentera.

"Tuhan, apa yang orang itu lakukan?"

Perempuan berambut hitam sebahu itu tahu bahwa sosok yang tengah menggali kuburan yang baru berisi pagi tadi itu adalah manusia, bukan dedemit dan sebangsanya. Akhiya melihat petir menari-nari di cakrawala, memberikan pencahayaan sekejap.

Di mana Akhiya dapat melihat sosok tersebut menimbun kuburan itu kembali setelah isinya diambil. Bulu kuduk Akhiya benar-benar meremang saat kilatan muncul dan sosok itu tidak lagi tampak di sekitar kuburan kampung. Akhiya segera menutup jendela, berlari ke kasur dan menghidupkan lilin.

Dia memang suka gelap, tetapi tidak dengan keadaan seperti saat ini. Tubuhnya bergetar hebat. Akhiya ingin malam segera berlalu dengan orang tuanya yang cepat pulang dari bekerja. Akhiya tidak ingin dimakan suasana mencekam, terlebih telinganya yang mendengar suara ketukan di jendela.

Bayangan berjubah saat kilat menyambar dan tirai jendela yang berkibar membuat Akhiya semakin bergetar, memeluk dirinya sendiri. Sosok itu tidak lagi mengetuk, tetapi menulis sesuatu di kaca jendela kamar Akhiya.

Sekejap lagi, sosok berjubah hilang ditelan keheningan. Akhiya menangis di bawah selimutnya. Lagi dan lagi api lilin tidak bertahan. Angin yang membuatnya mati. Akhiya benar-benar tidak suka dengan keadaan seperti ini.

*

Merah serupa darah, beku melekat di kaca jendela. Anyir tercium menyengat indra pembau. Tulisan itu jelas mengancam, mengancam serupa maut di depan mata. Gigil tubuh tampak begitu hebat. Bukan sebab dingin yang mendera, melainkan perasaan cemas yang merengkuh begitu hebat.

Akhiya tidak tahu yang terjadi di kampung itu sebenarnya. Entah terkutuk, entah pula tersebab dendam. Kaca jendelanya berlubang dengan estetik, membentuk huruf demi huruf sebanyak empat, merangkai satu kata 'mati'.

Orang tuanya tiada pulang, sedari kemarin pagi. Pagi telah disorot matahari cerah, membias segala ruang bumi. Sesal mesti ada terpatri di dada. Akan tetapi, Akhiya tidak tahu mesti apa lagi. Semenjak menginjak kaki di tanah perkampungan itu, jelas dia rasakan keanehan yang kentara.

"Mungkin aku bisa bertanya pada warga apa yang terjadi," bisiknya mengikat rambut dan bergegas ke luar kamar.

Matahari pagi mungkin merona cerah, tetapi tidak dengan warga kampung itu. Tangis pilu kembali menyayat relung hati. Kematian itu pasti dari hari ke hari. Teriakan-teriakan ngilu itu mengiris sanubari, mencekam suasana pagi yang sendu.

"Ini pasti ulah Penyihir itu! Dia renggut anakku satu-satunya. Bahkan, sebelum anakku bisa memanggil ibunya dengan mulutnya yang mungil! Oh ... anakku."

Akhiya terkesiap menyaksikan seorang wanita mencoba memberontak dari pegangan orang-orang di sekitarnya, enggan melepas sosok mungil tidak bernyawa dalam dekapan. Siapa Penyihir yang dimaksud wanita itu? Memang peradaban masih mengagungkan sihir. Namun, selama Akhiya berada di kampung itu, jelas-jelas dia tidak melihat adanya sihir.

Kecuali ....

"Kita bunuh saja Penyihir sialan itu!"

"Ya, kita bunuh saja! Selama dia masih hidup, kampung kita tidak akan tenang seperti sedia kala."

Akhiya melihat sebagian warga bergegas pergi membawa amarah yang melangit. Dia dapat merasakan hawa dendam yang membumbung tinggi. Percikan kesedihan yang berbaur dengan kebencian itu jelas nyata terpahat pada masing-masing wajah warga.

"Permisi, Tuan ... apa yang terjadi pada kampung ini?" Akhiya memberanikan diri bertanya pada salah seorang lelaki tua bertongkat.

Lelaki itu tersenyum kecil, menepuk tempat duduk di sampingnya sebagai isyarat agar Akhiya ikut duduk.

Kata lelaki tua itu, "Peradaban sudah tidak lagi sama, Anak Muda. Di mana wanita yang ditinggali suaminya dianggap aib dan sebagai penyihir. Kata warga, wanita-wanita itu adalah pembawa sial yang membawa segala macam penyakit dan kutukan. Selama berbulan-bulan, banyak bayi yang mati. Bahkan, satu hari ada sepuluh bayi."

" Beberapa minggu lalu, kematian merendah dan banyaknya ada tiga bayi yang meninggal per hari. Karena kecintaan warga jualah terhadap kampung ini hingga memilih bertahan. Ada yang pergi, pindah dari sini, berharap hidupnya aman dan damai. Namun, sepertinya siapa pun yang berasal dari kampung ini walau keluar sekalipun dari sini, kesialan itu akan tetap mengiringi."

Akhiya menelan ludahnya susah payah. Sesial itukah kehidupan warga di sini? Dan, apakah ayah dan ibunya tahu perihal cerita ini? Jika tahu, mengapa mengajak Akhiya kemari, ke kampung terkutuk ini?

Si Lelaki tua kembali berkata, "Garis keturunan keluargamu adalah ahli nujum, Anak Muda. Sayangnya, ayah dan ibumu sudah bersumpah tidak akan menyelamatkan kampung ini dari peristiwa-peristiwa seperti yang terjadi berbulan-bulan lamanya. Salah kami juga terhadap orang tuamu."

Akhiya baru mengetahui perihal ini. Dia tahu orang tuanya sebagai ahli nujum, tetapi cerita tentang sumpah itu? Secuil pun Akhiya tidak tahu menahu. Akhiya menatap wanita yang masih histeris, memeluk bayi yang tiada bernyawa dalam kesedihan yang begitu menggelora.

"Lantas, Tuan, apakah tentang Penyihir yang hendak dibunuh para warga itu memang pelaku dari semua ini?" Penasaran sekali Akhiya akan kebenaran tersebut.

Menghela napas panjang, lelaki tua menatap langit biru yang cerah. Keadaan sekeliling bising sekali. Gurat menua di wajah lelaki itu sebagai bukti bahwa sejarah melekat pada ingatannya yang renta.

"Nak, wanita yang ditinggalkan suami serta wanita-wanita tua yang dianggap penyihir adalah orang yang mudah disalahkan. Di mana setiap peristiwa menyedihkan seperti ini akan dianggap ulah mereka. Aku ingin sekali membuka mata hati mereka bahwa ini tidaklah benar, tetapi aku hanya lelaki tua yang bisa mati detik ini juga. Oya, siapa namamu, Anak Muda?"

"Akhiya, Tuan."

"Nama yang bagus, Nak. Di mana ayah dan ibumu sekarang?"

"Bekerja. Pergi pagi kemarin, sampai sekarang belum kembali. Aku khawatir akan mereka. Tapi, aku percaya mereka baik-baik saja, karena mereka adalah ahli nujum."

Lelaki tua mengangguk, menepuk kepala Akhiya dan berdiri pergi. Akhiya mengikutinya, dia tertarik saat lelaki tua itu berjalan ke arah tempat di mana separuh warga berlari mencari sosok yang dianggap mereka sebagai penyihir. Saat melalui kuburan, Akhiya mendengar tangisan-tangisan tanpa wujud.

Bergetar tubuhnya!

Akhiya meremas jemari, mempercepat langkah. Suara rintihan-rintihan yang terdengar menyakitkan itu menusuk begitu dalam sampai sanubari. Sampai di sebuah kuil, Akhiya dapat menyaksikan sosok wanita berbalut pakaian hitam dengan kerudung senada diseret keluar seperti hewan.

Akhiya merintih, menatap sepasang mata cokelat muda milik wanita itu yang tiada takut. Tampak pula senyumannya mengembang, sebagai bukti bahwa dialah pelakunya. Akhiya memalingkan wajah saat senyuman wanita itu tertuju padanya, apalagi Akhiya dapat menangkap maksud kata dari gerakan bibir wanita yang dianggap penyihir oleh para warga.

"Kau akan mati, Anak Ahli Nujum!"

Warga yang kesetanan mengikat sang wanita di tengah-tengah kayu. Wanita itu tertawa sambil berteriak, "Bunuh aku, Sialan! Aku sudah membunuh para bayi yang tiada berdosa, menghisap darahnya! Bukan salahku, salah kalian semua! Para janda dan wanita tua bukanlah penyihir! Daripada dituduh sebagai penyihir, lebih baik benar-benar menjadi penjahat seperti yang kalian tuduhkan!"

Api dinyalakan, melahap rakus kayu-kayu bersama tawa yang menggema dari wanita yang berada di tengah-tengah api yang membakar. Senyap, bau sengit dari kulit dan daging yang dimakan api menyelinap di setiap hidung warga.

Akhiya menutup hidungnya, memalingkan wajah ke kuil. Di sana ... sosok berjubah hitam berdiri dengan bagian mulut yang tidak ikut tertutup—tengah tersenyum pada Akhiya. Jadi, siapa penyihir yang sebenarnya?

*

Pasaman Barat, 12 Juni 2022

Ttd
Pris Chania

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun